Dalam sidang umum itu, Nasution benar-benar menutup celah bagi Soekarno. Sebagai presiden, Soekarno bisa menunjuk siapa pun yang dipercayainya untuk menjadi wakil presiden yang hingga saat itu masih kosong.
Agar hal ini tidak terjadi, MPRS mengesahkan keputusan bahwa jika presiden tidak mampu melaksanakan tugasnya, ia kini akan digantikan oleh pemegang Supersemar, bukan wakil presiden.
"Apakah setelah itu Soekarno menyerah, Lim?" tanya Karto kembali.
"Tidak. Di usianya yang semakin senja, Soekarno masih berambisi untuk berkuasa. Pada peringatan HUT RI ke-21 (17 Agustus 1966), dalam pidatonya yang berjudul Jasmerah Soekarno berusaha menarik simpatik rakyat dengan menyebut bahwa Supersemar adalah sebuah surat perintah biasa, yang dapat diberikan kepada siapa saja.
Pernyataan ini menyiratkan sindiran Soekarno pada Nasution yang memimpin sidang MPRS yang meratifikasi Supersemar menjadi mandat MPRS. Pada kesempatan itu pula, Soekarno mengucapkan terima kasih kepada Soeharto yang telah menjalankan perintah sesuai amanat Supersemar. Pidato ini dianggap banyak pihak merupakan upaya Soekarno untuk membenturkan Nasution dan Soeharto.
"Sikap Soeharto sendiri bagaimana, Lim?" tanya Burhan.
"Soeharto itu Jawa tulen. Dia memegang teguh prinsip 'mikul nduwur mendem njero' (mengangkat kebaikan memendam kesalahan). Maksudnya, hingga menjelang akhir kekuasaan Soekarno, Soeharto mengambil sikap (yang dianggap sebagian pihak hanya kepura-puraan) membela Soekarno.
Berbeda dengan beberapa jenderal lain, terutama Nasution, yang sepertinya tidak berbelas kasihan. Secara terbuka, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus bertanggung jawab atas situasi buruk yang melanda pemerintahan dan masyarakat Indonesia pada saat itu. Nasution juga menyerukan agar Soekarno dibawa ke pengadilan.
Waktu kejatuhan Soekarno tiba saat MPRS menggelar Sidang Umum pada 10 Januari 1967. Dalam sidang tersebut, MPRS meminta Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawaban sebelumnya.
Dalam pidato yang berjudul 'Pelengkap Nawaksara', Soekarno menyebut Gerakan 30 September  (Gestapu) sebagai Gerakan 1 Oktober (Gestok). Soekarno mengakui PKI membuat kesalahan besar pada pagi hari 1 Oktober, tetapi di satu sisi menurut Soekarno juga tak lepas dari kecerdikan pihak neokolonialis. Siapa yang dimaksud 'pihak neokolonialis' ini, Soekarno tidak mengatakannya secara langsung.
Soekarno juga mengelak untuk memikul penuh tanggung jawab atas terjadinya peristiwa tersebut. Menurut Soekarno, jika dirinya (Soekarno) disalahkan atas peristiwa G30S, maka Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat itu (Nasution) juga harus dipersalahkan karena tidak mampu melihat dan mendeteksi akan terjadinya peristiwa G30S dan menghentikannya sebelum itu terjadi.