"Yang berlalu biarlah berlalu, Farah. Setidaknya kamu selamat dan sekarang kamu menjadi pribadi yang lebih baik lagi."
Farah mengangguk, melambai ke seorang barista perempuan untuk memesan secangkir kopi susu. Dia melirik pada buku yang tertutup di atas meja, buku yang aku kira akan menemani kesendirianku di kedai kopi cepat saji ini. Namun, pikiranku tidak mau diajak bekerja sama.
"Kakak masih menggeluti karya sastra?"
Aku mengangguk. "Hanya dengan hal ini aku bisa melepas segalanya, Farah. Dari dahulu, menulis adalah hal yang aku gemari. Hanya saja, akhir-akhir ini menulis terasa bukanlah hal yang menyenangkan lagi. Terasa membosankan," jawabku mengakui. Terbukti, di buku diariku itu terakhir tertulis tanggal dua belas hari yang lalu.
Secangkir kopi susu pesanan Farah susah sampai, ditaruh barista perempuan yang sama di atas meja. Farah langsung meneguk perlahan kopi susunya, menikmati kafein yang terkandung dalam minuman tersebut. Setelah meminum kopi susunya sedikit, Farah kembali menatapku dengan teliti.
"Kakak terlihat muram. Ekspresi yang tidak cocok di wajah cantik Kakak. Coba kutebak, Kak Naina patah hati?"
Aku tertawa kecil, tebakan perempuan yang lebih muda dariku itu akurat. "Hanya saja aku patah hati dalam hening, Farah. Biasa."
Dia ikut tertawa kecil. Menunjuk ke arah lelaki yang kini menyanyikan lagu bertajuk jatuh hati. "Pada lelaki itu?" Aku mengangguk, dia melanjutkan, "Sudah aku tebak. Dari awal aku melihat Kak Naina, aku memerhatikan Kakak terlebih dahulu dan mata Kak Naina tertuju padanya, mata yang tidak pernah bohong."
Kuteguk kopi yang mulai mendinging, memberi jeda pada obrolan kami. Candunya membuatku meneguk lagi hingga tersisa sedikit. Membahas cinta, mengapa begitu menarik? Kadang yang patah hati akan bersemangat mengungkapkan segalanya, mencurahkan apa-apa yang membuatnya patah hati. Sama sepertiku, aku ingin didengar dan selama ini hanya pada buku aku tuliskan segalanya.
Malam ini Farah hadir, menawarkan pundak untuk aku sandarkan kepala. Menawarkan telinga untuk mendengar ceritaku. Dia pun menawarkan tangan untuk menggenggam erat jemariku. Sama seperti aku dahulu menenangkan dia. Mungkin memang seperti ini adanya, yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan suatu saat dia membutuhkan kebaikan itu.
"Awalnya aku mengenal dia sebatas 'hanya', tetapi perasaan ini tumbuh dengan sendirinya selama tiga tahun. Subur, bahkan terpupuk oleh rindu setiap waktu. Aku tidak tahu mengapa mesti mencintai dia di antara hati yang lebih baik. Kagum berubah suka, yang pada akhirnya aku mengerti bahwa aku punya rasa lebih padanya. Mulanya kuanggap rasa biasa, tetapi nyatanya adalah rasa yang menuntut hubungan spesial.