"Lalu setelah diangkat jadi ketua MPRS, Nasution langsung mencopot mandat Soekarno?" tanya Burhan.
"Ya belum, karena MPRS yang baru belum memasuki masa sidang umum. Lagipula, Nasution itu orang yang taat konstitusi. Sejauh itu Nasution belum menemukan satu celah yang bisa dijadikan alasan untuk mencopot mandat Soekarno. Titik awal kejatuhan Soekarno justru terjadi karena dia terlalu menuruti nafsu lelakinya," kata Alim menjelaskan.
"Ah, paling ini teori rekaanmu sendiri ya Lim?" tanya Karto.
"Aku tidak sekedar berteori, To. Sejarah sendiri yang menunjukkannya pada kita. Usai gagalnya Gerakan 30 September yang diikuti dengan pembubaran PKI oleh Soeharto, situasi sudah mulai kondusif. Rakyat sudah kembali beraktivitas dengan normal, terutama wilayah ibukota negara.
Meskipun, yah kita juga harus mengakuinya, di beberapa daerah rakyat yang masih marah terus mengejar sisa-sisa pengikut PKI. Kita tidak bisa menghindari fakta ini, segelap dan sekelam apapun.
Kemarahan rakyat kepada pengikut PKI, dan tindakan-tindakan yang menyertainya saat itu akhirnya dijadikan alasan pembenaran bagi pengikut-pengikut PKI sekarang bahwa mereka adalah korban.
Padahal, kemarahan rakyat itu merupakan akibat dari apa yang sudah diperbuat PKI sebelumnya, ketika PKI dekat dan dapat memengaruhi Soekarno. Ada banyak tulisan maupun saksi mata yang bisa menceritakan pada kita bagaimana PKI meneror dan mengintimidasi rakyat yang tidak mau menerima ideologi mereka.
Apalagi setelah peristiwa G30S itu tersiar luas, dan pihak tentara melukiskan kekejaman PKI yang membunuh jenderal-jenderal mereka. Seperti api yang disiram dengan bensin....". Kata-kata Alim mendadak terdengar lirih. Matanya menerawang jauh. Karto dan Burhan akhirnya jadi terdiam.
"Terus, bagaimana ceritanya Nasution tadi, Lim?" tanya Burhan.
"Sampai di mana tadi?" tanya Alim.
"Katamu titik awal Soekarno jatuh karena dia memperturutkan nafsu lelakinya" jawab Burhan mengingatkan.
 "Oh ya. Jadi, situasi politik dan keamanan yang mulai kondusif ini berlangsung selama 2 bulan, dari sejak Soeharto menerima Supersemar hingga akhir Mei. Pada saat itulah rakyat mendengar kabar Soekarno hendak menikahi gadis belia yang pantas jadi cucunya!"
"Ah yang benar Lim?" tanya Karto.
"Lho, ini fakta sejarah, To. Ketenangan rakyat terusik dengan kabar Soekarno akan mengawini Heldy Djafar, gadis manis dari Kutai Kartanegara. Saat itu Soekarno sudah berusia 65 tahun, sementara Heldy Djafar baru berusia 19 tahun!"
"Wah, benar-benar Cassanova ya presiden pertama kita" kata Burhan nyengir.
"Nah, itulah yang membuat rakyat marah. Pada 11 Juni 1966, Soekarno menikahi Heldy Djafar dengan saksi Ketua DPA Idham Chalid dan Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Heldy Djafar pun resmi menjadi istri Soekarno yang ke-9.
Perkawinan Soekarno dengan Heldy Djafar itu seolah menyadarkan rakyat bila ternyata Soekarno memang tidak pernah memikirkan kepentingan dan kebutuhan rakyat, selain memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Situasi yang sebelumnya mulai tenang akhirnya kembali memanas.
Rakyat bersama mahasiswa turun ke jalan. Kali ini tuntutannya bukan urusan perut, melainkan langsung tertuju pada Soekarno. Tuntutan 'Adili Soekarno', 'Mahmilubkan Soekarno', 'Turunkan Soekarno', 'Soekarno Gestapu Agung' Â dan yang senada tertulis dalam spanduk-spanduk yang digelar rakyat dan mahasiswa saat mereka berdemonstrasi. Sejak saat itu Soekarno sudah kehilangan legitimasinya di mata rakyat.
Situasi inilah yang kemudian dijadikan Nasution sebagai amunisi terakhir untuk mempreteli kekuasaan Soekarno, melalui Sidang Umum MPRS IV yang digelar 21 Juni sampai 5 Juli 1966."
"Dalam sidang itu Soekarno langsung dicopot?" tanya Karto mengulang pertanyaan Burhan sebelumnya.
"Belum. Soekarno masih sah sebagai presiden dan karena itu dia punya kewenangan melakukan tindakan-tindakan luar biasa, mengingat sebagai presiden Soekarno adalah Panglima Tertinggi ABRI.
Jadi, hal pertama yang dilakukan Nasution adalah memperkuat posisi Soeharto dulu dengan meratifikasi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), dan menutup pintu rapat-rapat agar partai berpaham komunis tidak dapat eksis di dunia politik Indonesia," jawab Alim.
"Maksudnya bagaimana, Lim? Kok aku masih belum mengerti?" tanya Karto.
"Begini, Supersemar memang memberi kuasa kepada Soeharto untuk menertibkan keamanan sekaligus mengambil keputusan-keputusan yang dianggap perlu agar jalannya pemerintahan tidak terganggu. Sebagai penerima perintah, Soeharto harus melaporkan segala tindakannya kepada presiden. Artinya, sebagai presiden Soekarno bisa sewaktu-waktu mencabut Supersemar apabila situasi dianggap sudah kondusif.
Karena itu, tindakan pertama Nasution sebagai ketua MPRS dalam Sidang Umum IV MPRS adalah mengesahkan Supersemar sebagai keputusan negara. Dengan keputusan ini berarti Supersemar tidak boleh lagi dicabut atau ditarik kembali karena sudah diambil alih oleh MPRS sebagai pemegang mandat tertinggi.
Namun Soekarno berusaha melawan keputusan MPRS yang dipimpin Nasution. Melalui pidato pertanggungjawaban berjudul 'Nawaksara' (Sembilan Butir Suara) yang dibacakan pada 22 Juni 1966, Soekarno mencoba menjelaskan duduk perkara pengangkatannya sebagai presiden seumur hidup dan rencana kerjanya sebagai presiden.
Pidato ini malah jadi senjata makan tuan. Tak sekalimat pun dalam pidatonya tersebut Soekarno menyinggung Gerakan 30 September. Inilah yang membuat Nasution dan segenap anggota MPRS gusar dan 'geregetan' dengan Soekarno. Alhasil, pidatonya ditolak. Sekalipun begitu, Soekarno masih menjabat sebagai presiden. Tapi kali ini tanpa kekuasaan sama sekali!
Satu per satu kewenangan Soekarno dipreteli Nasution. Melalui kepemimpinannya, MPRS mengeluarkan beberapa ketetapan penting seperti mencabut pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, mengeluarkan TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 tentang pelarangan faham komunis (Marxisme), pengesahan pembubaran PKI (yang sebelumnya hanya bersifat perintah dari Soeharto sebagai penerima Supersemar), dan juga memerintahkan pemilihan legislatif yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1968," jelas Alim.
"Oh, jadi ini yang kamu maksud campur tangan Nasution itu ya, Lim?" kata Burhan.
"Benar. Dengan posisinya sebagai Ketua MPRS dan didukung fakta dia hampir jadi korban keganasan Gestapu, Nasution berhasil mengarahkan MPRS untuk menjatuhkan Soekarno, sekaligus dalam satu kesempatan yang sama Nasution memberi jalan bagi Soeharto untuk berkuasa," jawab Alim.
"Maksudnya?" tanya Karto.
"Kamu masih ingat kan saat Soeharto baru menerima Supersemar, Nasution pernah memberi saran dan dukungan bahwa Soeharto dapat membentuk kabinet baru? Nah, Sidang Umum IV MPRS yang dipimpin Nasution juga menghasilkan keputusan untuk meningkatkan kekuasaan Soeharto dan secara resmi memerintahkannya untuk merumuskan kabinet baru.
Dalam sidang umum itu, Nasution benar-benar menutup celah bagi Soekarno. Sebagai presiden, Soekarno bisa menunjuk siapa pun yang dipercayainya untuk menjadi wakil presiden yang hingga saat itu masih kosong.
Agar hal ini tidak terjadi, MPRS mengesahkan keputusan bahwa jika presiden tidak mampu melaksanakan tugasnya, ia kini akan digantikan oleh pemegang Supersemar, bukan wakil presiden.
"Apakah setelah itu Soekarno menyerah, Lim?" tanya Karto kembali.
"Tidak. Di usianya yang semakin senja, Soekarno masih berambisi untuk berkuasa. Pada peringatan HUT RI ke-21 (17 Agustus 1966), dalam pidatonya yang berjudul Jasmerah Soekarno berusaha menarik simpatik rakyat dengan menyebut bahwa Supersemar adalah sebuah surat perintah biasa, yang dapat diberikan kepada siapa saja.
Pernyataan ini menyiratkan sindiran Soekarno pada Nasution yang memimpin sidang MPRS yang meratifikasi Supersemar menjadi mandat MPRS. Pada kesempatan itu pula, Soekarno mengucapkan terima kasih kepada Soeharto yang telah menjalankan perintah sesuai amanat Supersemar. Pidato ini dianggap banyak pihak merupakan upaya Soekarno untuk membenturkan Nasution dan Soeharto.
"Sikap Soeharto sendiri bagaimana, Lim?" tanya Burhan.
"Soeharto itu Jawa tulen. Dia memegang teguh prinsip 'mikul nduwur mendem njero' (mengangkat kebaikan memendam kesalahan). Maksudnya, hingga menjelang akhir kekuasaan Soekarno, Soeharto mengambil sikap (yang dianggap sebagian pihak hanya kepura-puraan) membela Soekarno.
Berbeda dengan beberapa jenderal lain, terutama Nasution, yang sepertinya tidak berbelas kasihan. Secara terbuka, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus bertanggung jawab atas situasi buruk yang melanda pemerintahan dan masyarakat Indonesia pada saat itu. Nasution juga menyerukan agar Soekarno dibawa ke pengadilan.
Waktu kejatuhan Soekarno tiba saat MPRS menggelar Sidang Umum pada 10 Januari 1967. Dalam sidang tersebut, MPRS meminta Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawaban sebelumnya.
Dalam pidato yang berjudul 'Pelengkap Nawaksara', Soekarno menyebut Gerakan 30 September  (Gestapu) sebagai Gerakan 1 Oktober (Gestok). Soekarno mengakui PKI membuat kesalahan besar pada pagi hari 1 Oktober, tetapi di satu sisi menurut Soekarno juga tak lepas dari kecerdikan pihak neokolonialis. Siapa yang dimaksud 'pihak neokolonialis' ini, Soekarno tidak mengatakannya secara langsung.
Soekarno juga mengelak untuk memikul penuh tanggung jawab atas terjadinya peristiwa tersebut. Menurut Soekarno, jika dirinya (Soekarno) disalahkan atas peristiwa G30S, maka Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat itu (Nasution) juga harus dipersalahkan karena tidak mampu melihat dan mendeteksi akan terjadinya peristiwa G30S dan menghentikannya sebelum itu terjadi.
Mendengar alasan Soekarno, MPRS dibawah kendali Nasution menolak laporan 'Pelengkap Nawaksara'. Bahkan Nasution, yang dalam laporan tersebut dianggap bersalah oleh Soekarno, balik menyerang dan mempertanyakan maksud ucapan Soekarno, "Dalam sebuah revolusi, kadang seorang bapak harus memakan anaknya sendiri".
Pernyataan ini mirip dengan yang didengar Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, ketika bersama Soeharto dipanggil menghadap Soekarno di Istana Bogor usai mengambil alih pangkalan udara Halim. Ketika itu Sarwo Edhie bertanya "Di mana para Jenderal?" Lalu Sukarno menjawab "Bukankah ini hal yang normal dalam revolusi?"
Pertanyaan Nasution akan maksud ucapan Soekarno itu tak pernah dijawab Soekarno hingga akhir hayatnya," jelas Alim.
"Berarti Soekarno terlibat dong?" tanya Karto.
"Tidak ada bukti yang benar-benar 100 persen valid, yang bisa menunjukkan keterlibatan Soekarno dalam G30S. Begitu pula dengan tudingan terhadap keterlibatan Soeharto, yang katanya di-backing oleh CIA," jawab Alim.
"Tapi kan setelah itu Soeharto berkuasa, Lim?" tanya Burhan.
"Memang benar. Tapi apakah Soeharto yang mendalangi G30S? Menurutku tidak. Soeharto hanya 'ketiban sampur'. Seperti yang diakui Soekarno, PKI lah yang benar-benar mendalangi Gerakan 30 September. Ketika Nasution bersama Soeharto berhasil menggagalkan G30S, dan posisi Soekarno terjepit, musuh komunis yakni negara barat yang dipimpin Amerika melihat peluang untuk segera menjatuhkan Soekarno.
Masa itu adalah puncak dari Perang Dingin antar dua negara adidaya, Amerika dan Uni Soviet beserta sekutu-sekutunya. Praktis, tak ada satu pun negara di dunia ini yang lepas dari pengaruh mereka. Dua negara itu akan selalu ikut campur dan mendukung tokoh lokal yang sesuai dengan ideologi mereka.
Amerika melihat Soeharto punya peluang besar untuk berkuasa hingga 'wajar' apabila mereka memberi dukungan penuh agar Soekarno bisa segera dilengserkan. Tapi, Soeharto juga tak akan bisa berkuasa bila tidak ada campur tangan Nasution.
Pada 9 Februari, DPR-GR mengeluarkan resolusi dan memorandum dalam menilai "Nawaksara" beserta Pelengkapnya. DPR-GR Â berpendapat bahwa "Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila". Untuk itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS.
Pada 11 Maret 1967, Nasution memimpin Sidang Istimewa MPRS dengan agenda mencabut mandat presiden dari Soekarno, dan melantik Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Setahun kemudian pada 27 Maret, Nasution mengambil sumpah Soeharto sebagai Presiden penuh usai terpilih secara aklamasi dalam sidang MPRS," kata Alim mengakhiri ceritanya.
***
Sebelumnya: Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H