Mendengar alasan Soekarno, MPRS dibawah kendali Nasution menolak laporan 'Pelengkap Nawaksara'. Bahkan Nasution, yang dalam laporan tersebut dianggap bersalah oleh Soekarno, balik menyerang dan mempertanyakan maksud ucapan Soekarno, "Dalam sebuah revolusi, kadang seorang bapak harus memakan anaknya sendiri".
Pernyataan ini mirip dengan yang didengar Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, ketika bersama Soeharto dipanggil menghadap Soekarno di Istana Bogor usai mengambil alih pangkalan udara Halim. Ketika itu Sarwo Edhie bertanya "Di mana para Jenderal?" Lalu Sukarno menjawab "Bukankah ini hal yang normal dalam revolusi?"
Pertanyaan Nasution akan maksud ucapan Soekarno itu tak pernah dijawab Soekarno hingga akhir hayatnya," jelas Alim.
"Berarti Soekarno terlibat dong?" tanya Karto.
"Tidak ada bukti yang benar-benar 100 persen valid, yang bisa menunjukkan keterlibatan Soekarno dalam G30S. Begitu pula dengan tudingan terhadap keterlibatan Soeharto, yang katanya di-backing oleh CIA," jawab Alim.
"Tapi kan setelah itu Soeharto berkuasa, Lim?" tanya Burhan.
"Memang benar. Tapi apakah Soeharto yang mendalangi G30S? Menurutku tidak. Soeharto hanya 'ketiban sampur'. Seperti yang diakui Soekarno, PKI lah yang benar-benar mendalangi Gerakan 30 September. Ketika Nasution bersama Soeharto berhasil menggagalkan G30S, dan posisi Soekarno terjepit, musuh komunis yakni negara barat yang dipimpin Amerika melihat peluang untuk segera menjatuhkan Soekarno.
Masa itu adalah puncak dari Perang Dingin antar dua negara adidaya, Amerika dan Uni Soviet beserta sekutu-sekutunya. Praktis, tak ada satu pun negara di dunia ini yang lepas dari pengaruh mereka. Dua negara itu akan selalu ikut campur dan mendukung tokoh lokal yang sesuai dengan ideologi mereka.
Amerika melihat Soeharto punya peluang besar untuk berkuasa hingga 'wajar' apabila mereka memberi dukungan penuh agar Soekarno bisa segera dilengserkan. Tapi, Soeharto juga tak akan bisa berkuasa bila tidak ada campur tangan Nasution.
Pada 9 Februari, DPR-GR mengeluarkan resolusi dan memorandum dalam menilai "Nawaksara" beserta Pelengkapnya. DPR-GR Â berpendapat bahwa "Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila". Untuk itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS.
Pada 11 Maret 1967, Nasution memimpin Sidang Istimewa MPRS dengan agenda mencabut mandat presiden dari Soekarno, dan melantik Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Setahun kemudian pada 27 Maret, Nasution mengambil sumpah Soeharto sebagai Presiden penuh usai terpilih secara aklamasi dalam sidang MPRS," kata Alim mengakhiri ceritanya.