Aku pernah melihat foto lawas nenek dan kakekku. Aku tidak tanda dengan nenekku yang berkulit putih dan bertubuh berisi dan terbilang cantik, sedang kakekku aku masih bisa menandainya. Oleh karena itu, ibuku memotivasiku untuk lebih baik dari kakekku. "Kau harus menjadi dokter," kata ibuku. Walaupun di kemudian hari cita-citaku itu nyaris terjadi.Â
Syukurlah ibuku ikhlas atas takdir ilahi. Aku tidak lulus masuk universitas negeri di kotaku, yang pada waktu itu merupakan universitas terbaik ketiga di Indonesia. Apalagi jurusan yang aku tuju adalah jurusan favorit. Ternyata banyak sekali anak muda di kotaku yang berhasrat bekerja sebagai dokter yang dianggap pekerjaan mulia.
Sebenarnya aku suka menjadi dokter, maka aku tanya kepada ibuku agar aku dizinkannya mencoba di universitas lainnya di luar provinsi. Namun, ibu mengatakan bahwa ketidaklulusanku mungkin karena keluarga yang lain tidak seratus persen mendukung dikarenakan biaya yang dikeluarkan untuk menjadi dokter mencapai ratusan juta. Namun, di waktu aku sudah bekerja, ibu mengatakan bahwa syukur saja aku tidak melanjut studi ke kedokteran, karena sifatku yang pelupa dan kurang teliti, sehingga beliau takut jika aku salah beri resep obat.Â
Pernyataan ibuku ini kutimbang-timbang apakah tidak sebaliknya aku menjadi dokter agar sifat pelupa dan ceroobohku berkurang dan hilang, karena dengan belajar menghafal pelajaran ilmu kedokteran mengajarkanku untuk teliti dan belajar untuk menyelamatkan hidup orang. Â
Akhirnya aku lulus di pilihan ketiga. Ada guruku yang tidak setuju dengan jalur ipc, yaitu jalur di mana membolehkan siswa memilih tiga jurusan (dua jurusan IPA, dan satu jurusan IPS). Kata guruku yang tidak setuju tersebut bahwa orang yang memilih jalur ipc adalah orang yang tidak tegas atau bimbang. Namun, banyak siswa memilih jalur ini demi dapat berkuliah dan karena pelajaran IPS masih bisa dikuasai oleh siswa IPA. Pilihan ketigaku adalah ilmu komunikasi USU.Â
Jalur ini kupilih karena aku pernah menjadi pimpinan redaksi cilik di sekolahku. Saat aku lulus seleksi masuk, aku merasa senang karena akhirnya aku dapat mengemban pendidikan di perguruan tinggi. "Selamat ya Ida,"kata kakakku yang nomor tiga. "Tapi kak cuma pilihan ketiga," jawabku, "Tapi masuk USU itu tidak mudah," jawab kakakku pula.Â
Perjuanganku belajar dan berorganisasi membuahkan hasil. Walaupun, aku harus melawan gangguan dari perasaan patah hati. Aku merasa selalu diikuti oleh senior yang aku sukai. Kata orang mungkin karena aku sangat menyukainya. Padahal senior tersebut tidak pernah mengatakan suka padaku. Aku melanjutkan sekolah menengah atasku di sekolah favorit. Senior yang kusukai memiliki jiwa kepemimpinan dan juga cerdas. Setelah kakakku seniorku itu tamat, aku harus merekrut banyak orang untuk ekskul jurnalistik.
 Aku jadi memiliki banyak teman. Aku adalah orang yang pendiam pada dasarnya, tetapi aku mengalami perubahan karakter selama masa pubertas dan di masa dewasa. Â
Perubahan ini berasal dari lingkungan. Waktu sekolah dasar aku sangat suka senam dan pernah menjadi pemimpin senam kesegaran jasmani di sekolahku. Aku simpatik dengan guru olahragaku. Aku senang melihatnya. Mungkin dia sedikit terganggu, tetapi dia tetap mengakui kelebihanku di bidang skj. Dia adalah seorang atlet dan sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak.
Akan tetapi, aku tidak menyukainya lebih, hanya sebatas menganggapnya abangku, karena marganya sama denganku marga keluargaku. Aku rasa sudah seharusnya beliau memahaminya dari sudut pandang itu. Aku masuk SD ketika usia tujuh tahun dan aku memiliki badan yang jangkung. Aku lebih tinggi dari teman-teman satu kelasku dan kebanyakkan teman satu sekolahku. Aku pernah dekat dengan seorang teman lelaki satu sekolah dan dia memang lebih tinggi dariku, meskipun demikian aku masih kekanak-kanakkan dan kami cuma berteman.
Ketika aku di sekolah lanjutan pertama, aku memang pernah simpatik dengan guruku yang bersuku karo. Aku merasa masih terlalu dini untuk menyukai seseorang. Aku fokus belajar dan masuk kelas unggulan di kelas 2 dan 3.Â