Rasa dalam Bimbang
Hujan turun lagi malam ini, ia bermain dengan desir angin dan sejumlah angan. Kepulan tipis dari uap secangkir kopi panas menguap bersama jutaan kenangan, berpadu dalam kecewa yang mendekap mesra. Kuraih cangkir kopi yang tersaji, meniup terlebih dahulu sebelum meneguknya perlahan.
Di kedai kopi cepat saji ini dingin tidak terlalu terasa, cukup hangat sebab kedai kopi berada dalam sebuah mall. Aku sendiri, menikmati sunyi dan segudang rindu yang masih saja ditabung. Rindu yang jelas-jelas diramu oleh temu setiap waktu, bukan karena jarak yang terbentang. Sebenarnya aku cukup lelah digerogoti rindu, tetapi aku juga tidak bisa menghindar, sedangkan ia terus memburu. Ke mana pun aku pergi, rindu tetaplah memeluk hati.
Aku membuka tas yang kubawa, mengeluarkan sebuah buku di antara buku-buku yang ada dalam tas itu. Sebuah pena siap menoreh tinta demi kata-kata yang mewakili perasaanku setiap kala. Namun, sepersekian detik yang berlalu, aku masih saja diam memandang halaman kosong buku yang jadi saksi rasa yang terpatri.
Alunan musik terdengar, suara merdu menguasi kedai kopi cepat saji, menjadi satu-satunya sumber suara paling indah. Aku memejam, suara itu lembut menyentuh hati. Bukan karena apa hingga air mata ini luruh, tersebab aku yang sangat mengenali suara yang membawakan lagu bertajuk rindu tersebut. Suara milik lelaki yang berhasil membuatku jatuh hati berkali-kali padanya semenjak tiga tahun yang lalu.
Ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang hanya menganggap kita sebatas teman? Mengecewakan? Sakit? Atau bahkan sedih? Semua itu jawabannya, bersatu dalam kancah harapan agar bisa memiliki. Namun, sayang sekali ... memiliki terdengar sedikit egois untuk seukuran insan yang dirinya sendiri bukanlah miliknya.
Aku duduk sendiri, mungkin saja hanya mejaku yang kosong, sedangkan meja lain di kedai kopi cepat saji ini tampak penuh oleh pasangan muda-mudi. Hanya beberapa pasangan tua saja yang tampak, menebar romansa dalam selengkung senyum bahagia. Aku sendiri, menikmati kopi, mencicipi rindu yang kembali hadir ke sisi.
Seorang barista perempuan meletakkan makanan ringan di mejaku, yang membuat aku bingung. "Maaf, Kak, saya tidak memesan makanan ringan," kataku.
Barista perempuan itu tersenyum lembut, menunjuk ke arah lelaki yang tengah bernyanyi sembari memetik senar gitar dengan jemarinya yang gemulai. "Mas Haris yang memesankannya untuk Mbak Naina."
Aku menghela napas panjang, mengangguk. "Terima kasih kalau begitu, Kak."
Selalu seperti itu, seperti dia benar-benar peduli padaku. Kepedulian yang selama ini aku salah artikan. Bagaimana rasanya bila menganggap dia benar-benar menyimpan rasa kepada kita, padahal kenyataannya dia hanya sayang sebagai seorang teman? Sakit? Kecewa? Terluka? Atau merasa diri sendiri bodoh?