Tudingan yang sejatinya malah mengarah pada diri pemerintah sendiri karena bagaimanapun juga sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan bangsa.
Namun, permasalahan utama dari penolakan terhadap Omnibus Law bukan terletak pada kurangnya literasi rakyat Indonesia, melainkan dari minimnya nurani pemerintah dan wakil-wakil rakyat yang duduk di kursi DPR RI.
Proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang terkesan dipaksakan dan prosedur pengesahannya yang sangat amburadul menunjukkan pemerintah ingin menang sendiri tanpa mau memedulikan suara-suara yang keberatan.Â
Pemerintah sama sekali mengabaikan prinsip good regulatory practices (penyusunan regulasi yang baik) untuk menjaga regulasi-regulasi baru di kemudian hari tidak membebani perekonomian, sosial dan politik negara itu sendiri.
Masyarakat paham bahwa pemerintah ingin memulihkan perekonomian yang terpuruk dengan melakukan reformasi regulasi. Sejak periode pertama pemerintahan Jokowi, 16 Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) telah dikeluarkan.Â
Tetapi berbagai paket tersebut gagal dalam menciptakan kerangka regulasi ekonomi yang lebih baik yang mampu memberi stimulus aktitivas perekonomian masyarakat.
UU Cipta Kerja dimaksudkan pemerintah untuk mengundang investasi lebih banyak yang pada ujungnya dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia.Â
Di luar itu juga menjadi momentum bagi pemerintah untuk memulihkan perekonomian yang terpuruk selama pandemi Covid-19 terjadi.
Sayangnya, ketiadaan praktik penyusunan regulasi yang baik membuat UU ini diragukan dapat mengirimkan sinyal positif untuk investor dan dunia usaha, terutama kepada investor asing dan yang terkait dengan padat karya.
Dalam buku Life as I See It, Albert Einstein menulis "nothing is more destructive of respect for the government and the law of the land than passing laws which cannot be enforced".Â
Ilmuwan paling terkenal abad 21 ini sedang membicarakan larangan produksi, penjualan, dan distribusi alkohol di Amerika Serikat di dekade 1920-an.Â