Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisah Operasi Trisula 1968 Melawan Tripanji PKI di Blitar Selatan

2 Oktober 2020   09:00 Diperbarui: 2 Oktober 2020   09:04 4687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangdam VIII/Brawijaya, Mayjen M. Jasin (kanan) bersama Komandan Satgas Operasi Trisula, Kolonel Witarmin (kiri). (foto: koransulindo.com)

"Ke mana saja To, kok baru muncul?" sapa Alim kepada Karto, teman sekaligus langganan tetap warung kopinya.

"Habis dari Blitar, njenguk Bapak. Kopinya satu, Lim," jawab Karto lalu menyulut rokoknya.

"Lagi sakit ta?" tanya Alim.

"Biasa, namanya juga sudah sepuh. Syukurlah adik perempuanku sabar menjaga dan merawat Bapak.".

Alim mengangsurkan gelas kopi pesanan Karto. Biasanya, setiap pagi warung kopinya sudah ramai pembeli yang kebanyakan pengemudi ojek online. Namun hari itu tumben sepi, hanya ada beberapa langganan yang mampir sebentar.

"Blitar-mu mana sih To? Kukira kamu itu asli Malang lho," tanya Alim.

"Bakung, Lim. Kenapa? Mau ngincar adikku ya?" jawab Karto sambil tertawa.

"Yah, kalau kamu rela adikmu dimadu sih gak papa, hehehe," kata Alim ikut tertawa. "Bakung itu yang ada monumen Trisulanya itu kan?"

"Iya. Kamu pernah ke sana, Lim? tanya Karto.

"Belum. Waktu kamu nyebut Bakung, aku jadi ingat film Operasi Trisula. Film ini kan dulu sering diputar di TVRI setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Ingat nggak, setiap tanggal 30 September malam hari diputar film G30S/PKI, lalu esok hari pas siang diputar film Operasi Trisula. Jadi ya sampai sekarang masih ingat-ingat dikit lah," jawab Alim.

"Betul Lim. Bakung dulu termasuk basis operasi PKI yang terkena Operasi Trisula. Malah bapakku sendiri pelaku sejarahnya, Lim. Bapak sendiri aslinya Sumbermanjing, Malang selatan. Di tahun 1968, bapak yang anggota Banser diminta menyelidiki 'kegiatan mencurigakan' yang dilakukan orang-orang baru di desa-desa Malang Selatan hingga perbatasan Blitar Selatan," jelas Karto.

"Wah, berarti bapakmu tahu sejarah peristiwanya dong, To?"

"Lha, aku sendiri malah jarang diceritain Bapak. Mungkin lho ya, Bapak gak mau cerita karena saat operasi Trisula, banyak rakyat yang hanya ikut-ikutan PKI jadi korban. Dan Bapak, sebagai salah seorang pelaku sejarahnya, ingin memendam ingatan," jawab Karto.

"Yah, sejauh yang aku tahu dari bacaan-bacaanku, Operasi Trisula 1968 termasuk salah satu episode terburuk dari kebijakan pemerintah Soeharto yang saat itu ingin menumpas PKI sampai ke akar-akarnya. Banyak aktivis HAM menilai ada pelanggaran HAM serius saat Operasi Trisula. Ribuan simpatisan PKI maupun rakyat yang hanya ikut-ikutan tanpa tahu tujuannya, ditangkap, disiksa, dibunuh, diperkosa atau ditahan dan dibuang tanpa ada pengadilan.

"Nah, mumpung aku belum dapat orderan dan warungmu masih sepi, coba ceritakan operasi Trisula itu Lim. Tentu saja menurut versimu, hehehe," ujar Karto sambil nyengir. "Aku tahu kamu suka baca, jadi kamu pasti juga tahu cerita seputar Operasi Trisula ini," lanjut Karto.

"Ya, sama seperti peristiwa G30S yang punya versi resmi dan tidak resmi. Operasi Trisula juga demikian. Menurut versi pemerintah, Operasi Trisula merupakan operasi yang dilakukan ABRI untuk menumpas sisa-sisa Gerakan 30 September yang melarikan diri ke Blitar Selatan. Sementara menurut versi tidak resmi, misalnya seperti yang ditulis peneliti Australia, Vanessa Hearman, operasi Trisula tak lain hanya upaya propaganda dari Soeharto untuk menciptakan ketakutan masyarakat terhadap PKI atau membangkitkan sentimen anti PKI.

Dalam istilah Hearman, Operasi Trisula "ditujukan untuk menghidupkan kembali gairah melawan komunis yang sempat redup".

"Tapi, memang benar kok ada kegiatan PKI di Blitar Selatan waktu itu Lim. Bukan hanya kata bapakku saja, banyak tetangga kami yang jadi saksi hidup."

"Ya memang ada, To. Cuma, mengingat kekuatan ABRI yang diturunkan dalam Operasi Trisula, rasanya tidak sebanding dengan kekuatan sisa-sisa PKI di Blitar Selatan. Kata koran luar negeri New York Time, ABRI menurunkan 5000 personel dari 6 batalyon ditambah 3000 milisi, kebanyakan dari Banser atau organisasi sayap NU lainnya.

"Memang cukup berlebihan, Lim. Tapi kalau mengingat kondisi Blitar Selatan saat itu, ABRI tidak akan berhasil menumpas sisa-sisa PKI jika hanya sedikit personel yang diturunkan. Blitar Selatan dulu dikepung hutan dan pegunungan kapur, Lim. Boleh dibilang wilayah itu nyaris terisolasi. Tanahnya kering, hanya mengandalkan hujan untuk bisa bercocok tanam. Makanya, penduduk di sana itu banyak yang miskin. Banyak yang kemudian menjadi perampok atau bromocorah," ujar Karto.

"Ya karena itulah sisa-sisa pemimpin PKI yang melarikan diri dari Jakarta memilih Blitar Selatan sebagai basis baru atau pusat operasi PKI yang baru. Masyarakat yang miskin cenderung mudah terkena propaganda. Hal ini juga tak lepas dari diktat Kritik Otokritik Politbiro CC PKI (KOK) yang dicetuskan Sudisman, Sekjen PKI yang menggantikan D.N Aidit dan Lukman secara de facto.

Menurut diktat Kritik Oto Kritik (KOK) Sudisman, PKI harus memprioritaskan pembangunan kembali "basis-basis revolusi" di pedesaan dan perjuangan bersenjata. Dokumen yang sama mengkritik kebijakan partai yang telah mengabaikan petani sebagai basis kekuatan.

Diktat Sudisman juga merumuskan Tripanji PKI yang baru untuk memenangkan Revolusi Demokrasi Rakyat Indonesia, yaitu: Panji pertama, pembangunan partai Marxis-Leninis yang bebas dari subjektivisme, oportunisme dan revisionisme modern; panji kedua, perjuangan rakyat bersenjata yang hakikatnya perjuangan kaum tani bersenjata untuk revolusi agraria anti-feodal di bawah pimpinan kelas buruh, dan; panji ketiga, front persatuan revolusioner atas dasar persekutuan buruh dan tani di bawah pimpinan kelas buruh.

Kalau melihat isi diktat dan doktrin Tripanji PKI yang baru, agaknya Sudisman ingin mengadopsi dan memadukan strategi desa mengepung kota dari Mao Zedong dan perang gerilya bawah tanah ala Vo Nguyen Giap, yang berhasil diterapkan Vietnam saat melawan invasi Prancis."

"Nguyen Giap itu siapa, Lim? Kalau Mao Zedong sih aku tahu," tanya Karto.

"Vo Nguyen Giap itu jenderal Vietnam, To. Dia dianggap sebagai salah satu ahli strategi perang terhebat, berkat keberhasilannya memimpin rakyat Vietnam melawan invasi Prancis di perang Indocina. Salah satu strateginya adalah membangun ruang bawah tanah (ruba). Inilah yang kemudian ditiru PKI di Blitar Selatan," jawab Alim.

"Wah, bacaanmu sampai ke Vietnam segala, Lim," sanjung Karto.

Alim menanggapi sanjungan Karto dengan senyum kecil.

"Jadi, setelah rencana kudeta terhadap pimpinan tinggi Angkatan Darat di Jakarta gagal, pada Januari 1967 beberapa pimpinan Politbiro PKI melarikan diri ke Blitar Selatan, yakni Rewang, Oloan Hutapean, Tjugito, Iskandar Subekti, Marjoko dan Katno. Mereka dibantu dua orang pimpinan Comite Besar Daerah (CBD) Jawa Timur, Munir dan Ruslan Wijayasastra. Kepindahan mereka diikuti banyak aktivis dan simpatisan PKI Jawa Timur lainnya.

Di Blitar, sisa-sisa pimpinan PKI ini lalu membentuk CC Darurat PKI yang diketuai Ruslan Wijayasastra. Sementara Rewang ditunjuk menangani agitasi dan propaganda, sedangkan Munir memimpin Departemen Perjuangan Bersenjata.

Sejak tinggal di Blitar dan membaur dengan penduduk setempat itu, mereka menyusun kembali organisasi PKI dan melakukan propaganda untuk menarik simpati masyarakat agar mau direkrut dan bergabung dengan PKI. Agar tidak terdeteksi, PKI membentuk basis-basis perjuangan kecil yang disebut Comite Proyek (Compro) di beberapa daerah Jawa Timur, terutama di daerah pegunungan," jelas Alim.

"Anehnya, kok bisa ya Lim, rencana pemberontakan mereka tidak terdeteksi oleh ABRI? Bapak dulu katanya juga tidak menyangka jika di beberapa desa sekitar Malang Selatan banyak simpatisan PKI-nya," tanya Karto.

"Sebenarnya mereka belum punya rencana untuk memberontak, seperti yang terjadi di Jakarta. Di Blitar Selatan, sisa-sisa PKI ini hanya ingin mengumpulkan kekuatan kembali, merekrut dan melatih rakyat.

Keberadaan dan aktivitas mereka juga tidak tercium oleh aparat karena praktis saat itu mereka sudah menjadi satu dengan masyarakat setempat. Ditambah letak Blitar Selatan yang katamu sendiri sangat terpencil dan nyaris terisolasi, tidak mudah dijangkau dari luar.

Tapi karena kecerobohan dan ketidaksabaran kader PKI sendiri, ABRI berhasil mengendus mereka. Awalnya, aksi penyerangan yang dilakukan kader PKI di Blitar Selatan dianggap sebagai kriminalitas biasa, mengingat daerah tersebut dulunya dikenal sebagai daerah bromocorah. Namun, karena pola penyerangannya mirip, pihak militer pun curiga.

Selain menyerang aparat keamanan dengan tujuan merampas senjata, PKI juga menculik, menganiaya dan membunuh tokoh agama Islam atau tokoh masyarakat yang oleh PKI digolongkan sebagai 'rumput beracun', yaitu golongan yang harus dibersihkan sebagaimana yang dirumuskan Tripanji PKI.

Akhirnya, militer menurunkan tim intelejen untuk mencari informasi yang lengkap. Meski 'gangguan keamanan' itu memancing tentara meningkatkan penyelidikannya di Blitar Selatan dan sekitarnya, sebenarnya mereka gagal menemukan petunjuk konkret. Intel-intel yang dikirim gagal memperoleh hasil yang diinginkan karena rakyat di daerah tersebut sangat terlatih menyimpan rahasia sepanjang itu menyangkut soal-soal keamanan.

Namun, upaya intelejen itu akhirnya membuahkan hasil ketika tentara berhasil menangkap seorang perampok bernama Kusno alias Yudo. Dari mulut Kusno meluncur serangkaian informasi penting tentang pergerakan PKI di Blitar Selatan. Selain dari Kusno, informasi penting lainnya didapatkan tentara dari eks Letkol inf Pratomo, bekas Komandan Kodim Pandeglang yang bertanggung jawab mengadakan latihan militer bagi rakyat simpatisan PKI.

Selain informasi dari intelejen, terbongkarnya markas baru PKI di Blitar juga tak lepas dari peran Banser, seperti penuturan bapakmu itu, To. Beberapa minggu sebelum Operasi Trisula digelar, Banser Jawa Timur mengirim 500 personel ke desa-desa di Malang Selatan, sebelah Blitar Selatan. Pengiriman personel ini bertujuan "untuk membuktikan kecurigaan pemimpin mereka akan kebangkitan PKI". Personel yang dikirim ini akhirnya melaporkan bahwa mereka menemukan "banyak orang baru" di pedalaman Blitar.

Berbekal rangkaian informasi tersebut, Pangdam VIII/Brawijaya, Mayjen M. Jasin membentuk Komando Satuan Tugas Operasi yang bernama Satgas Trisula pada 25 Mei 1968 dengan daerah operasi Blitar Selatan, Malang Selatan dan Tulungagung.  Sebagai komandan Satgas, M. Jasin menunjuk Kolonel Witarmin.  

Pada 1 Juni 1968, Operasi Trisula resmi digelar, bersamaan dengan datangnya musim kemarau. Pihak militer menggunakan strategi isolasi, yakni dengan 'memaksa' warga setempat melakukan patroli 'pagar kaki' dan memberlakukan jam malam. Dalam strategi ini, orang-orang lokal membentuk rantai manusia di bawah pengawasan militer, bergerak melintasi bentang alam kawasan Blitar Selatan sehingga para buronan PKI  tidak memiliki kesempatan untuk menyelinap melewati personil militer sebelumnya.

Dengan strategi tersebut, sisa-sisa pimpinan PKI berhasil ditangkap, seperti Rewang dan Munir. Sementara beberapa di antaranya terbunuh, seperti Oloan Hutapea. Yang mengejutkan, di antara pelarian sisa-sisa pimpinan PKI di Blitar Selatan terselip sosok Surachman, Menteri Irigasi Kabinet Dwikora II sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sejak Februari 1966 menjadi buronan karena dituduh sebagai anggota PKI. Surachman menemui ajal pada 15 Juli 1968 setelah ditembak tentara di kawasan hutan Tumpak Kepuh, saat ia mencoba melarikan diri dari Operasi Trisula."

"Ya, mungkin itu sebabnya Lim, bapakku tidak banyak bercerita karena saat Operasi Trisula, banyak rakyat yang hanya ikut-ikutan menjadi korban. Bapak sendiri oleh pemerintah diminta tinggal di Bakung, diberi tanah dan rumah yang hingga kini kami tempati," ujar Karto.

"Itu termasuk kebijakan pemerintah saat itu, To. Bagian dari pemikiran pemerintah adalah bahwa beberapa perbaikan terhadap kehidupan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menghindari mereka menjadi mangsa ideologi komunis. Untuk itu, desa-desa didesain ulang, dengan rumah-rumah dan penghuninya mendekat ke jalan-jalan utama agar mudah diawasi. Masjid dan tempa ibadah lain dibangun. Bimbingan spiritual digalakkan. Ini semua tak lain untuk memudahkan pemerintah mengawasi penduduk dan 'melindungi' mereka dari propaganda komunisme," jelas Alim mengakhiri cerita tentang Operasi Trisula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun