Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Soh-ji dan Kumis Harimau, Cerita Rakyat Korea yang Menginspirasi Para Istri

10 Januari 2021   20:51 Diperbarui: 10 Januari 2021   20:53 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita rakyat Korea ini bisa menginspirasi para istri (ilustrasi:wallpaperup.com)

Salah satu ciri paling penting dari dongeng, fabel atau cerita rakyat adalah nilai moral di akhir cerita. Nilai moral cerita rakyat bisa disampaikan secara spesifik atau samar, tersembunyi dalam inti cerita itu sendiri.

Dalam beberapa cerita rakyat, nilai moral ini biasanya ditulis secara singkat dalam bentuk ringkasan cerita yang padat. Selain itu, pesan moral dari cerita rakyat itu juga ditulis dalam bentuk yang menarik dan mudah diingat sebagai ayat atau peribahasa, dan dengan demikian dapat menekankan kekuatan cerita.

Kali ini, aku ingin menceritakan ulang sebuah cerita rakyat Korea, yang bisa menginspirasi para istri dan ceritanya sendiri menyentuh hati. Cerita ini kudengar saat mengikui sebuah sesi pelatihan motivasi. Berikut ceritanya:

***

Dahulu kala, ada seorang gadis muda bernama Soh-ji yang baru menikah dengan pemuda tampan bernama Gwa-po. Di awal pernikahan mereka, pasangan ini begitu bahagia. Gwa-po adalah pria yang baik, penyayang dan selalu bersikap lembut kepada istrinya, Soh-ji.

Namun, semua sifat baik Gwa-po ini hilang usai dirinya ikut pergi berperang. Sepulangnya dari peperangan, Gwa-po berubah menjadi pria yang kasar, sering marah dan mudah merasa kesal dengan segala hal yang dilakukan Soh-ji.

Mendapati sikap suaminya yang berubah 180 derajat, Soh-ji sangat sedih. Jika di awal pernikahannya Soh-ji bahagia dan senang tinggal dengan suaminya, sekarang Soh-ji menjadi ketakutan. Soh-ji mencintai suaminya yang lama, bukan suaminya yang baru yang membuatnya taku setiap hari.

Soh-ji akhirnya memutuskan untuk mendatangi seorang pertapa yang sering dikunjungi penduduk desanya untuk meminta pengobatan. Pertapa ini tinggal di sebuah kuil di di sisi gunung yang lain, jauh dari desanya.

Ketika menjumpai pertapa itu di kuilnya, Soh-ji pun menceritakan masalahnya.

"Anakku, hal seperti ini biasa terjadi pada setiap lelaki saat dia kembali dari perang. Terus terang ini bukan masalah yang biasanya kuatasi. Mengapa kamu datang kepadaku?" tanya pertapa itu.

"Guru, tolonglah beri saya sesuatu untuk mengembalikan suami saya yang lama. Ramuan, jampi-jampi, jimat atau apapun itu. Tolonglah Guru, apa saja yang bisa Guru berikan agar suami saya kembali seperti dulu."

"Kamu tahu Nak, aku biasanya mengobati penyakit fisik, bukan masalah sifat manusia yang berubah seperti suamimu ini," kata pertapa itu.

"Saya tahu Guru. Tapi, saya benar-benar sudah putus asa dengan sikap suami saya yang baru," kata Soh-ji. Air matanya perlahan menetes.

Melihat Soh-ji yang putus asa, pertapa itu pun luluh hatinya.

"Baiklah, aku akan berusaha menolongmu. Beri aku waktu tiga hari untuk memikirkannya. Setelah tiga hari, kembalilah kesini."

Setelah tiga hari, Soh-ji kembali menemui pertapa di kuilnya.

"Anakku, saya bisa membantu mengembalikan sifat suamimu seperti ketika kamu baru menikahinya. Aku bisa membuat ramuan untuk menyembuhkan suamimu. Sayangnya, ada satu bahan ramuan yang sulit kudapatkan. Apakah kamu siap dan bersedia mendapatkannya?"

"Guru, saya akan melakukan apapun agar suami saya bisa kembali seperti semula. Apa bahan yang Guru inginkan untuk membuat ramuannya?"

Pertapa itu tersenyum mendengar kesiapan Soh-ji, yang menjadi bukti kecintaan Soh-ji pada suaminya.

"Kamu harus membawakanku selembar kumis dari harimau hidup," kata pertapa itu pada Soh-ji.

Mendengar permintaan sang pertapa, Soh-ji sangat terkejut. Dia tahu ini pekerjaan yang hampir mustahil bisa ia lakukan.

"Tapi, dari mana saya bisa mendapatkan kumis harimau hidup itu, Guru?"

"Aku tahu ini pekerjaan yang sangat sulit. Tapi ketahuilah Nak, aku benar-benar membutuhkan kumis harimau hidup itu untuk membuat ramuan buat suamimu. Pergilah ke sisi gunung yang satunya. Di sana ada sebuah gua, di dalamnya tinggal seekor harimau. Cabut salah satu kumisnya dan bawa ke sini," kata pertapa itu memberi petunjuk.

Soh-ji lalu pulang ke rumahnya. Sepanjang jalan, Soh-ji berpikir keras bagaimana caranya dia bisa mencabut kumis dari harimau yang masih hidup.

Akhirnya Soh-ji mendapat ide. Pagi-pagi sekali ia memasak nasi, lalu mencampurnya dengan kuah dan potongan daging. Ditaruhnya nasi daging itu dalam mangkuk besar. Kemudian ia pun pergi ke sisi gunung tempat harimau itu tinggal dalam sebuah gua.

Sesampainya di mulut gua, Soh-ji mengendap dengan hati-hati, lalu meletakkan mangku berisi nasi daging. Setelah itu, ia lari secepat kilat agar tidak sampai ketahuan harimau di dalamnya.

Keesokan harinya, Soh-ji kembali ke gua. Dilihatnya mangkuk berisi nasi daging itu habis. Soh-ji kemudian menggantinya dengan mangkuk yang berisi nasi daging baru, lalu kembali lari secepat kilat.

Soh-ji melakukan ini setiap hari selama berbulan-bulan. Sejauh itu, tidak pernah sekalipun dia melihat harimau. Sampai suatu hari, ketika di pintu gua, Soh-ji melihat mangkuk makanan itu terletak agak di jauh di dalam. Dengan hati-hati, Soh-ji masuk ke dalam gua dan mengganti mangkuk itu dengan mangkuk yang baru berisi nasi daging. Ketika itulah Soh-ji melihat sorot mata harimau yang menatapnya dengan tajam. Seketika, Soh-ji langsung berbalik arah dan lari meninggalkan gua.

Keesokan harinya, Soh-ji kembali melihat harimau itu, dan kembali Soh-ji langsung lari usai meletakkan mangkuk makanan. Di hari berikutnya, harimau itu keluar dari gua dan melangkah dengan lembut ke pintu gua ketika langkah kaki Soh-ji baru terdengar.

Lambat laun, harimau itu terbiasa dengan kedatangan Soh-ji. Berbulan-bulan kemudian, Soh-ji dan harimau itu menjadi akrab. Bahkan Soh-ji sampai berani mengelus dan memeluknya. Meski begitu, Soh-ji belum berani memotong kumis harimau untuk diberikan kepada pertapa sebagai bahan obat.

Pada suatu hari, Soh-ji memutuskan sekarang waktunya untuk mengambil kumis harimau. Dia pun bangun lebih awal dan membawa pisau saku kecil untuk memotong kumis harimau.

Sesampainya di gua, seperti biasa Soh-ji meletakkan mangkuk makanan. Saat harimau itu makan, Soh-ji mengelus kepalanya dan berbisik lembut, "Hol (dari kata 'holang-i/harimau'), maafkan aku ya. Aku membutuhkan satu lembar kumismu,."

Kemudian, Soh-ji memotong kumis harimau yang sedang asyik makan. Soh-ji lalu berdiri dan di pintu gua, sambil meneteskan air mata Soh-ji mengucapkan salam perpisahan.

Soh-ji lalu bergegas pergi ke kuil pertapa. Sesampainya di sana, dengan terengah-engah, kehabisan napas dan cemas, Soh-ji mengangsurkan kumis harimau kepada pertapa.

"Guru, ini kumis harimau yang Guru butuhkan untuk membuat ramuan."

Pertapa itu mengamati kumis harimau yang diberikan Soh-ji, lalu bertanya,

"Benarkah ini kumis dari harimau hidup?"

"Benar Guru," jawab Soh-ji tegas.

"Kalau begitu, coba ceritakan bagaimana caramu mendapatkannya."

Soh-ji lalu menceritakan setiap detail tentang bagaimana dia memberi makan harimau setiap hari selama enam bulan dan akhirnya memotong kumisnya. Dia menceritakan tentang bagaimana dia diam-diam pergi setiap hari ke gua dengan semangkuk makanan, tanpa sepengetahuan suaminya.

Soh-ji juga bercerita bagaimana harimau itu akhirnya percaya dengannya, dan mereka berdua menjadi dekat satu sama lain.

"Dan pagi tadi akhirnya saya berhasil memotong sehelai kumisnya. Begitulah ceritanya, Guru," kata Soh-ji mengakhiri ceritanya dengan nada bangga.

Mendengar cerita Soh-ji, pertapa itu tersenyum. Disimpannya kumis harimau itu di saku jubahnya.

"Anakku, kumis harimau yang kamu berikan ini sebagai tanda pembayaran akan nasihat yang dan pelayanan yang kuberikan kepadamu," kata sang pertapa dengan lembut.

 "Lalu dimana ramuannya, obat untuk suami saya agar sifat-sifatnya bisa kembali seperti semula?", tanya Soh-ji heran karena pertapa itu tidak membuat ramuan.

"Begini anakku. Coba jawab pertanyaanku, apakah suamimu berperilaku lebih keji daripada harimau yang kamu ambil kumisnya ini? Apakah suamimu lebih menakutkan daripada harimau yang kamu datangi?

Anakku, jika binatang buas besar yang berbahaya itu dapat kamu jinakkan dengan sikap lembut dan penuh kasih serta perhatian yang dipenuhi kasih sayang, tahukah kamu bahwa kamu dapat menjinakkan suamimu dengan cara yang sama?"

Mendengar nasihat sang pertapa, Soh-ji ternganga, kemudian menangis dengan air mata membasahi wajahnya.

"Guru, sekarang saya mengerti apa yang guru maksudkan. Saya bisa melihat harimau dan saya bisa melihat suami saya yang sekarang. Tidak banyak perbedaan. Jadi, benar apa yang Guru katakan. Jika harimau itu bisa saya jinakkan, maka saya pun bisa menjinakkan suami saya, dengan sikap dan perlakuan yang sama."

Soh-ji lalu melangkah ke pintu, berbalik dan berkata kepada sang pertapa yang tersenyum kepadanya.

"Terima kasih Guru. Sekarang saya tahu apa yang harus saya lakukan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun