Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisah Operasi Trisula 1968 Melawan Tripanji PKI di Blitar Selatan

2 Oktober 2020   09:00 Diperbarui: 2 Oktober 2020   09:04 4687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangdam VIII/Brawijaya, Mayjen M. Jasin (kanan) bersama Komandan Satgas Operasi Trisula, Kolonel Witarmin (kiri). (foto: koransulindo.com)

Menurut diktat Kritik Oto Kritik (KOK) Sudisman, PKI harus memprioritaskan pembangunan kembali "basis-basis revolusi" di pedesaan dan perjuangan bersenjata. Dokumen yang sama mengkritik kebijakan partai yang telah mengabaikan petani sebagai basis kekuatan.

Diktat Sudisman juga merumuskan Tripanji PKI yang baru untuk memenangkan Revolusi Demokrasi Rakyat Indonesia, yaitu: Panji pertama, pembangunan partai Marxis-Leninis yang bebas dari subjektivisme, oportunisme dan revisionisme modern; panji kedua, perjuangan rakyat bersenjata yang hakikatnya perjuangan kaum tani bersenjata untuk revolusi agraria anti-feodal di bawah pimpinan kelas buruh, dan; panji ketiga, front persatuan revolusioner atas dasar persekutuan buruh dan tani di bawah pimpinan kelas buruh.

Kalau melihat isi diktat dan doktrin Tripanji PKI yang baru, agaknya Sudisman ingin mengadopsi dan memadukan strategi desa mengepung kota dari Mao Zedong dan perang gerilya bawah tanah ala Vo Nguyen Giap, yang berhasil diterapkan Vietnam saat melawan invasi Prancis."

"Nguyen Giap itu siapa, Lim? Kalau Mao Zedong sih aku tahu," tanya Karto.

"Vo Nguyen Giap itu jenderal Vietnam, To. Dia dianggap sebagai salah satu ahli strategi perang terhebat, berkat keberhasilannya memimpin rakyat Vietnam melawan invasi Prancis di perang Indocina. Salah satu strateginya adalah membangun ruang bawah tanah (ruba). Inilah yang kemudian ditiru PKI di Blitar Selatan," jawab Alim.

"Wah, bacaanmu sampai ke Vietnam segala, Lim," sanjung Karto.

Alim menanggapi sanjungan Karto dengan senyum kecil.

"Jadi, setelah rencana kudeta terhadap pimpinan tinggi Angkatan Darat di Jakarta gagal, pada Januari 1967 beberapa pimpinan Politbiro PKI melarikan diri ke Blitar Selatan, yakni Rewang, Oloan Hutapean, Tjugito, Iskandar Subekti, Marjoko dan Katno. Mereka dibantu dua orang pimpinan Comite Besar Daerah (CBD) Jawa Timur, Munir dan Ruslan Wijayasastra. Kepindahan mereka diikuti banyak aktivis dan simpatisan PKI Jawa Timur lainnya.

Di Blitar, sisa-sisa pimpinan PKI ini lalu membentuk CC Darurat PKI yang diketuai Ruslan Wijayasastra. Sementara Rewang ditunjuk menangani agitasi dan propaganda, sedangkan Munir memimpin Departemen Perjuangan Bersenjata.

Sejak tinggal di Blitar dan membaur dengan penduduk setempat itu, mereka menyusun kembali organisasi PKI dan melakukan propaganda untuk menarik simpati masyarakat agar mau direkrut dan bergabung dengan PKI. Agar tidak terdeteksi, PKI membentuk basis-basis perjuangan kecil yang disebut Comite Proyek (Compro) di beberapa daerah Jawa Timur, terutama di daerah pegunungan," jelas Alim.

"Anehnya, kok bisa ya Lim, rencana pemberontakan mereka tidak terdeteksi oleh ABRI? Bapak dulu katanya juga tidak menyangka jika di beberapa desa sekitar Malang Selatan banyak simpatisan PKI-nya," tanya Karto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun