PERI KECIL DAN IMPIANNYA DI KELUARGA YANG SEDERHANA
Aku bertanya kepada ibuku yang menjagaku selama ini," Ibu kapan ayah pulang?".
Lalu ibu menjawab," Sayangku ayah pulang sebulan lagi." Ayahku pulang setiap sebulan atau dua minggu sekali karena ayahku kerja sebagai mandor atau supervisor di bidang kontraktor.Â
Ibuku pun sudah terbiasa dengan ini. Ibuku adalah wanita yang tangguh dan setia. Ibuku juga bekerja dengan berjualan di depan rumah kami.Aku rasa modal pertama dari uang gaji ayahku sebagai kontraktor. Kehidupan keluarga kami memang semakin baik dari hari ke hari.
Waktu abang dan kakakku kecil ayah bekerja dengan mencarikan orang yang mau memakai jasa angkutan umum. Kata ibuku ayah juga pernah menjual tape dan menarik becak. Ibuku memuji ayahku karena mau mengerjakan pekerjaan apa saja demi mencukupi hidup anak dan istrinya.Â
Kemudian, di usiaku empat tahun ayahku ditawarin pekerjaan sebagai kontraktor karena kemenakkan ayahku memiliki pemimpin kantornya. Meskipun, aku sering ditinggal ayahku. Aku tetap merasa bahagia,bahkan aku merasa lebih menyangi ayahku ketimbang ibuku. Namun, setelah aku dewasa dan kepala tiga aku menyadari bahwa alangkah lebih baiknya jika aku dan seorang anak lebih menyayangi ibuku.
Setelah ditawarin pekerjaan baru, ayahku memboyong keluarganya ke ibukota provinsi atau ke kota Medan. Keluarga kami jadi dicap orang kaya oleh para keluarga kami yang lain, yang masih tinggal di kota sebelumnya, yaitu kota kelahiranku, sebuah kota  yang dekat dengan sungai ular.Â
Setiap setahun sekali ketika lebaran kami pulang kampung atau mudik dan sudah tentu kami melewati sungai ular. Asal muasal kata Sei Rampah adalah berasal dari dua kata sei dan Rampah, artinya sungai dan rempah-rempah. Aku sudah mengetahui ini tanpa harus mencari tahunya terlebih dahulu, karena di dekat tempat kelahiranku ada banyak rumah orang Tionghoa yang klasik. Rumah ini terbuat dari batu. Ini artinya tempo doloe banyak di singgahi saudagar cina, bahkan membuat tempat tinggalnya.
Memahami makna kota kelahiranku aku merasa bangga dan membuatku tidak lupa sejarah. Walaupun aku tidak lahir di ibukota provinsi, aku merasa senang karena lahir dari kota yang banyak memberi manfaat bagi orang banyak. Ketika lebaran ayah akan menyupir mobil kantornya yang berwarna putih dan merupakan mobil kijang.Â
Mobil kijang ini terbuka belakangnya karena dibawa untuk bekerja bangunan. Jadi, yang duduk di depan ayah, ibu, aku dan abangku yang usinya tidak jauh dariku, cuma beda tiga tahun. Yang di belakang kakak-kakakku dan uniknya lagi ayah menyuruh meletakkan kursi plastik di belakang.
Ayah dan ibuku bertemu pertama sekali dan menikah di Medan, karena ibuku sebenarnya berasal dari keluarga yang lumayan. Ayah ibuku adalah seorang mantri. Ibu ibuku atau nenekku adalah seorang ibu rumah tangga.Â
Aku pernah melihat foto lawas nenek dan kakekku. Aku tidak tanda dengan nenekku yang berkulit putih dan bertubuh berisi dan terbilang cantik, sedang kakekku aku masih bisa menandainya. Oleh karena itu, ibuku memotivasiku untuk lebih baik dari kakekku. "Kau harus menjadi dokter," kata ibuku. Walaupun di kemudian hari cita-citaku itu nyaris terjadi.Â
Syukurlah ibuku ikhlas atas takdir ilahi. Aku tidak lulus masuk universitas negeri di kotaku, yang pada waktu itu merupakan universitas terbaik ketiga di Indonesia. Apalagi jurusan yang aku tuju adalah jurusan favorit. Ternyata banyak sekali anak muda di kotaku yang berhasrat bekerja sebagai dokter yang dianggap pekerjaan mulia.
Sebenarnya aku suka menjadi dokter, maka aku tanya kepada ibuku agar aku dizinkannya mencoba di universitas lainnya di luar provinsi. Namun, ibu mengatakan bahwa ketidaklulusanku mungkin karena keluarga yang lain tidak seratus persen mendukung dikarenakan biaya yang dikeluarkan untuk menjadi dokter mencapai ratusan juta. Namun, di waktu aku sudah bekerja, ibu mengatakan bahwa syukur saja aku tidak melanjut studi ke kedokteran, karena sifatku yang pelupa dan kurang teliti, sehingga beliau takut jika aku salah beri resep obat.Â
Pernyataan ibuku ini kutimbang-timbang apakah tidak sebaliknya aku menjadi dokter agar sifat pelupa dan ceroobohku berkurang dan hilang, karena dengan belajar menghafal pelajaran ilmu kedokteran mengajarkanku untuk teliti dan belajar untuk menyelamatkan hidup orang. Â
Akhirnya aku lulus di pilihan ketiga. Ada guruku yang tidak setuju dengan jalur ipc, yaitu jalur di mana membolehkan siswa memilih tiga jurusan (dua jurusan IPA, dan satu jurusan IPS). Kata guruku yang tidak setuju tersebut bahwa orang yang memilih jalur ipc adalah orang yang tidak tegas atau bimbang. Namun, banyak siswa memilih jalur ini demi dapat berkuliah dan karena pelajaran IPS masih bisa dikuasai oleh siswa IPA. Pilihan ketigaku adalah ilmu komunikasi USU.Â
Jalur ini kupilih karena aku pernah menjadi pimpinan redaksi cilik di sekolahku. Saat aku lulus seleksi masuk, aku merasa senang karena akhirnya aku dapat mengemban pendidikan di perguruan tinggi. "Selamat ya Ida,"kata kakakku yang nomor tiga. "Tapi kak cuma pilihan ketiga," jawabku, "Tapi masuk USU itu tidak mudah," jawab kakakku pula.Â
Perjuanganku belajar dan berorganisasi membuahkan hasil. Walaupun, aku harus melawan gangguan dari perasaan patah hati. Aku merasa selalu diikuti oleh senior yang aku sukai. Kata orang mungkin karena aku sangat menyukainya. Padahal senior tersebut tidak pernah mengatakan suka padaku. Aku melanjutkan sekolah menengah atasku di sekolah favorit. Senior yang kusukai memiliki jiwa kepemimpinan dan juga cerdas. Setelah kakakku seniorku itu tamat, aku harus merekrut banyak orang untuk ekskul jurnalistik.
 Aku jadi memiliki banyak teman. Aku adalah orang yang pendiam pada dasarnya, tetapi aku mengalami perubahan karakter selama masa pubertas dan di masa dewasa. Â
Perubahan ini berasal dari lingkungan. Waktu sekolah dasar aku sangat suka senam dan pernah menjadi pemimpin senam kesegaran jasmani di sekolahku. Aku simpatik dengan guru olahragaku. Aku senang melihatnya. Mungkin dia sedikit terganggu, tetapi dia tetap mengakui kelebihanku di bidang skj. Dia adalah seorang atlet dan sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak.
Akan tetapi, aku tidak menyukainya lebih, hanya sebatas menganggapnya abangku, karena marganya sama denganku marga keluargaku. Aku rasa sudah seharusnya beliau memahaminya dari sudut pandang itu. Aku masuk SD ketika usia tujuh tahun dan aku memiliki badan yang jangkung. Aku lebih tinggi dari teman-teman satu kelasku dan kebanyakkan teman satu sekolahku. Aku pernah dekat dengan seorang teman lelaki satu sekolah dan dia memang lebih tinggi dariku, meskipun demikian aku masih kekanak-kanakkan dan kami cuma berteman.
Ketika aku di sekolah lanjutan pertama, aku memang pernah simpatik dengan guruku yang bersuku karo. Aku merasa masih terlalu dini untuk menyukai seseorang. Aku fokus belajar dan masuk kelas unggulan di kelas 2 dan 3.Â
Aku pernah menyukai seseorang, tetapi aku ini gadis yang aneh karena tidak berpikir untuk mengungkapkannya. Aku rasa dia pun menyadarinya. Orang yang kusukai itu adalah seorang yang memiliki jiwa kepemimpinan.Â
Aku pernah menetapkan tipe idamanku adalah seorang yang harus memiliki kemampuan memimpin. Perubahan karakterku terjadi ketika aku memutuskan untuk berhijab. Aku menjadi gadis yang sangat alim. Kerjaanku hanya ibadah dan belajar. Sayangnya, aku tidak suka pekerjaan rumah.Â
Panggilan ibuku adalah Tati. Beliau adalah wanita yang tidak suka menunda pekerjaan dan tidak mau menyuruh kepadaku. Dia lebih senang mengerjakannya sendiri. Dia adalah contoh yang sangat baik bagi anak-anaknya. Ibuku adalah wanita yang lembut dan berkulit sawo matang. Warna kulit asliku pun berasal dari ibuku.
Perubahan karakterku selanjutnya adalah ketika kuliah. Aku pernah menyukai seorang penyiar radio, yang stambuknya setahun di bawahku.Pertama sekali berjumpanya adalah ketika aku menjadi panitia pelantikkan stambuk baru di Danau Toba, Parapat. Dia pun menjadi panitia. Aku secara kebetulan mendengarkannya sedang siaran. Â Aku mulai rajin mendengarkannya.Â
Ternyata, dunia ini memang tidak selebar daun kelor, tetapi entah mengapa aku bisa mendapatkan nomor hpnya dari teman SMP ku, dan aku berteman dengan ibunya di facebook (sekarang berganti nama menjadi Meta). Â Sebelumnya aku berteman dengan kawan teaterku di facebook, dan dia berteman dengan ibu orang yang kutaksir. Teman teaterku mengatakan bahwa dia dengan teman teater lainnya pernah ke rumah ibu tersebut. "Orangnya baik dan tidak sombong,"kata temanku.
Aku yang tadinya memakai pakaian longgar, pelan-pelan lebih moderat. Aku mulai memakai jeans. Tahu alasannya apa. Itu karena aku juga ingin menjadi penyiar radio. Aku merasa aku kurang gaul dan fashionable. Memang di dunia ini kita harus memiliki keluwesan dalam bergaul. Apalagi jika ingin menjadi public relation sesuai jurusanku.Â
Selain itu, untuk menjadi penyiar radio kita harus memiliki wawasan yang luas. Syukurlah, aku berhasil menjadi penyiar radio, tetapi bukan di Medan, kota yang kutinggalin selama 23 tahun, karena di awal tahun 2012 aku harus bekerja di Rantau Prapat selama setahun. Di kota inilah aku pernah merasakan siaran di malam minggu dan menemanin para pendengar.
Butuh waktu yang lama bagiku untuk bisa merasakan menjadi penyiar radio. Selama masa itu, aku juga belajar menjadi presenter dan aku mengubah cara bicaraku yang cepat, menjadi lebih lambat. Aku menyukai cara bicara Alya Rohali. Aku pernah mengikuti beberapa audisi, seperti menjadi presenter di TV lokal dan mencoba melamar sebagai reporter di TV Nasional. Â
Aku berlagak menjadi reporter TV berita di depan reporter seniornya. Waw keren!! Saat itu aku sudah bekerja di bank swasta di bagian yang berhubungan dengan kartu kredit. Aku tidak hati-hati ketika interview sehingga kesempatan  merintis karir di TV Nasional tersebut tidak datang.
Aku yang jarang sekali dipanggil Mira lebih sering dipanggil Ida ini memutuskan pindah ke Medan kembali, karena ibuku sakit karena merindukanku. Aku merasa sedih sekali ketika melihatnya bagai kulit berlapis tulang. Ibuku mulai sakit-sakitan. Ibuku terkena osteoporosis sehingga tulangnya belakangnya bengkok.Â
"Ya beginilah kalau waktu muda pernah jatuh dan tidak dikusuk," jelas ibuku yang pernah jatuh terduduk ketika aku dan abang yang di atasku kecil. Abangku semasa kecil rewel dan sering ngompol. Aku tidak pernah dibilang rewel ketika kecil oleh ibuku. "Makanya abangmu punya suara bagus, karena udah latihan dari kecil," jelas ibuku di lain waktu.
Sebelum aku lahir dua pasang anak kandung ibuku tidak berumur panjang, karena kurang bulan sejak lahir dan ada yang karena kepalanya besar dari tubuhnya. Mereka adalah dua kakak dan dua abangku. Mereka lahir di tahun 1971, 1974, 1976, dan 1979. Baru lima tahun kemudian, aku lahir di bulan September tanggal 19.Â
Aku tidak berasal dari ayah dan ibu seorang pejuang, Â tetapi mereka adalah pahlawanku. Masih ingat dengan peristiwa perobekkan bendera Hindia Belanda di sebuah hotel oleh arek-arek suroboyo, nah itubertepatan dengan tanggal 19 September. Mungkin banyak dari kita yang tanggal lahirnya bersamaan dengan peristiwa bersejarah, bahkan sejarah dunia. Hotel itu bernama Hotel Yamato.
Abangku yang paling besar juga lahir bertepatan dengan hari Pahlawan, yaitu 10 November. Dia adalah kesayangan ibuku. Anak kedua perempuan adalah kesayangan ayahku begitu juga denganku. Anak ketiga perempuan adalah kesayangan ibuku begitu juga anak keempat laki-laki, makanya ibuku suka curhat dengannya. Â Aku adalah anak kelima dari lima bersaudara.Â
Aku lahir prematur. Aku tidak tahu tepatnya tujuh atau delapan bulan. Yang jelas aku sempat biru dan hampir meninggalkan dunia ini, tetapi uwakku yang berperagai ceria ini mengingatkan ibuku untuk segera menyusuiku, karena aku butuh perawatan lebih dikarenakan kurang bulan. Aku lahir sekecil botol.
Waktu kecil aku minta dibelikan boneka panda ketika ayahku pergi bersama teman kantornya ke Jakarta. Aku punya beberapa boneka waktu kecil. Yang paling besar dibelikan oleh macikku yang beda hari saja dengan anak perempuan pertama di keluargaku. Kakakku ini menjadi tulang punggung keluarga, karena ayah cepat pensiun dan mengalami kecelakaan yang menyebabkan dia tidak bisa berjalan normal lagi. Kakakku paling cantik di keluarga kami setelah dia mungkin aku, hahahahha.
Aku lebih mirip dengan anak perempuan kedua. Namun, karena sering merawat diri aku terlihat lebih putih, sehingga mirip juga dengan kakakku yang tertua. Kakak pertama pendiam dan sedikit cerewet, sedangkan kakak kedua lebih bijak dan dewasa. Aku juga masih punya dua abang. Abang pertama dan kedua sama-sama pendiam.
Ayahku adalah seorang temperamen dan orang yang pintar. Semua anak-anaknya takut padanya. Namun, di posisiku karena aku orang yang sensitif terhadap kata-kata keras, mendorongku untuk sering berontak dengan ayahku. Mungkin karena sejak SMP aku sering berbicara sendiri dan memiliki teman ghaib, maka aku semakin besar semakin jauh dari ayahku. Padahal, pada dasarnya aku sangat menyanyangi ayahku. Akan tetapi, sayangnya aku tidak bisa membuktikannya kepada ayahku.
Hubungan Asmara
Terus terang aku tidak terlalu mengenal arti cinta. Aku pun tidak tahu mengapa aku tidak pernah punya pacar. Sampai temanku mengatakan bahwa aku orangnya tidak gampang jatuh cinta, "Aneh ya Mir kau ini tidak pernah menyukai seorang laki-laki." Aku hanya mengangguk dan tersenyum.Â
Aku binggung memiliki gangguan dalam diriku sehingga aku pun ahrus berusaha tetap baik dalam pendidikan. Aku tidak terlibat asmara. Namun, aku pernah ke orang alim katanya aku dipelet. Ayahku tertawa kecil dan berkata," Siapa? Anaknya bukan orang yang cantik." Aku pun tidak tersinggung dan ikut setuju dengan pernyataan ayahku.
 Akhirnya secara tidak langsung kami menolak percaya akan adanya pelet tersebut. Selain itu orang pintar tersebut mengatakan bahwa aku ini akan menjadi orang yang jenius. Waw, jenius?? Memang aku anak yang pintar. Aku jadi membayangkan ketika seniorku bertanya rumus Fisika dan aku bisa menjawabnya tanpa belajar. Bagaimana menurut kalian arti jenius tersebut?
Jenius yang dimaksud orang alim yang bersuku Minang tersebut adalah yang bersifat religious sepertinya. Apapun anugerah yang diberikan Allah kepada kita, seyogianya kita manfaatkan di jalan yang benar. Kita harus menjadi orang yang bersyukur dan tetap mengingat-Nya dalam keadaan susah maupun senang.Â
Aku tidak mengaminkan saat itu hanya saja merasa senang. Kejadiannya  berlangsung di kota Binjai dan aku sedang berada di bangku sekolah lanjutan pertama. Aku berharap mungkin kelak aku akan memiliki anak yang jenius dan berhasil seperti Albert Einstein, Marc Zukenberg, dan Nadiem Makarim. Bukankah anak seyogianya harus lebih baik dari kedua orang tuanya.
Ketika berada di sekolah menengah atas aku menaksir kakak kelasku yang sudah memiliki pacar. Sampai-sampai aku mengatakan perasaanku kepada teman pacar seniorku yang kutaksir. Alih-alih dia membelaku, dia malah memuji-muji temannya. Karena pengaruh dari dalam diriku, aku menemui perempuan itu dan mengatakan bahwa cowoknya menyukaiku dan kami melakukan hubungan bathin (jarak jauh).Â
Anehnya, perempuan ini tidak marah. Inilah kelebihan yang dikatakan temannya kemarin. Senior perempuanku lainnya juga mengatakan," Tanyakan langsung ke orang yang kutaksir apakah benar bahwa dia menyukaiku?" Nah itu dia aku tidak berani. Akhirnya, aku tidak pernah mempunyai hubungan dengannya kecuali hubungan bathin.
Di awal aku sudah menceritakan tentang si penyiar radio, sekarang aku akan menceritakan tentang hal keterlaluan yang pernah aku lakukan dalam urusan cinta, yaitu aku mendapatkan nomor kakak kelasku tersebut dan meneleponnya. Dia mengangkat dengan nada tidak suka, lantas aku mengatakan bahwa dia "Monkey" dalam bahasa Indonesia. Terus aku menutupnya. Aku tidak tahan karena dia mengatakan dia sedang bersama tunangannya.
Gangguan semakin menjadi ketika aku tiba-tiba saja menyukai sepak bola. Aku menonton pertandingan sepak bola dari rumah. Aku melihat pemain Eropa dan Asia yang sudah go International tersebut memiliki tubuh yang ideal dan berwajah menarik. Ada satu yang menarik perhatianku, yaitu ada pemain Argentina yang berparas seperti orang Palestina. Lantas, aku pun menyukainya. Aku mengikutinya di Twitter, Instagram, dan Facebook.Â
Aku ingin menjadi superfansnya. Aku berusaha sebanyak mungkin berinteraksi dengannya di media sosial. Aku memiliki sampai seribu pengikut di twitter karena sering meretweet tentangnya. Teman-temanku 'around the world'. Â Waw!!! Belum ada uang travel ke luar negeri, tidak apalah sudah punya teman yang banyak dari seluruh dunia. Â Senangnya akhirnya teman twitter akhirnya berjumpa dengan si ganteng. Berasa diri sendiri yang berjumpa.
Ketika mengikuti orang terkenal ini, aku jadi berimajinasi. Sampai-sampai sepupuku pernah mengatakan bahwa aku bisa menghidupkan sesuatu yang mati, artinya yang tidak ada. Sampai-sampai aku pernah mengatakan kepada kakak kedua bahwa orang terkenal itu benar-benar memberikan respon kepadaku. Aku mengatakan begitu karena si ganteng memposting sesuatu yang membuat jantungku berdebar-debar. Aku memiliki saingan. Aku merasa tertekan dan buntutnya aku sampai  berobat ke psikosomatik.Â
Aku merasa ada yang menghalangi cinta kami. Aku marah dengan halus karena si ganteng tak bisa tegas. Apa nyana? impian menjadi pacar orang terkenal batal. Aku mulai menyurutkan langkahku selama hampir dua tahun berkutat dengan media sosial antara seleb dan fans (orang biasa).
 Lalu tentang psikosomatik. Mengapa sampai aku dibawa ke sana, karena aku diopname ketika ayah dan keluarga kakak pertama pergi ke Sabang. Mungkin pikir mereka aku sengaja karena marah enggak diajak. Padahal, aku sudah menjawab aku memang tidak ingin ke Sabang. Kata psikosomatik merupakan gabungan dari dua kata, yaitu pikiran (psyche) dan tubuh (soma). Jika diartikan, gangguan psikosomatik adalah keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi, bukannya oleh alasan fisik yang jelas, seperti luka atau infeksi. Demikianlah diary ku hari ini. Semoga para pembaca menyukainya.Â
      Â
     Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H