Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Rakyat Tak Kurang Literasi, Pemerintah Saja yang Minim Nurani

14 Oktober 2020   08:13 Diperbarui: 15 Oktober 2020   08:55 1356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat menerima laporan akhir pembahasan RUU Cipta Kerja (foto: Antara Foto/Hafidz Mubarak)

"Tidak ada yang lebih merusak rasa hormat terhadap pemerintah dan hukum negara selain mengeluarkan undang-undang yang tidak dapat ditegakkan". -- Albert Einstein -

Salah satu argumen pemerintah menghadapi penolakan RUU Cipta Kerja adalah meminta masyarakat membaca secara utuh isi dari RUU tersebut.

"Sudah baca belum?"

"Jangan hanya ikut-ikutan demo tanpa tahu isi RUU-nya."

"Jangan asal tolak dan menggelar aksi demonstrasi."

Begitulah pertanyaan dan pernyataan yang dilontarkan pemerintah dan juga pendengung-pendengungnya (kalau tidak mau disebut buzzer) di dunia maya.

Ketika pihak yang menolak RUU menunjukkan bukti pasal-pasal dalam RUU yang tidak memihak rakyat kecil, hingga berpotensi merusak lingkungan, pemerintah memutarbalikkan argumentasi itu dengan menyebutnya sebagai hoaks.

Sikap pemerintah ini sangat tidak bijak mengingat penolakan terhadap omnibus law sudah disuarakan jauh hari sejak naskah akademik RUU ini dirilis pemerintah. 

Penolakan datang tidak hanya dari kalangan praktisi dan masyarakat yang terkena dampak langsung dari RUU ini, melainkan juga dari kalangan akademisi.

Dengan menyuruh penolak RUU Cipta Karya untuk membaca RUU Cipta Kerja, sama artinya pemerintah menuding rakyat Indonesia kurang literasi. 

Tudingan yang sejatinya malah mengarah pada diri pemerintah sendiri karena bagaimanapun juga sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan bangsa.

Namun, permasalahan utama dari penolakan terhadap Omnibus Law bukan terletak pada kurangnya literasi rakyat Indonesia, melainkan dari minimnya nurani pemerintah dan wakil-wakil rakyat yang duduk di kursi DPR RI.

Proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang terkesan dipaksakan dan prosedur pengesahannya yang sangat amburadul menunjukkan pemerintah ingin menang sendiri tanpa mau memedulikan suara-suara yang keberatan. 

Pemerintah sama sekali mengabaikan prinsip good regulatory practices (penyusunan regulasi yang baik) untuk menjaga regulasi-regulasi baru di kemudian hari tidak membebani perekonomian, sosial dan politik negara itu sendiri.

Masyarakat paham bahwa pemerintah ingin memulihkan perekonomian yang terpuruk dengan melakukan reformasi regulasi. Sejak periode pertama pemerintahan Jokowi, 16 Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) telah dikeluarkan. 

Tetapi berbagai paket tersebut gagal dalam menciptakan kerangka regulasi ekonomi yang lebih baik yang mampu memberi stimulus aktitivas perekonomian masyarakat.

UU Cipta Kerja dimaksudkan pemerintah untuk mengundang investasi lebih banyak yang pada ujungnya dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia. 

Di luar itu juga menjadi momentum bagi pemerintah untuk memulihkan perekonomian yang terpuruk selama pandemi Covid-19 terjadi.

Sayangnya, ketiadaan praktik penyusunan regulasi yang baik membuat UU ini diragukan dapat mengirimkan sinyal positif untuk investor dan dunia usaha, terutama kepada investor asing dan yang terkait dengan padat karya.

Dalam buku Life as I See It, Albert Einstein menulis "nothing is more destructive of respect for the government and the law of the land than passing laws which cannot be enforced". 

Ilmuwan paling terkenal abad 21 ini sedang membicarakan larangan produksi, penjualan, dan distribusi alkohol di Amerika Serikat di dekade 1920-an. 

Larangan yang dimaksudkan untuk melindungi masyarakat AS tersebut ternyata tidak dapat dilaksanakan dan hanya mengundang kriminalitas serta penyalahgunaan wewenang.  

Begitu pula dengan UU Cipta Kerja saat resmi diterapkan nanti. Jika dalam proses penyusunannya saja tidak transparan dan minim partisipasi dari pihak terdampak (baca: buruh dan rakyat kecil), bagaimana nanti pemerintah dapat membuat ratusan aturan turunan yang lebih bijaksana?

Dalam hal pelaksanaan di lapangan, UU Cipta Kerja lebih tergantung pada aturan pelaksanaan seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, lalu turun hingga Peraturan Daerah setingkat kota/kabupaten. 

Jika dalam menyusun aturan turunan ini pemerintah kembali minim nurani dan hanya melihat dari sudur pandang ekonomi semata, Omnibus Law akan sia-sia. 

Kegagalan dalam merumuskan berbagai aturan turunan serta menjamin pelaksanaan yang baik tidak hanya menghasilkan kegagalan dalam melakukan reformasi regulasi, tetapi juga akan menghilangkan kepercayaan dan kredibilitas pemerintahan dan negara Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun