Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mas Nadiem, Masih Adakah Pelajaran Akhlak untuk Anak-anak Kami?

12 Maret 2020   09:47 Diperbarui: 13 Maret 2020   05:58 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hati orangtua mana yang tidak ketar-ketir saat membaca berita anak remaja membunuh balita? Yang lebih memilukan dan menyayat hati, pelaku yang masih berusia 15 tahun melakukan perbuatan keji itu di dalam rumah di kawasan Sawah Besar, Jakarta Barat.

Pelaku NF mengaku membunuh balita APA (5) karena terinspirasi karakter film yang sering ia tonton. Usai membunuh, dengan tenangnya NF menyerahkan diri ke polisi.

Sementara polisi masih mendalami aspek kejiwaan NF, masyarakat dikejutkan dengan berita remaja putri yang dibunuh lalu diperkosa. Belum tuntas penyelidikannya, muncul video viral seorang siswi SMK mengalami pelecehan seksual dengan digerayangi ramai-ramai oleh teman sekolahnya.

Satu bulan sebelumnya, para orangtua juga dikejutkan dengan berita perundungan yang dialami MS, siswa SMPN 16 Kota Malang. Akibat perundungan yang dilakukan teman sekolahnya, MS mengalami luka memar di sekujur tubuh dan jari tengahnya harus diamputasi.

Berbagai tindak kriminalitas dan perundungan yang dilakukan para remaja ini menimbulkan pertanyaan tersendiri, apa yang salah dengan pola asuh generasi muda kita? 

Siapa yang harus bertanggungjawab penuh atas tindak kriminal yang mereka lakukan? Orangtua, masyarakat lingkungan sekitar, atau pemerintah?

Pelibatan Keluarga dan Masyarakat dalam Tri Sentra Pendidikan

Semuanya harus ikut bertanggung jawab. Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan pelibatan keluarga dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, yang diwujudkan dalam bentuk Tri Sentra Pendidikan.

Adapun tujuan utama dari tatanan tri sentra pendidikan ini adalah untuk membangun ekosistem pendidikan yang menumbuhkan karakter dan budaya berprestasi peserta didik.

Meski begitu, beban tanggung jawab terbesar tetap berada di tangan pemerintah sebagai pelaksana pendidikan. Tugas utama pemerintah adalah memastikan tatanan tri sentra pendidikan ini bisa berjalan dengan baik hingga mencapai apa yang menjadi tujuan utamanya.

Sayangnya, amanat undang-undang ini belum sepenuhnya dijalankan pemerintah. Setiap kali ada pergantian kabinet, yang jadi fokus dalam arah dan kebijakan pendidikan Indonesia cuma satu hal: Ujian Nasional!

Seolah pendidikan Indonesia hanya berkutat pada masalah ujian nasional saja. Pemerintah dan masyarakat ramai memperdebatkan perlu tidaknya ujian nasional bagi anak-anak sekolah. Sementara mereka melupakan satu hal sangat penting yang menjadi pondasi pembentukan karakter peserta didik: Pelajaran Akhlak.

Tak terkecuali saat Mas Nadiem Makarim ditunjuk menjadi Mendikbud. Melewati masa 100 hari kerja Mas Nadiem menahkodai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kebijakan awal yang dikeluarkannya belum menyentuh masalah ini.

Pelajaran Akhlak yang Luput Diperhatikan

Mas Nadiem masih berkutat seputar kuota zonasi, kemerdekaan mengajar,dan sisi teknis pendidikan lainnya. Mas Nadiem belum menyentuh inti dari pendidikan Indonesia yang diwariskan pendahulu kita, yakni Pendidikan Karakter khususnya pendidikan akhlak.

Visi dan cita-cita Mas Nadiem untuk mereformasi pendidikan Indonesia memang bagus dan layak kita acungi jempol. Tetapi, tanpa pondasi yang kuat, visi itu tidak akan ada artinya.

Melalui kemerdekaan belajar, mungkin kelak anak-anak kita bisa mengejar ketertinggalan mereka dari anak-anak di negara maju. Dengan konsep merdeka belajar, mungkin pula generasi muda kita bisa sukses, seperti halnya Mas Nadiem yang bisa menciptakan startup unicorn Gojek.

Namun, apa artinya kesuksesan itu jika tidak diimbangi dengan karakter yang baik. Apa artinya kecerdasan jika tidak diiringi dengan budi pekerti yang luhur.

Jika Ingin Melihat Karakter Bangsa, Lihatlah Saat Mereka Mengantre

Dalam tulisan Etika Antre vs Pandai Matematika yang diterbitkan Mien R. Uno Foundation, penulisnya menyoroti obsesi orangtua di Indonesia dan sistem pendidikan Indonesia yang lebih mengedepankan CaLisTung (Baca Tulis Hitung) daripada pendidikan moral. 

Padahal banyak negara maju yang berpikiran bahwa mengajarkan MORAL pada anak jauh lebih penting dari pada hanya sekedar mengajarkan anak pandai berhitung.

Di artikel tersebut, penulis mencontohkan guru di Australia lebih khawatir muridnya tidak pandai mengantre daripada tidak bisa matematika. Karena dalam proses mengantre, ada banyak pelajaran etika dan moral yang dibutuhkan murid-muridnya sepanjang kehidupan mereka nanti.

Diantaranya:

  • 1. Manajemen Waktu:
    Anak belajar manajemen waktu bahwa jika ingin mengantre paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal.

    2. Menghormati Orang Lain:
    Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih awal dapat giliran lebih awal dan tidak saling serobot merasa diri penting.

    3. Disiplin:
    Anak belajar berdisiplin, teratur, dan kerapihan sehingga tidak menyerobot hak orang lain.

    4. Kreatif:
    Anak belajar kreatif untuk memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan saat mengantri. (di Jepang biasanya orang akan membaca buku saat mengantri)

    5. Sosialisasi:
    Anak bisa belajar bersosialisasi menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian.

    6. Sabar:
    Anak belajar tabah dan sabar dalam menunggu gilirannya tiba terutama jika ia di antrian paling belakang (adanya sebuah proses dalam mencapai tujuan).

    7. Sebab Akibat:
    Anak belajar hukum sebab akibat, bahwa jika datang terlambat harus menerima konsekuensinya di antrian belakang.

    8. Rasa Malu:
    Anak belajar memiliki rasa malu jika ia menyerobot antrian dan hak orang lain.

    9. Kerja Sama:
    Anak belajar bekerjasama dengan orang2 yang ada di dekatnya jika sementara mengantri ia harus keluar antrian sebentar untuk ke kamar kecil.

    10. Jujur:
    Anak belajar jujur pada diri sendiri dan pada orang lain.

Tak salah apabila ada yang mengatakan, jika ingin melihat karakter suatu bangsa, lihatlah sikap masyarakat mereka saat mengantre.

Kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa membaca, menulis dan berhitung atau mempelajari jenis ilmu pengetahuan lainnya. 

Namun, butuh waktu berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin seumur hidup untuk mengajari dan melatih anak-anak kita masalah etika, moral dan karakter bangsa yang beradab.

Tidak semua anak dalam satu kelas atau sekolah bisa melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi, SEMUA MURID DI NEGARA INI membutuhkan ETIKA, MORAL dan AKHLAK di sepanjang hidup mereka kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun