Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Hadapi Kritik dan Beranilah Merevisi Karya Tulismu Seperti Dua Penulis Besar Ini

26 Januari 2019   09:12 Diperbarui: 26 Januari 2019   09:29 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: thedailystar.net

Meski sesuatu itu sudah berfungsi dengan baik, bukan berarti ia tidak bisa dikembangkan lagi

~Shuri dalam film Avengers: Infinity War

Begitu pula dengan karya tulis. Meski tulisan kita sudah mendapat apresiasi yang sangat bagus dari sebagian besar pembaca, bukan berarti karya tulis tersebut sudah selesai, sudah tamat.

Seorang penulis tidak akan pernah tahu kapan sebuah karya tulisnya itu selesai. Sekalipun itu sudah dipublikasikan dalam bentuk buku dan terjual jutaan kopi. Dua penulis besar mengajari saya hal tersebut.

Dalam artikel Belajar merevisi Sejarah, saya menuliskan bagaimana Michael H Hart dengan berani merevisi buku terkenalnya, 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia.

Selain karena adanya kritik tajam tentang fakta sosok asli dibalik nama pena William Shakespeare, Hart dalam pengantarnya juga mengatakan sejarah tidak berhenti saat ia menyelesaikan buku tersebut. 

Ada banyak tokoh-tokoh baru yang pengaruhnya melebihi tokoh-tokoh yang ia cantumkan sebelumnya. Karena itu, 14 tahun setelah buku pertamanya diterbitkan, Hart memutuskan untuk menerbitkan buku edisi revisi.

Satu lagi penulis besar yang merevisi bukunya setelah beberapa tahun diterbitkan adalah seorang wanita. Di usianya yang baru 20 tahun, ia menulis sebuah novel horor dengan satu tokoh ciptaannya nantinya menjadi identik dengan namanya.

***

Musim semi 1815. Di daratan Eropa, masyarakat bertanya-tanya, mengapa mendung dan hujan terus menerus turun, menyelimuti tanah tempat mereka tinggal. Padahal daratan Eropa saat itu semestinya penuh warna, matahari bersinar cerah.

Anomali cuaca tersebut konon juga dianggap menjadi penyebab pasukan Napoleon kalah dalam pertempuran Waterloo. Kondisi cuaca ekstrim ini berlangsung lebih dari satu tahun lamanya. Hingga orang-orang Eropa menyebutnya "Tahun tanpa musim panas".

Kelak, dunia akan tahu kalau iklim Eropa yang tidak karuan saat itu disebabkan oleh letusan Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat. Sebuah letusan gunung berapi terdahsyat yang dikenal dalam sejarah.

Di tengah cuaca yang berantakan tersebut, lima orang tengah berlibur di Danau Jenewa, Swiss. Di dalam ruangan yang hangat di sebuah villa, mereka menghibur diri dengan membaca sebuah buku cerita hantu.

Usai membaca, salah seorang diantara mereka, penyair Lord Byron, sang tuan rumah memberi tantangan kepada tiga temannya:  setiap orang akan menulis satu cerita hantu, lalu memilih pemenangnya.

Dari cerita horor yang sudah dituliskan teman-temannya tersebut, Lord Byron akhirnya memilih sebuah cerita yang kisahnya ia gambarkan sebagai "pekerjaan yang luar biasa bagi seorang gadis".  Lord Byron lalu memutuskan untuk menjadikan cerita itu sebagai novel. Pada tahun 1818, novel Frankenstein diterbitkan langsung menjadi best seller.

Penulisnya adalah seorang wanita muda bernama Mary Shelley. Sementara dua orang lainnya yang ikut dalam "kompetisi menulis" itu adalah Percy Bysshe Shelley (yang kelak menjadi suaminya) serta dokter John Polidori. Konon, cerita yang ditulis John Polidori yang berjudul The Vampyre menjadi inspirasi dari novel Drakula karya Bram Stoker.

Mary Shelley adalah putri dari pemikir proto-feminis Mary Wollstonecraft, penulis perintis naskah A Vindication of Rights of Woman (1792), dan filsuf anarkis William Godwin. Saat ia masih bayi berusia satu bulan, ibunya meninggal dunia.

Istri baru ayahnya tidak tertarik untuk memberi Mary Shelley pendidikan formal. Alih-alih bersekolah, Shelley belajar sendiri di sela-sela home schooling. Ia banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku di makam ibunya.

Menginjak usia 16 tahun, Mary bertemu dengan penyair Percy Bysshe Shelley (yang saat itu sudah menikah). Keduanya lalu jatuh cinta, tapi ayah Mary tidak setuju. Mary dan Percy akhirnya kawin lari dan berkeliling Eropa.

Dalam pelarian mereka keliling Eropa, berapa tragedi mewarnai kehidupan pasangan ini. Mary Shelley melihat dua anak pertamanya meninggal pada usia dini, dan mendengar saudara tirinya bunuh diri. Tak lama setelah kehilangan orang-orang yang dicintainya, Mary dan Percy bersama sahabat mereka Claire Clairmont lalu pergi ke Swiss. Disana mereka bertemu dengan Lord Byron dan John Polidari.

Kejadian-kejadian tragis yang dialami Mary Shelley inilah yang dianggap banyak orang menjadi inspirasi dari novel Frankenstein. Mary Shelley menggambarkan keinginan untuk mengembalikan orang-orang yang dicintainya itu saat mendeskripsikan kebangkitan monster yang diciptakannya; "Dia tidur; tetapi dia terbangun; dia membuka matanya; lihatlah". Bunyinya terdengar lebih seperti sebuah harapan.

Saat Mary Shelley menyelesaikan buku pertamanya itu, dia hamil lagi. Empat tahun setelah buku pertamanya diterbitkan dan mencetak sukses besar, Mary kehilangan suaminya Percy Shelley yang tenggelam di teluk Spezia.

Novel Frankenstein mengisahkan tentang seorang ilmuwan yang menciptakan monster tanpa nama dari mayat manusia. Ketika pertama kali diterbitkan, novel Frankenstein menciptakan genre yang sama sekali baru: fiksi ilmiah dengan karakter abadi dan kiasan untuk menggambarkan ilmuwan gila.

Dengan latar belakang penceritaan yang suram dan gelap, hingga saat ini Frankenstein menjadi salah satu novel gothic paling populer sepanjang masa. Karena tokoh utamanya pria dan monster ciptaannya juga berjenis kelamin pria, Frankenstein dianggap sebagai novel maskulin.

Sehingga ketika diterbitkan secara anonim (pada jaman itu karya tulis dari wanita umumnya diterbitkan secara anonim), banyak orang menganggap bukan Mary yang menulisnya secara penuh. Melainkan suaminya, Percy yang paling banyak berkontribusi. Anggapan ini juga didukung oleh ditemukannya beberapa catatan Percy yang ada di edisi pertama novel tersebut.

Meski sempat goyah karena trauma pribadi (kematian anak-anak dan suaminya serta beberapa sahabat), gairah menulis Mary Shelley tidak sampai padam. Dia terus menulis dan menerbitkan empat novel lagi, cerpen, esai, biografi, dan tulisan perjalanan serta menyusun koleksi puisi almarhum suaminya.

Pada tahun 1831, Mary Shelley memutuskan untuk kembali pada hasil karyanya yang paling terkenal dan membuat edisi "koreksi"! Ini tak lepas dari banjir kritik yang ditujukan padanya bahwa bukan Mary yang menulis Frankenstein, melainkan suaminya.

Di usianya yang ke-34 saat itu, Mary Shelley adalah seorang penulis dan ibu yang mapan. Bukan lagi remaja nomaden yang menjelajah Eropa dengan suaminya yang flamboyan. Singkatnya, dia melihat berbagai hal dari sudut pandang yang berbeda.

Dia juga sudah memiliki banyak waktu untuk hidup bersama bukunya yang mencetak hits, serta mendengar pendapat semua orang tentang apa yang salah dengan novel itu, apa yang perlu diperbaiki, dan seberapa banyak bagian buku tersebut yang dianggap orang ditulis oleh suaminya.

Mary Shelley menghadapi banjir kritik itu dengan semangat dan kepribadian yang elegan. Dia tidak larut dalam kemarahan terhadap kritik yang seolah merendahkan kemampuan menulisnya.

Pertama, dia menembak kritikus yang menyangkal kepengarangannya dalam kata pengantar edisi 1831: "Awalnya saya pikir hanya beberapa halaman - sebuah kisah pendek; tetapi Percy mendesak saya untuk mengembangkan gagasan [Frankenstein] secara lebih luas. 

Saya tentu saja tidak berutang saran pada satu kejadian, atau tidak jarang satu kereta penuh perasaan, kepada suami saya. Namun hasutannya (maksudnya saran-saran dari suaminya) itu tidak akan pernah mengambil bentuk (dari buku) yang disajikan kepada dunia. "

Mary Shelley lalu melanjutkan untuk membuat beberapa revisi yang lebih luas. Dia melunakkan karakter dan rasa bersalah Victor Frankenstein, menghilangkan beberapa bagian yang lebih revolusioner serta menghapus sebagian besar gambaran dari karakter tokoh wanita terpenting dalam novelnya, Elizabeth Lavenza.

Salah satunya terlihat dari adegan ketika Victor dan Elizabeth berhadapan dengan Justine, pelayan mereka yang dituduh mencekik saudara mereka, William. Justine akan dieksekusi keesokan paginya, dan dia baru saja mengakui bahwa pengakuannya yang semula itu dipaksa - dilakukan hanya untuk menyelamatkan jiwanya.

Pada edisi 1818, Elizabeth berkata panjang lebar, menasehati dan menghibur Justine dengan kalimat-kalimat yang menggambarkan jiwa pemberontak; menentang "keadilan" hukuman mati serta bias laki-laki yang menawarkan perempuan lain untuk dikorbankan.

Sementara pada edisi 1831, justru Justine-lah yang bersikap pasrah dan malah menasehati Elizabeth dengan satu kalimat yang terkenal; "....jika Anda mengingat saya dan menganggap saya sebagai orang yang dikutuk secara tidak adil, saya pasrah pada nasib yang menanti saya. Belajarlah dari saya, nona, untuk bersabar dengan kehendak surga!"

Para ahli dan pengamat menilai, pemotongan dan perubahan karakter Elizabeth Lavenza dilakukan Mary Shelley sebagai respon terhadap kritik yang menderanya sejak novel itu pertama kali diterbitkan. Pembaca (terutama kaum pria) merasa tidak nyaman dengan penggambaran karakter Elizabeth yang enggan untuk tunduk kepada nasibnya. Ini tidak sesuai dengan karakter asli kaum wanita umumnya pada zaman itu.

Apa pun yang dipikirkan Mary secara pribadi tentang hal itu, perubahan yang dilakukannya seolah menunjukkan dia setuju dengan pandangan umum tersebut. Meskipun mungkin saja ia membuat revisi sambil mengigit bibir, tak tahan melihat karakter asli bukunya harus dikoyak-koyak.

Mary saat itu bukanlah gadis remaja berjiwa pemberontak yang menolak untuk mematuhi hukum masyarakat , yang kepribadiannya ia tuangkan secara utuh pada dua karakter utama novel, Victor Frankenstein dan Elizabeth Lavenza. Hanya seorang remaja di awal abad ke-19 yang bisa membayangkan "monster" yang berpikir seperti anak kecil, dan disiksa dengan kejam oleh ayahnya - sama seperti Mary dikhianati oleh ayahnya sendiri karena mencintai Percy.

Mary pada 1831 sudah menjadi seorang wanita dewasa, yang memahami bagaimana seharusnya kehidupan seorang wanita pada jamannya sesuai dengan dogma masyarakat Inggris abad ke-19.

***

Michael H Hart dan Mary Shelley memberi pelajaran pada kita tentang kritik dan revisi. Siapa yang harus memutuskan seperti apa sebenarnya karya tulis kita: Apakah kita sendiri (penulis) atau mereka (pembaca)? Siapa yang bisa menilai sudah sebaik apa karya tulis kita; apakah pembaca, atau penulisnya?

Sebagai penulis, sulit untuk mengetahui kapan suatu karya tulis itu selesai dibuat. Seperti mitologi dewa Janus, sebuah akhiran adalah awal dari permulaan. Masih ada banyak tahapan yang harus dilalui seorang penulis usai menciptakan sebuah karya; membaca kembali, revisi, mengedit, mengoreksi, dan menggigit kuku menunggu kritik dari pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun