Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Detik-detik Perang 10 November 1945 dan Lahirnya Pekik "Merdeka atau Mati"

10 November 2020   06:52 Diperbarui: 10 November 2020   06:57 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perang 10 November 1945 merupakan perang paling berdarah yang pernah dialami tentara Inggris pada dekade 1940-an (foto: pinterest/fadlimohammad)

Sejak insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945, para pejuang muda Surabaya mulai melakukan penyerangan ke pos-pos tentara sekutu. Beberapa perang kecil terjadi antara arek-arek Suroboyo yang tak rela tanah airnya diinjak-injak kembali oleh bangsa penjajah.

Pada 28 Oktober 1945, pecahlah perang terbuka pertama antara pejuang Indonesia melawan tentara Inggris dari Brigade 49 India yang dipimpin Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. 

Banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak, baik tentara Indonesia maupun Inggris dan tentu saja rakyat sipil Surabaya. Saat itu, pasukan Inggris diambang kekalahan.

Brigjend Mallaby kemudian mengontak panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal D.C. Hawthorn dan memintanya mengusahakan perdamaian. Hawthorn kemudian menemui Sukarno di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Hawthorn meminta Sukarno untuk membujuk para pejuang di Surabaya agar mau mengadakan gencatan senjata.

Tewasnya Brigjend Mallaby Membuat Inggris Mengultimatum Pejuang Indonesia

Pada 30 Oktober 1945, bertemulah delegasi Indonesia yang diwakili Sukarno, Hatta dan Amir Syarifuddin dengan Inggris yang diwakili Mayor Jenderal D.C. Hawthorn di Surabaya. 

Di depan para pejuang muda Surabaya, Sukarno meminta mereka untuk menghentikan serangan terhadap tentara Inggris. Pihak Inggris sendiri berjanji akan segera menarik pasukanya dari Surabaya. Usai menandatangani perjanjian gencatan senjata, Hawthorn dan para pimpinan RI tersebut meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta.

Namun, takdir tak dapat ditolak. Informasi gencatan senjata ternyata belum diterima oleh seluruh lapisan pasukan. Brigjend Mallaby yang mengira suasana kota Surabaya sudah terkendali menjadi lengah. Pada 30 Oktober 1945 malam, Mallaby keluar dari markas pasukan Inggris dengan maksud mengecek pasukannya.

Dengan naik mobil Buick ia bersama pengawalnya berkeliling Surabaya. Tanpa disadari, Mallaby masuk ke daerah sekitar Jembatan Merah, wilayah yang dikuasai para pejuang Indonesia.

Di dekat Gedung Internatio dan Jembatan Merah saat itu sedang terjadi baku tembak antara para pejuang dan beberapa pasukan tentara bayaran India (Gurkha) yang belum tahu informasi gencatan senjata.

Mendadak, ada pistol menyalak mengarah ke mobil Mallaby. Tak lama kemudian, sebuah granat menggelinding ke bawah mobil dan langsung meledak. Mallaby tewas seketika.

Sampai sekarang, tidak ada yang tahu siapa yang menembak Mallaby dan melemparkan granat ke mobil Mallaby. Begitu pula dengan insiden baku tembak di sekitar Jembatan Merah, tidak diketahui apa penyebabnya.

Dalam perang selama lima tahun melawan NAZI Jerman, Inggris tidak pernah kehilangan satu jenderal pun. Tapi di Surabaya baru lima hari mendarat seorang jenderal sudah terbunuh.

Letnan Jenderal Philip Christison, komandan pasukan sekutu di Indonesia marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby. Ia kemudian mengerahkan 24.000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C Robert Mansergh.

Mansergh kemudian mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. 

Batas ultimatum adalah jam 06.00 pagi pada tanggal 10 November 1945. Ultimatum yang disebar melalui pamflet udara oleh tentara Inggris membuat rakyat Surabaya sangat marah.

"Hak apa orang Inggris memerintahkan orang Surabaya yang menjadi bagian dari negara berdaulat" teriak Bung Tomo sambil menggebrak meja setelah mendapatkan laporan bahwa ada ultimatum dari Inggris.

Munculnya Pekik "Merdeka atau Mati!"

Dalam buku memoarnya (Yayasan Obor, 2001), Hario Kecik (Wakil Komandan Tentara Keamanan Rakyat) mengingat banyak rakyat berkumpul di sudut-sudut kota Surabaya sambil membawa senjata yang bisa mereka dapatkan. 

Para pemuda dan pejuang lainnya kemudian sepakat mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan Surachman sebagai Komandan Pertempuran.

Dari pertemuan itulah muncul semboyan atau pekik "Merdeka atau Mati" dan Sumpah Pejuang Surabaya yang bunyinya sebagai berikut:

Tetap Merdeka!

Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!

---Surabaya, 9 November 1945, jam 18:46

Para pejuang kemudian meneruskan hasil pertemuan mereka dan tekad mempertahankan kota Surabaya ke para pimpinan pemerintahan yang baru terbentuk di Jakarta. 

Selain itu, mereka juga tak lupa meminta restu pada para ulama dan kiai di beberapa pesantren di sekitar Surabaya. Saat itu, rakyat lebih percaya dan lebih patuh pada perintah ulama mereka.

Lahirnya Resolusi Jihad

Bung Tomo sendiri sebelumnya sudah berangkat ke Tebu Ireng, Jombang untuk menemui salah seorang ulama paling berpengaruh, Hadratus Syaikh Hasyim Asyari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Kepada Bung Tomo, Hadratus Syaikh Hasyim Asyari berpesan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah jihad.

"Perang ini akan jadi perang sahid, perang suci karena membela tanah air.  Tapi sebelum saya putuskan bantu kamu baiknya kamu dzikir dulu, saya menunggu seorang Kyai dari Cirebon," pesan Hadratus Syaikh Hasyim Asyari kepada Bung Tomo. Tidak dijelaskan siapa kyai dari Cirebon yang dimaksud.

Esoknya Hadratus Syaikh berkata lagi pada Bung Tomo, "Kamu perang saja, ulama membantu, santri-santri membantu." Kedatangan Bung Tomo yang meminta restu Hadratus Syaikh Hasyim Asyari ini kemudian melahirkan Resolusi Jihad. 

Setelah mendapat restu dan jaminan dari ulama paling berpengaruh itu, Bung Tomo kembali ke Surabaya. Berbekal keterampilannya sebagai jurnalis, Bung Tomo berpidato lewat corong Radio Pemberontakan untuk mengobarkan semangat perlawanan rakyat Surabaya.

...Saudara-saudara Allahu Akbar!!... Semboyan kita tetap: MERDEKA ATAU MATI.

Dan kita yakin, saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian.

Allahu Akbar...!! Allahu Akbar...! Allahu Akbar...!!!

MERDEKA!!!

Mendengar pidato Bung Tomo, tahulah rakyat Surabaya bahwa peperangan tak terelakkan. Melalui siaran radio itu pula, para pejuang dari luar Surabaya berbondong-bondong masuk ke kota, bergabung dengan Arek-arek Suroboyo mempertahankan kota Surabaya dari pendudukan tentara Inggris dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang membonceng di belakangnya.

Detik-detik Pertempuran 10 November 1945

Tanggal 10 November 1945 tiba. Sirene pagi berbunyi keras namun tak satupun rakyat Surabaya yang datang ke pos militer sekutu untuk menyerahkan senjata.

Para pemuda membangun benteng-benteng pasir, menjalin kawat berduri, bersembunyi di balik jendela-jendela toko dengan posisi sudah siap tempur.

Sebelum batas waktu berakhir, Gubernur Soerjo menemui beberapa tokoh pemuda dan pejuang. Kepada rakyatnya, Gubernur Suryo berkata,

"Inggris sudah keterlaluan , sudah tidak menganggap Pemerintahan Djakarta itu ada, tidak ada Republik Indonesia."

Kemudian melalui corong radio, Gubernur Soerjo menyampaikan pidato perlawanannya,

".....Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad yang satu, yaitu berani menghadapi segala kemungkinan. Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: lebih baik hancur dari pada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.....Bismillahhirrohmanirrahim.....Selamat Berjuang !"

Pukul 06.00, batas waktu penyerahan senjata pun berakhir. Meriam kapal-kapal Inggris di pelabuhan Tanjung Perak sudah mengarah ke kota Surabaya.

Pukul 06.10, tembakan meriam pertama meluncur dari sebuah kapal, disusul tembakan-tembakan berikutnya. Wilayah Surabaya Utara yang kebanyakan dihuni para pedagang etnis Cina, Arab, India dan Bugis luluh lantak rata dengan tanah. Tembakan meriam kapal-kapal Inggris menghancurkan kawasan Pasar Turi, Kramat Gantung hingga daerah Pasar Besar.

Pukul 07.00, ratusan tank dan panser mulai melaju dari arah Tanjung Perak menuju tengah kota. Mereka dihadang oleh para pejuang yang bersenjatakan seadanya, hasil rampasan dari tentara Jepang yang sudah menyerah.

Tewasnya Jenderal Kedua Inggris

Pukul 09.00, perang terbuka pertama terjadi di Pasar Turi. Sementara itu, di batas-batas kota milisi dan pejuang dari daerah lain mulai berdatangan memasuki kota Surabaya, siap mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan kedaulatan bangsanya yang sedang dihina Inggris dan Belanda.

Pukul 10.00, deru pesawat terbang terdengar di langit kota Surabaya. Rupanya Inggris mengerahkan pasukan Royal Air Force (RAF) langsung dari pangkalan militernya di Burma. 

Pasukan RAF yang dikerahkan ini adalah veteran perang dari Perang Dunia kedua yang mengebom Berlin. Namun, kali ini yang dibom bukan Berlin, melainkan Surabaya.

Sayangnya, Inggris belum kenal watak orang Surabaya yang panas dan terkenal nekat. Pasukan rakyat kemudian mengambil beberapa senapan anti pesawat buatan Jepang dan menembaki skuadron pasukan RAF.

Dua pesawat terkena tembakan para pejuang. Salah satu penumpang dari pesawat yang tertembak itu adalah Brigadir Jenderal Robert Guy Loder Symonds, seorang komandan pasukan Artileri yang sedang melakukan survei udara. Akibat serangan ini, Symonds terluka parah dan meninggal keesokan harinya di Jakarta.

Pukul 12.00, sekitar 24.000 pasukan infanteri Inggris mulai mendarat di kota Surabaya. Inilah pasukan terbesar Inggris setelah perang dunia selesai.

Menghadapi perjuangan arek-arek Suroboyo ini, Inggris sempat kewalahan. Sudah hampir sebulan mereka bertempur, tapi pasukan Inggris belum bisa menguasai kota Surabaya sepenuhnya. Padahal persenjataan mereka sangat lengkap dan kekuatan tentara mereka juga semakin banyak dan serangannya semakin gencar.

Tapi menghadapi strategi perang gerilya yang diterapkan di area perkotaan Surabaya, kekuatan besar dari tentara Inggris seolah tak berarti. Berkali-kali daerah yang sempat mereka kuasai bisa direbut oleh para pejuang Indonesia.

Jatuhnya Kota Surabaya Mengawali Pendudukan Tentara Belanda

Pada 26 November 1945, pasukan Inggris melancarkan serangan besar-besaran ke Gunungsari, wilayah terakhir yang masih dikuasai pejuang Indonesia. 

Setelah bertempur selama 3 hari, pada 28 November Inggris akhirnya berhasil merebut daerah Darmo dan Wonokromo, lalu melanjutkan serangan hingga berhasil menguasai wilayah Gunungsari.

Kondisi ini memaksa para pejuang Indonesia mundur ke arah Kedurus dan Karangpilang. Jatuhnya wilayah Gunungsari menandakan seluruh wilayah kota Surabaya sudah dikuasai pasukan Inggris.

Setelah Surabaya jatuh, para pejuang Indonesia beberapa kali melakukan serangan gabungan untuk merebut kembali kota Surabaya dari pendudukan tentara Inggris musuh. Serangan gabungan ini dinamakan Serbuan Oemoem Surabaja (SOS) dan terjadi dua kali, yakni pada pertengahan tahun 1947 dan awal tahun 1948.

Perang 10 November 1945 merupakan salah satu pertempuran paling berdarah sekaligus paling brutal yang pernah dialami pasukan Inggris pada dekade 1940-an. Ribuan tentara Inggris tewas, ratusan ribu pejuang dan rakyat Surabaya juga gugur dalam mempertahankan setiap jengkal tanah air Ibu Pertiwi.  

Karena sengitnya pertempuran dan besarnya korban jiwa, setelah pertempuran Surabaya jumlah pasukan Inggris di Indonesia mulai dikurangi secara bertahap dan digantikan oleh pasukan Belanda. 

Berturut-turut setelah Surabaya, kota-kota lain di sekitarnya seperti Sidoarjo, Pasuruan hingga Malang akhirnya ikut jatuh dan diduduki tentara Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun