"Tunggulah sebentar hai Umar. Ada yang hendak saya sampaikan sedikit kepadamu!"
Umar menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang dan menunggu wanita itu mendekat untuk menyampaikan pesannya. Dengan penuh perhatian Umar menyimak perkataan wanita tersebut.
"Hai Umar, saya masih ingat ketika kamu masih dipanggil Umeir, bergulat dengan anak-anak muda di pasar Ukadh. Tak berapa lama kamu dipanggil Umar, dan sekarang kamu dipanggil Amirul Mukminin. Hai Umar, takutlah engkau kepada Allah mengenai rakyatmu. Dan ketahuilah, barangsiapa takut akan mati, tentu ia juga takut akan kealpaan diri."
Jarud al-'Abdi yang berdiri di dekat Umar menegur wanita tua tersebut.
"Berani benar kamu berkata lancang kepada Amirul Mukminin!"
Dengan tersenyum, Umar menarik tangan Jarud al-'Abdi dan berkata, "Biarkan dia."
"Kamu belum kenal dengannya. Ketahuilah Jarud, inilah Khaulah binti Hakim, yang suaranya didengar oleh Allah dari atas langit ketujuh. Yakni ketika ia menggugat Rasulullah perihal suaminya dan mengadukannya kepada Allah (QS. Al Mujadalah). Maka demi Allah, Umar lebih pantas lagi mendengarkan ucapannya."
***
Rakyat adalah Majikan, dan Pejabat adalah Abdinya
Demikianlah, perhatian Khalifah Umar bin Khattab ditujukan pada kekuatan dan ketahanan mental rakyat. Umar selalu menekankan kesadaran pada dirinya sendiri selaku khalifah dan kepada rakyatnya, bahwa rakyat adalah majikan, dan para pejabat adalah abdinya. Rakyat bukan budak belian yang harus tunduk pada kemauan penguasa. Sebaliknya, penguasa harus mampu menjamin perlindungan dan rasa aman tenteram rakyat, hingga dalam perkara sekecil apapun, seperti menyampaikan pendapat kepada penguasa.
Umar memandang hak mengeluarkan pendapat dan mengkritik penguasa tidak dibatasi kepada suatu pihak atau golongan manusia tertentu saja. Umar memandangnya sebagai hak asasi bagi seluruh umat manusia. Hak yang ada pada diri setiap manusia merdeka. Sebagaimana kemerdekaan itu, menurut Umar, adalah hak yang diproklamirkan di saat setiap orang dilahirkan.
***