Semua orang pasti punya target dalam hidupnya. Termasuk saya dan teman-teman kuliah waktu itu. Suatu saat kami kumpul di kosan salah satu kawan, kami sharing berbagi cerita soal target masing-masing setelah bekerja.Â
Waktu itu kalau tidak salah baru semester 5 atau 6, mungkin masih prematur untuk membicarakan target setelah mendapat pekerjaan. Tapi biarlah, yang kami bicarakan toh untuk masa depan, tidak ada salahnya bukan?
Dalam kamus kami, kesuksesan ditandai dengan "memiliki" sesuatu. Sebenarnya salah anggapan ini, karena sukses bukan hanya dinilai dari materi. Tapi tak apa, selama ini jadi motivasi kami untuk lulus dan mendapat pekerjaan dengan cepat.
Sebagaimana yang diinginkan kaum adam, rerata teman-teman saya ingin punya kendaraan setelah lulus dan bekerja nanti. Ada yang ingin beli motor (lumayan) gede seperti Ninja 250, ada juga yang ingin beli mobil BMW lawas karena hobi, ada juga yang ingin keliling Indonesia, pokoknya macam-macam lah pikiran kami. Anak muda memang pantas dan layak untuk bermimpi.
Tapi saya memutuskan berbeda dengan kawan yang lain. Saya tekankan, sebelum usia 25 tahun, saya ingin punya rumah sendiri. "Entah bagaimana itu caranya, tapi saya harus bisa" kira-kira seperti itu lamunan saya dahulu.
Muluk-muluk tidak?
Kalau kata beberapa teman sih, iya.
Jika dipikir dengan logika, harga rumah tentu saja mahal bukan? Setidaknya untuk downpayment rumah tipe 36/72 saja bisa lebih dari 50 juta dengan cicilan 3 jutaan selama 15 tahun. Apalagi jika dihitung-hitung kalau kami lulus tepat waktu maka kami bisa lulus di usia 22 atau 23 tahun. Dan hanya berjarak 2 tahun saja menuju 25.
Dengan pengalaman kerja selama 2 tahun, apa bisa mendapat uang lebih dari 50 juta dan membayar cicilan 3 jutaan itu? Logikanya sih tidak. Hahaha... Tapi tak apa lah. Namanya juga target, bisa tercapai bisa juga tidak.
Tapi ternyata ada jalan keluar dari cita-cita saya ini. Pemerintah memiliki program rumah subsidi dengan bunga flat hingga cicilan selesai. Bunganya hanya sebesar 5 persen, berbeda dengan non-subsidi yang bunganya floating bahkan bisa mencapai 12 persen. Program rumah subsidi inilah yang coba saya manfaatkan untuk membeli rumah pertama.
Saya browsing, mencari tahu kelemahan dan kelebihan program rumah subsidi dari pemerintah ini. Setelah browsing, cari informasi dengan masuk ke beberapa forum serta blog, ada beberapa hal yang bisa saya simpulkan.Â
Pertama, rumah subsidi ini hanya bisa dimiliki oleh pekerja dengan pendapatan pokok (gaji pokok) di bawah 4 juta rupiah. Kedua, pepatah "ada harga ada rupa" berlaku di sini. Pasalnya dari beberapa ulasan yang saya baca, permasalahan utamanya adalah unsur kerapian rumah hasil bangunan pengembang.
Ketiga, tidak boleh memilih sembarang developer, harus yang sudah berpengalaman membangun rumah subsidi. Keempat, aturan-aturan yang cukup ribet untuk diikuti. Poin ini saya maklumi karena pastinya agar program ini tepat sasaran. Ada poin-poin lainnya yang terlalu panjang untuk saya tulis.
Tapi syarat yang paling utama sebenarnya adalah pendapatan pokok tidak boleh lebih dari 4 juta rupiah dan tidak boleh dalam kondisi tengah mencicil rumah di lokasi lainnya. Kedua syarat utama ini jelas bisa saya penuhi, hehe. Wong gaji pokok saya malah jauh di bawah UMR Jakarta dan ini rumah pertama saya kok. *Malah tjurhat*
Setelah meneguhkan hati untuk ikut dalam program rumah subsidi ini, langkah kedua yang saya lakukan adalah mencari lokasi dan pengembang yang terpercaya.
Namanya rumah subsidi, lokasinya pasti agak terpencil dan tidak berdekatan dengan kota besar. Pada Januari lalu saya sempat datang ke pameran properti di JCC. Saya kumpulkan brosur-brosur rumah subsidi dan memang semua rumah subsidi itu lokasinya cukup jauh dari kota. Ini sempat membuat saya ragu sebenarnya. "Percuma murah, kalo jauh dari peradaban," pikir saya waktu itu.
Dari beberapa brosur yang saya kumpulkan ada beberapa lokasi tempat para pengembang membuat rumah subsidi ini. Awalnya saya tertarik dengan salah satu pengembang di daerah Pondok Afi, Bekasi.Â
Embel-embel "Bekasi" ini yang membuat saya tertarik awalnya. Saya kira lokasinya dekat dengan kota, tapi setelah tanya sana-sini ternyata aksesnya cukup bikin amsyong. Ditambah dengan unit yang belum readyalias kita masih mesti menunggu rumah tersebut berdiri.
"Sudah jauh, rumahnya belum tentu jadi pula," itu pikir saya. Memang, jika ingin membeli rumah subsidi kita harus pintar memilih developer. Ada beberapa kasus di mana karena developer kekurangan modal akhirnya proyeknya mangkrak dan ujung-ujungnya didemo oleh pembeli yang sudah terlanjur memberi dp. Ngeri bukan? Makanya harus teliti.
Lanjut...
Pilihan kedua jatuh pada pengembang dengan lokasi di Bojong Gede, Bogor. Dari awal rencana saya memang ingin membeli rumah di Bogor daerah Bojong Gede atau Cilebut. Saya pikir lokasi pengembang tersebut dekat dengan stasiun, tapi ternyata tidak. Saya sempat survei ke lokasi dan ternyata jauhnya naudzubillah.
Memang sih, keunggulannya perumahan dari developer ini sudah ready stock. Jadi kita tidak perlu was-was. Tapi jaraknya itu terlalu jauh dengan stasiun. Ditambah dengan adanya sutet dekat perumahan tersebut. Batal lah saya ambil rumah ini.
Masih galau soal lokasi, akhirnya saya coba mencari ke daerah sebelah barat Jakarta. Seperti Tangerang, Serpong, dll. Daerah Serpong dan sekitarnya sudah pasti mahal. Apalagi adanya BSD membuat harga properti di sana semakin melambung jauh. Mau tidak mau saya harus cari ke daerah "yang lebih pinggir" lagi. Sempat saya mencari ke daerah Sudimara hingga Cisauk. Tapi harga di sana sudah fantastis.
Tidak sengaja di internet, saya temukan pengembang rumah subsidi yang perumahannya berlokasi di daerah Parung Panjang. Lokasinya tidak jauh dari Cisauk, hanya beda satu stasiun kalau tidak salah. Waktu itu saya langsung ingat ada teman saya yang membeli rumah di Perumnas Parung Panjang dan lokasinya cukup dekat dengan stasiun.
Teman saya ini pun satu kantor dengan saya. Saya coba kontak dia, sekadar tanya-tanya plus minus lokasi tersebut dan akhirnya saya bisa ambil beberapa simpulan. Daerah Parung Panjang ini sebenarnya masuk wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Padahal lokasinya sudah sangat berbatasan dengan Provinsi Banten. Lokasi ini menurut saya cukup potensial, karena akses menuju Jakarta sudah cukup mudah dengan adanya KRL dan waktu tempuh hanya sekitar 30-35 menit ke stasiun Palmerah dekat kantor tempat saya bekerja.
Oke, saya coba cek kondisi langsung ke TKP. Beberapa hari setelah tanya-tanya pada kawan saya ini, saya coba mendatangi daerah Parung Panjang. Kulturnya di sana adalah Sunda yang sangat kental. Cocok dengan saya yang memang darah Sunda.Â
Di sana kekurangannya adalah jalanan yang "ngebul" alias berdebu. Karena banyak truk-truk besar pengangkut batu lewat jalan utama tersebut. Juga masalah air. Parung Panjang termasuk dataran tinggi sehingga butuh kedalaman lebih dalam jika ingin mengebor sumur. Jangan berharap pada PDAM karena memang belum semua titik terjamah di sana.
Tapi untungnya, perumahan yang saya incar ini tidak berdekatan dengan jalan utama. Dari stasiun perumahan tersebut berjarak sekitar 1 kilometer. Butuh waktu sekitar 10 menit perjalanan menggunakan motor untuk mencapainya. Tidak masalah sih menurut saya, malah lebih baik kondisinya seperti ini. Tidak dekat dengan jalan utama yang bikin sesak nafas.
Oke, kemudian saya lanjut perjalanan ke perumahan. Pemandangan di sana masih sangat kental dengan kondisi perkampungan. Sawah masih berjajar rapi dengan kerbau pembajak menghiasi di atasnya. Ternyata jauh dari jalan utama yang bikin sesak nafas ini, masih ada udara sejuk di sana. Bahkan ketika saat saya sampai di lokasi, kondisinya baru saja diguyur hujan. Dingin, tidak seperti di Jakarta.
Di sana saya disambut oleh marketing developer bersangkutan, dia menyambut saya dengan segelas teh manis hangat dan beberapa cemilan jajanan pasar. Gaya bicaranya khas orang marketing yang tengah memburu mangsanya, yaitu saya. Tapi saya tidak mau tertipu begitu saja, karena itulah saya cukup bawel pada orang marketing ini.
Program rumah subsidi memang diperuntukkan masyarakat kelas menengah ke bawah dengan pendapatan terbatas. Oleh karena itu uang tanda jadi (dp) pun dibuat serendah mungkin. Tapi saya sarankan Anda jangan tertipu dengan gimmick di brosur yang menerangkan bahwa dp rumah subsidi hanya berkisar antara 4 hingga 8 juta rupiah.
Memang benar sebesar itulah uang dp untuk rumah subsidi ini, tapi jangan lupa ada biaya-biaya tidak terlihat yang mengekor di belakangnya.
Biaya itu di antaranya adalah biaya notaris, biaya perubahan izin Hak Guna Bangunan (HGB) ke Surat Hak Milik (SHM) kemudian ada beberapa biaya lainnya yang menyusul. Jika ditanya berapa total biaya di muka ini, jawabannya relatif, pintar-pintar Anda menawar saja. Tapi untuk amannya Anda setidaknya harus menyiapkan dana maksimal 30 juta untuk semua biaya itu.
Besar? Tidak juga sebenarnya. Karena jika dibandingkan dengan rumah komersil, biaya ini hanya sepertiganya saja. Bayangkan dengan uang 30 juta, Anda bisa mulai mencicil rumah dengan cicilan sekitar 900 ribu selama 20 tahun. Lumayan terjangkau bukan?
Setelah beberapa kali survei ke banyak lokasi, saya putuskan untuk membeli rumah subsidi di Parung Panjang ini. Pertimbangannya adalah lokasinya yang tidak begitu jauh dari stasiun, sumber air yang memadai, lokasi yang potensial dan rumah yang ready stock. Empat pertimbangan utama saya membuat saya yakin untuk mengambil rumah di daerah ini.
--
Setelah deal, saya mulai mencicil uang pembayaran pertama tadi yang jumlahnya sekitar 30 juta. Banyak teman saya bertanya-tanya dari mana dapat uang segini hanya dengan kurun waktu bekerja sekitar 2 tahunan. Tidak sedikit juga yang menganggap bahwa uang tersebut saya dapatkan dari orang tua.
Tidak, tidak. Ini adalah rumah pertama saya dan saya tidak ingin melibatkan orang tua dalam hal apapun. Apalagi masalah biaya. Kenapa? Karena buat saya, ini adalah bagian dari harga diri. Punya rumah sendiri tanpa bantuan orang tua adalah sebuah kebanggaan sendiri. Maaf ya bukan saya sombong, tapi ini masalahnya soal pride. :(
Lantas dari mana saya dapat uang 30 juta itu? Pinjam uang? Tidak juga. Sejak awal lulus (bahkan sebelum lulus) saya sudah punya side-job. Apapun saya lakukan untuk mendapat uang tambahan dengan jalan yang halal tentunya.Â
Kadang saya mendapat project SEO dan SEM, kadang jadighost writer, bahkan saya narik ojek onlinejuga di sela-sela kerjaan. Apapun itu, asal halal. Ya gak? Maka dalam waktu 2 tahun terkumpulah uang yang bisa menutupi pembiayaan awal rumah tersebut.
Akhirnya setelah beberapa bulan dan proses akad, rumah mungil ukuran 30/60 itu resmi mulai saya cicil. Saat ini belum saya tempati memang karena masih harus ada renovasi di bagian dapur. Hehe.
Keluarga dan teman-teman sering bertanya, "Kenapa sih ngotot pengen beli rumah. Padahal kan bisa setelah nikah, apalagi rumahnya daerah terpencil gitu?"
Kalau ditanya seperti ini saya sering bingung jawab apa. Hahaha. Saya sih bodo amat dengan ejekan "rumah di pinggiran" atau "rumah terpencil" atau "rumah kurcaci" (karena ukurannya yang mungil), persetan, yang penting saya sudah memenuhi target saya yakni memiliki rumah sendiri. Meski sedikit meleset karena usia saya hamper 26 saat ini.
Rumah adalah benda yang layak untuk dijadikan investasi. Semakin lama, harganya semakin naik dan memilikinya lebih cepat, lebih baik bukan?
Apalagi saya sering ingat dengan perkataan bos saya di CNN dulu,"Derajat tertinggi seorang lelaki adalah ketika ia bisa berinvestasi,"inilah yang juga memecut semangat saya untuk bisa membeli sebuah hunian.
Jadi, untuk anak muda seusia saya dengan pendapatan yang pas-pasan, jangan pesimistis dulu. Kalian tetap bisa punya rumah sendiri kok.
Begitulah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H