Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisah Operasi Trisula 1968 Melawan Tripanji PKI di Blitar Selatan

2 Oktober 2020   09:00 Diperbarui: 2 Oktober 2020   09:04 4687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangdam VIII/Brawijaya, Mayjen M. Jasin (kanan) bersama Komandan Satgas Operasi Trisula, Kolonel Witarmin (kiri). (foto: koransulindo.com)

"Sebenarnya mereka belum punya rencana untuk memberontak, seperti yang terjadi di Jakarta. Di Blitar Selatan, sisa-sisa PKI ini hanya ingin mengumpulkan kekuatan kembali, merekrut dan melatih rakyat.

Keberadaan dan aktivitas mereka juga tidak tercium oleh aparat karena praktis saat itu mereka sudah menjadi satu dengan masyarakat setempat. Ditambah letak Blitar Selatan yang katamu sendiri sangat terpencil dan nyaris terisolasi, tidak mudah dijangkau dari luar.

Tapi karena kecerobohan dan ketidaksabaran kader PKI sendiri, ABRI berhasil mengendus mereka. Awalnya, aksi penyerangan yang dilakukan kader PKI di Blitar Selatan dianggap sebagai kriminalitas biasa, mengingat daerah tersebut dulunya dikenal sebagai daerah bromocorah. Namun, karena pola penyerangannya mirip, pihak militer pun curiga.

Selain menyerang aparat keamanan dengan tujuan merampas senjata, PKI juga menculik, menganiaya dan membunuh tokoh agama Islam atau tokoh masyarakat yang oleh PKI digolongkan sebagai 'rumput beracun', yaitu golongan yang harus dibersihkan sebagaimana yang dirumuskan Tripanji PKI.

Akhirnya, militer menurunkan tim intelejen untuk mencari informasi yang lengkap. Meski 'gangguan keamanan' itu memancing tentara meningkatkan penyelidikannya di Blitar Selatan dan sekitarnya, sebenarnya mereka gagal menemukan petunjuk konkret. Intel-intel yang dikirim gagal memperoleh hasil yang diinginkan karena rakyat di daerah tersebut sangat terlatih menyimpan rahasia sepanjang itu menyangkut soal-soal keamanan.

Namun, upaya intelejen itu akhirnya membuahkan hasil ketika tentara berhasil menangkap seorang perampok bernama Kusno alias Yudo. Dari mulut Kusno meluncur serangkaian informasi penting tentang pergerakan PKI di Blitar Selatan. Selain dari Kusno, informasi penting lainnya didapatkan tentara dari eks Letkol inf Pratomo, bekas Komandan Kodim Pandeglang yang bertanggung jawab mengadakan latihan militer bagi rakyat simpatisan PKI.

Selain informasi dari intelejen, terbongkarnya markas baru PKI di Blitar juga tak lepas dari peran Banser, seperti penuturan bapakmu itu, To. Beberapa minggu sebelum Operasi Trisula digelar, Banser Jawa Timur mengirim 500 personel ke desa-desa di Malang Selatan, sebelah Blitar Selatan. Pengiriman personel ini bertujuan "untuk membuktikan kecurigaan pemimpin mereka akan kebangkitan PKI". Personel yang dikirim ini akhirnya melaporkan bahwa mereka menemukan "banyak orang baru" di pedalaman Blitar.

Berbekal rangkaian informasi tersebut, Pangdam VIII/Brawijaya, Mayjen M. Jasin membentuk Komando Satuan Tugas Operasi yang bernama Satgas Trisula pada 25 Mei 1968 dengan daerah operasi Blitar Selatan, Malang Selatan dan Tulungagung.  Sebagai komandan Satgas, M. Jasin menunjuk Kolonel Witarmin.  

Pada 1 Juni 1968, Operasi Trisula resmi digelar, bersamaan dengan datangnya musim kemarau. Pihak militer menggunakan strategi isolasi, yakni dengan 'memaksa' warga setempat melakukan patroli 'pagar kaki' dan memberlakukan jam malam. Dalam strategi ini, orang-orang lokal membentuk rantai manusia di bawah pengawasan militer, bergerak melintasi bentang alam kawasan Blitar Selatan sehingga para buronan PKI  tidak memiliki kesempatan untuk menyelinap melewati personil militer sebelumnya.

Dengan strategi tersebut, sisa-sisa pimpinan PKI berhasil ditangkap, seperti Rewang dan Munir. Sementara beberapa di antaranya terbunuh, seperti Oloan Hutapea. Yang mengejutkan, di antara pelarian sisa-sisa pimpinan PKI di Blitar Selatan terselip sosok Surachman, Menteri Irigasi Kabinet Dwikora II sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sejak Februari 1966 menjadi buronan karena dituduh sebagai anggota PKI. Surachman menemui ajal pada 15 Juli 1968 setelah ditembak tentara di kawasan hutan Tumpak Kepuh, saat ia mencoba melarikan diri dari Operasi Trisula."

"Ya, mungkin itu sebabnya Lim, bapakku tidak banyak bercerita karena saat Operasi Trisula, banyak rakyat yang hanya ikut-ikutan menjadi korban. Bapak sendiri oleh pemerintah diminta tinggal di Bakung, diberi tanah dan rumah yang hingga kini kami tempati," ujar Karto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun