Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Tiba-tiba masuklah seorang laki-laki ke dalam majelis khalifah. Dari raut muka dan penampilannya, laki-laki tersebut sepertinya sedang kesusahan. Sekujur tubuhnya diliputi debu padang pasir, tanda ia baru saja menempuh perjalanan jauh.
Ketika sudah berada di lingkungan majelis, laki-laki itu memperhatikan dengan teliti. Satu kali didengarnya seseorang menyebut "Amirul Mukminin" sambil menoleh ke arah orang yang disebutnya.
Setelah yakin bahwa orang yang dimaksud itu benar Amirul Mukminin seperti yang dipanggil sebelumnya, laki-laki itu tanpa basa-basi langsung menyemburkan kata-kata pedas, pahit dan setajam pedang:
"Oh, jadi Anda yang disebut Amirul Mukminin itu. Anda yang bernama Umar bin Khattab? Dengarkan kata-kataku ini wahai Umar, bencana dari Allah akan menimpamu!"
Setelah menyemburkan kata-kata pedasnya, laki-laki itu pun berlalu tanpa mengucapkan salam dan tanpai menghiraukan sekelilingnya.
Tak terkira betapa marah dan murkanya beberapa orang yang hadir di majelis saat melihat laki-laki tak dikenal memaki dan mengancam Amirul Mukminin. Mereka langsung mengejar laki-laki tadi. Namun Umar bin Khattab bergegas memanggil mereka agar kembali.
Setelah para sahabatnya yang marah itu kembali duduk di majelis, Umar bin Khattab berdiri, dan dengan setengah berlari menyusul laki-laki yang sudah memaki dan mengancamnya tadi. Hatinya berdebar keras teringat kata demi kata yang dilontarkan laki-laki tersebut, "Bencana dari Allah akan menimpamu!".
Akhirnya orang itu tersusul juga oleh Umar bin Khattab. Dibujuknya laki-laki itu untuk kembali ke majelis dan menjelaskan ada apa sebenarnya, mengapa ia marah-marah dan mengancam Umar dengan mengatakan bencana Allah akan menimpanya.
Dengan dikelilingi para sahabatnya, Umar kemudian menanyai laki-laki itu perihal kata-kata pedas yang tadi dilontarkannya.
"Katamu hai kawan sebangsa, saya akan beroleh bencana dari Allah. Boleh kami tahu kenapa?"
"Benar, bencana Allah akan menimpamu hai Umar," ujar laki-laki itu. "Karena para pejabat dan pembesar Anda tidak menegakkan keadilan, malahan berbuat penganiayaan."
"Pejabat-pejabat saya yang mana yang Anda maksudkan?" tanya Umar.
"Pejabat Anda yang berada di Mesir, yang bernama 'Iyadh bin Ghanam!" jawab orang tersebut.
Setelah mendengarkan pengaduan laki-laki itu secara terperinci, Umar kemudian memilih dua orang di antara para sahabatnya dan berpesan,
"Berangkatlah tuan-tuan ke Mesir, dan segera bawa ke mari 'Iyadh bin Ghanam."
***
Buah Pikiran Rakyat Untuk Mengenali Kebenaran akan Menolong Penguasa
Pihak yang tidak memahami sistem pemerintahan Islam selalu menganggap iklim demokrasi tidak bisa tumbuh dengan subur dan baik. Sepenggal kisah Khalifah Umar bin Khattab di atas membuktikan bahwa sistem pemerintahan Islam justru sangat menghargai iklim demokrasi dan kebebasan menyampaikan pendapat.
Di masa kekhilafahannya, demokrasi terbebas dari segala hambatan dan kesulitan. Sebabnya Umar tahu bahwa hambatan dan kesulitan dalam demokrasi itu hanya akan dijumpai jika penguasanya lebih menyukai kekuasaan daripada kebenaran.
Tidak hanya menghidupkan demokrasi, Umar bin Khattab juga senantiasa mendorong rakyatnya untuk tidak takut mengkritik. Umar membangkitkan kesadaran rakyat bahwa buah pikiran mereka untuk mengenali hak dan kebenaran justru sangat menolong dirinya, baik dalam hal memerintah maupun sebagai pribadi yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban Ilahi karena sudah menjadi pemimpin rakyat.
Kita bisa melihat bagaimana Umar bin Khattab menghargai setiap pendapat rakyatnya, tanpa memandang status dan kelas sosial, seperti yang ditunjukkan dalam kisah berikut:
Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab menempuh perjalanan bersama Jarud al-'Abdi. Tiba-tiba seorang wanita tua berseru memanggilnya dari arah belakang:
"Tunggulah sebentar hai Umar. Ada yang hendak saya sampaikan sedikit kepadamu!"
Umar menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang dan menunggu wanita itu mendekat untuk menyampaikan pesannya. Dengan penuh perhatian Umar menyimak perkataan wanita tersebut.
"Hai Umar, saya masih ingat ketika kamu masih dipanggil Umeir, bergulat dengan anak-anak muda di pasar Ukadh. Tak berapa lama kamu dipanggil Umar, dan sekarang kamu dipanggil Amirul Mukminin. Hai Umar, takutlah engkau kepada Allah mengenai rakyatmu. Dan ketahuilah, barangsiapa takut akan mati, tentu ia juga takut akan kealpaan diri."
Jarud al-'Abdi yang berdiri di dekat Umar menegur wanita tua tersebut.
"Berani benar kamu berkata lancang kepada Amirul Mukminin!"
Dengan tersenyum, Umar menarik tangan Jarud al-'Abdi dan berkata, "Biarkan dia."
"Kamu belum kenal dengannya. Ketahuilah Jarud, inilah Khaulah binti Hakim, yang suaranya didengar oleh Allah dari atas langit ketujuh. Yakni ketika ia menggugat Rasulullah perihal suaminya dan mengadukannya kepada Allah (QS. Al Mujadalah). Maka demi Allah, Umar lebih pantas lagi mendengarkan ucapannya."
***
Rakyat adalah Majikan, dan Pejabat adalah Abdinya
Demikianlah, perhatian Khalifah Umar bin Khattab ditujukan pada kekuatan dan ketahanan mental rakyat. Umar selalu menekankan kesadaran pada dirinya sendiri selaku khalifah dan kepada rakyatnya, bahwa rakyat adalah majikan, dan para pejabat adalah abdinya. Rakyat bukan budak belian yang harus tunduk pada kemauan penguasa. Sebaliknya, penguasa harus mampu menjamin perlindungan dan rasa aman tenteram rakyat, hingga dalam perkara sekecil apapun, seperti menyampaikan pendapat kepada penguasa.
Umar memandang hak mengeluarkan pendapat dan mengkritik penguasa tidak dibatasi kepada suatu pihak atau golongan manusia tertentu saja. Umar memandangnya sebagai hak asasi bagi seluruh umat manusia. Hak yang ada pada diri setiap manusia merdeka. Sebagaimana kemerdekaan itu, menurut Umar, adalah hak yang diproklamirkan di saat setiap orang dilahirkan.
***
Pada suatu ketika, Umar sedang berdialog dengan seorang rakyatnya. Orang itu memegang teguh pendapatnya dan mengatakan kepada Amirul Mukminin,
"Takutlah Anda kepada Allah, wahai Umar!"
Ucapan itu diulanginya beberapa kali, hingga seorang sahabat yang ikut dalam dialog tersebut tidak sabar dan menghardiknya,
"Hai diamlah! Kamu sudah berbicara banyak sekali kepada Amirul Mukminin!"
Tetapi Umar bin Khattab menyela dan berkata,
"Biarkan saja. Tidak baik jika ia tidak menyatakan pendapatnya, dan tidak baik pula bagi kita jika tidak mendengarkannya."
Memang benar. Tidak baik bagi rakyat jika tidak mau mengatakan apa yang dianggap benar, dan tidak baik pula bagi seorang pemimpin jika ia tidak mau mendengar dan memperhatikan apa yang dikatakan rakyatnya.
Namun, lebih dari sekedar mengatakan dan mendengarkan semata. Faktor utama yang bisa menghidupkan demokrasi dengan sehat dan membuat pemerintahan suatu negara menjadi kuat adalah kepercayaan dan ketentraman di hati rakyat, sehingga mereka berani mengemukakan pendapat. Di samping itu, juga butuh kerendahan hati, kesediaan dan kesabaran penguasa untuk menerimanya.
Melucuti keberanian pada diri rakyat, atau penguasa tak mau menerima pendapat mereka, itu sama artinya dengan melucuti keduanya (baik rakyat dan penguasa) dari arena kehidupan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H