Mohon tunggu...
Pratiwi Wulan Sari
Pratiwi Wulan Sari Mohon Tunggu... lainnya -

seorang TKW yang saat ini tengah berdiam di bawah naungan langit Hong Kong. Sedang belajar bagaimana cara menulis dengan baik dan benar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Namaku Aurora (Sebuah Cerpen)

29 September 2013   14:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:14 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh: Pratiwi Ws

Namaku Aurora, sampai kutuliskan kisah ini namaku masih Aurora. Aku adalah keperempuanan yang berkeliaran di dalam tubuh seorang lelaki. Perjalananku berkelana hampir mencapai ujung dari segala tujuan.

Aku seorang anak nelayan yang hidup dan besar di pesisir pantai Grajagan, salah satu pantai dengan ombaknya yang lumayan besar di wilayah timur pulau jawa. Setiap hari bapakku yang seorang nelayan pergi melaut. Sebelum kutuntaskan mimpiku di ujung pagi aku sudah terbiasa mendapati tempat gantungan jala bapak kosong. Pada tengah hari akan kusaksikan wajah legamnya sumringah sambil menenteng tempat ikan yang terbuat dari anyaman rotan miliknya, entah berisi penuh atau tidak sama sekali.

Dari wilayah pesisir ini awal perjalananku dimulai, proses pencarian panjang jati diri, juga lika-liku cinta yang begitu perih mengukir lukanya di tubuhku.

***

“Lim, kita bukanlah bulan dan bintang, kita adalah jala dengan logam pemberatnya, selalu bersama dan saling menguatkan.”

Murni, perempuan laut yang dulu sering menghabiskan waktu bersamaku, adalah kawan masa kecil terbaik. Barangkali dia satu-satunya teman yang bisa mengerti keistimewaan di dalam diriku. Betapa bahagianya bisa seharian bermain boneka kayu dengannya. Kadang kami habiskan waktu di pinggir pantai dengan membangun istana pasir, atau mengumpulkan rumput liar yang kemudian kami anyam menjadi mahkota dan memakainya di kepala kami sambil memainkan peran sebagai raja dan ratu. Yang menjengkelkanku dia selalu ingin menjadi ratu, posisi yang sama-sama ingin kuperankan. Tapi gadis cantikku itu tidaklah egois, karena dia tahu kondisiku dan pasti mengalah.

Disaat-saat tertentu dia bisa menjelma seperti Hera, dewi pelindung dalam mitologi yunani kuno di masa Olympus. Seperti yang kuketahui dari Felix, bule yang sempat beberapa bulan menjadi kekasihku. Murni membenci orang-orang yang mengolokku, yang melecehkan perbedaan di dalam diriku.

Aku mulai menyadari seutuhnya kelainanku memasuki tahun keduaku di sekolah menengah pertama. Saat dengan berat hati kupakai celana pendek seragam sekolah. Aku benar-benar iri kepada Murni, dia semakin cantik dalam balutan seragam putih birunya saat itu, tidak sepertiku yang terlihat bodoh dengan celana pendek kedodoran dan rambut yang dipangkas pendek sekali.

Entahlah, aku tidak yakin apakah dulu aku sempat jatuh cinta kepadanya atau tidak?! Lebih, kurasa ini lebih dari sekedar cinta, sebab kami seolah tak pernah kuasa saling berjauhan satu dengan yang lainnya.

Selalu kuingat kejadian dimana pertama kalinya kami berdua belajar merias diri di kamar Murni. Tidak ada siapa-siapa waktu itu, dan kamar Murni yang letaknya berada di belakang rumah serta terpisah dari kamar yang lainnya karena terhalang dapur, membuat kami begitu leluasa melakukan apa saja di dalam sana. Kuakui Murni memang cantik, kecantikannya nyaris sempurna dengan warna kulit hitamnya yang  eksotis, seperti warna kulit orang-orang pesisir kebanyakan.

Saat selesai mendandaninya tiba-tiba saja dengan lugas dia utarakan perasaannya kepadaku.

“aku menyayangimu Lim, melebihi rasa sayang seorang saudara, bahkan cinta seorang kekasih sekalipun. Aku menyayangimu sebagai bagian dari diriku, kau adalah jiwa yang terpisah dari dalam organ tubuhku. Adakah rasa sayang ini mendapatkan balasan sepatutnya darimu?” sambil berkata demikian wajah Murni begitu dekat menghadap kearahku.

Melihatnya dalam kedekatan yang nyaris tanpa jarak begitu, bahkan aku bisa melihat detil riasan yang kupoleskan di wajah ayunya, aku jadi terseret oleh magnet yang seolah bersumber dari dalam tubuhnya. Aku seperti sedang berhadapan dengan dewi Aphrodite, tidak bisa menolak daya magis kecantikannya, sehingga laki-laki impoten sekalipun akan di buat sembuh seketika olehnya dengan letupan gairah menggebu-gebu saat melihat paras ayu Murni saat itu.

Untuk pertama kalinya kemudian aku mengalami apa yang sepatutnya dialami oleh seorang laki-laki. Wajahku memanas, dan kurasakan cairah darahku mengalir ke bagian bawah tubuhku, berpusat disana membuat ketegangan diantara kedua lututku.

Yang terjadi kemudian begitu membingungkan dan membuatku gelagapan, aku gembira atas ungkapan kasih sayang darinya. Sifat dan perilakunya melampaui batas usianya sendiri yang sejatinya masih empat belas tahun. Aku tahu kami berdua gemetaran saat itu, bahkan aku sudah mulai tidak tahan untuk segera berlari ke wc. Tapi sorot mata Murni mencegatku, dia inginkan jawaban dariku. Kemudian dengan suara bergetar dan terbata-bata kupenuhi maunya.

“Mur, kaupun tahu aku tidak akan sanggup melalui semua ini tanpamu. Kau dewi pelindungku, dan aku berjalan selalu seperti bayangan di belakangmu. Bahkan kupikir kau lebih berkuasa atas diriku. Tapi tidakkah kau takut orang-orang akan memandang remeh kepadamu juga? Kau sudah menegaskan bahwa aku adalah bagianmu, maka akupun begitu, kau pantas mendapatkan lebih dari sekedar balasan dariku, sebuah pengabdian.” Kujawab pertanyaannya sambil meneteskan air mata, ah aku malu. Untuk pertama kalinya aku merasa malu telah menangis di hadapannya.

Sejak itu aku tahu duniaku berpaut dengan dunianya, kami benar-benar seperti dua potongan puzzle yang saling melengkapi. Murni menerima segala celoteh keperempuananku, semakin erat mendekapku sebagai dewi pelindung yang selalu siap setiap saat aku membutuhkannya. Dan aku sendiri begitu sangat memujanya. Kecantikannya sangat kupuja, meski di saat bersamaan kucemburui juga dengan kadar tak terhingga. Ada sensasi aneh yang kurasakan tiap kali memandang wajah ayunya: antara ingin memiliki dan mengabadikannya.

***

“Dia pergi sudah sebulan ini. Entah Lim, tidak ada yang tahu kemana perginya?!” Haryo berulang kali mengelap pelipisnya dengan sapu tangan bersulam bunga tulip yang sedari tadi digenggamnya dengan erat itu, mungkin pemberian perempuannya.

Aku jadi ingin tertawa saat teringat betapa dulu sering sekali dia mengolok-olokku karena selalu membawa-bawa sapu tangan merah muda pemberian Murni. Kini aku tahu, hal itu ternyata lebih karena rasa cemburunya atas perlakuan Murni terhadapku.

Dari gelagatnya aku tahu dia menyembunyikan sesuatu. Tidak mungkin Murni tiba-tiba hilang begitu saja tanpa seorangpun mengkhawatirkan keberadaannya, kecuali aku tentu saja.

Kubiarkan Haryo memandangku dengan tatapan heran dan nyaris tak percaya. Jiwa kelelakiannya bergolak, jakunnya turun naik, mungkin dia sedang membayangkan bahwa yang berada di hadapannya sekarang ini benar-benar jasad seorang wanita jelita yang sedang sial karena terasuki oleh rohku yang penasaran sejak kehilangan perempuan lautku itu.

“bicaralah dengan jujur Haryo, jangan permainkan aku. Kita bukan bocah lagi, dan kusarankan jangan membuatku tambah marah kali ini.” Aku berbicara dengan intonasi yang cukup jelas, sejenak jakunku berfungsi kembali. Jenis suaraku yang berat ditambah lagi dengan kondisiku yang sedang marah membuat lelaki yang mengaku lebih tulen dariku itu tersenyum kecut, ketakutan.

“tapi aku tak tahu…”

“jangan sampai aku memaksamu bicara dengan kedua tanganku Yo!”

“baik, baik…. Sebenarnya kabar terakhir yang kuterima dari orang tuanya, Murni pergi bersama lelaki yang dikawinkan dengannya beberapa bulan lalu.”

“dusta!”

“sungguh Lim, kali ini aku tidak berniat berbohong dan aku sedang mengucap hal yang ingin kau ketahui.”

“kenapa….?”

“karena orang tua Murni ingin menyelamatkannya, selama ini kau dianggap sebagai penghalang bagi masa depan anak mereka.”

Cukup. Penjelasan Haryo membuat sakit di ulu hatiku semakin menjadi. Aku tahu orang tua Murni memang tidak pernah sudi melihat anak gadisnya berdekatan denganku. Tapi mereka, apakah mereka tahu bahwa aku adalah bagian dari Murni yang tak mungkin dilenyapkan?!

Sebelum aku pergi dulu, dia sudah berjanji untuk menungguku, dia katakan bahwa dia tidak akan kawin dengan laki-laki manapun selama aku tak ada disampingnya. Sekarang, bagaimana mungkin dengan begitu gampangnya dia tinggalkan aku bersama lelaki yang katanya sudah kawin dengannya itu?!

Aku masih ingat saat dia membisikiku, “biarkan aku menjadi salah satu suatu harimu nanti Lim sayang….jadilah merpati, kepakkan sayapmu sejauh titian pelangi, aku akan tetap menunggumu disini.”

Semuanya serba kosong, kupandangi wajahku dipantulan kaca, ini memang bukan Halim yang mereka kenal. Tapi aku akan tetap berarti bagi Murni, bagaimana bisa kujelaskan pada mereka?! Merpati ini pulang menjemput pasangannya, merpati ini butuh Murni sebagai labuhan hatinya.

“Memandangmu seolah kuhadapi keayuan Supraba, tapi keayuan itu sama sekali tak berasal darimu sayang. Mungkinkah ruh bidadari terselip diantara ketegaranmu sebagai yang tak tersentuh?!” Sam, lelaki kesekian yang memaksa menjadi lelakiku, dia anak dari seorang Dalang ternama di kotanya dan bernasib sama seperti yang lain, pada akhirnya menyerah karena tak pernah mampu menyentuh keperempuanan dalam tubuhku.

Para lelaki itu, mana mungkin mereka bisa memahami, aku tak akan tega membuat perempuan lautku jalang gara-gara perlakuanku yang sembarangan terhadap tubuh yang seringkali memancarkan kekenesannya ini.

Aku menjadi pesolek paling anggun, aku merawat tubuhku seperti merawat seorang calon pengantin. Karena tubuh ini bagian darinya, tubuh ini masih milik Murni. Kini saat kudapati ia tak lagi berada di sarangnya aku benar-benar merasa kehilangan yang begitu dalam.

Sore itu kudatangi kuburan emak dan bapak, menangis sejadi-jadinya diatas batu nisan mereka. Betapa sekarang aku benar-benar merasa sendiri, sebagai seseorang paling tak berarti. Kudekap tubuhku erat-erat, seolah ia Murni yang berada disisiku. Kuraba tengkukku sendiri, mencoba mengirimkan piluku kepadanya, berharap keajaiban terjadi esok hari.

Satu, dua, tiga hari, hingga satu bulan lamanya aku masih setia menantinya. Berharap ia benar-benar akan datang kepadaku. Rumahku menjadi semacam sarang hantu, kubiarkan latarnya tak terawat, rumput liar merumpun subur di halaman. Sementara aku sendiri hampir tidak pernah menampakkan diri kecuali saat matahari mulai redup pasrah direngkuh senja, saat itu kuhadapi laut, menunggu kekasihku, mungkin laut akan rela mengembalikannya kepadaku. Tapi lagi-lagi yang kudapatkan hanya siluet matahari. Ah murni, di sanakah kau bersembunyi? Sengaja membuatku hampir gila begini.

Pagi itu entah mengapa sejak bangun tidur ada sedikit perasaaan senang menjangkitiku.

Benar saja, saat kudapati secarik kertas yang terlipat kecil dan kusut, didalamnya terdapat sebuah tulisan, tulisan tangan Murni! Aku nyaris terpekik kegirangan, mungkin ini bisa menjadi petunjuk bagi kami. Entahlah, kertas itu teronggok begitu saja terselip diantara jepitan lemari tuaku, tidak tahu sudah berapa lama dia diam disitu.

Segera kubuka lipatan kertas yang sudah hampir tak berbentuk itu, setidaknya mungkin surat itu bisa menjadi petunjuk atas keberadaan Murni. Kupandangi lekat-lekat tiap-tiap huruf yang tertera disitu, tak satu hurufpun kubiarkan luput dari penglihatanku. Seperti sedang membaca sebuah peta perompak, kuteliti satu persatu tulisan itu.

Lim sayangku, saat kau baca tulisan ini, mungkin aku sudah tak lagi ada di sini. Maaf telah mengingkari janji yang telah kuucapkan padamu dulu. Aku pergi Lim, dengan seorang lelaki pilihan bapakku. Tekanan-tekanan yang datang setelah kau pergi serta segala cibiran itu. Kepergianmu ternyata turut pula membawa semua kekuatan yang kumiliki.

Jauh darimu membuatku menjadi manusia paling lemah, tapi ternyata itu semua sejatinya hanyalah seolah-olah. Sebab setelah berhari-hari kurenungi, aku sendirilah yang membuat diri lemah tanpamu,  sebab aku meyakini kau satu-satunya kekuatanku, tanpa kuindahkan sebelumnya ada kekuatan lain yang kumiliki. Kekuatanku untuk menanti, kekuatanku ketika percaya bahwa suatu hari kau pasti kembali, serta kekuatan untuk menjalani semua ini.

Lim, aku memilih manut kepada kehendak bapakku. Aku yang mengawini lelaki itu Lim, aku ingin tetap menjadi ksatria di matamu. Bukankah tindakan seorang ksatria adalah sebagai pengambil keputusan?! Kemudian setelah beberapa hari bersama lelaki itu aku mulai menyadari betapa ternyata dia sosok yang amat peduli.

Kau tidak perlu kuatir jika nanti aku akan tersakiti dan menjadi sia-sia karenanya. Dia memang sama seperti laki-laki lainnya, memuja kecantikanku. Tapi di satu sisi harus kuakui dia memiliki kelebihan lainnya, kelebihan yang tak kau miliki selama ini, dia mampu membahagiakanku juga memanjakanku sebagai perempuan (tiga malam kami tak berhenti bercumbu!).

Sebenarnya ingin sekali kurangkul kau dan dia bersama-sama  dalam dekapanku, tapi sekali lagi itu tak mungkin Lim. Tak mungkin aku menjadi Drupadi, aku adalah aku sebagai Murni, Murni yang juga berkeinginan menjadi perempuan sejati.

Begitu saja Lim, lelakiku sudah memanggil, aku harus segera pergi. Saranku segeralah temukan ‘belahan jiwamu’, mungkin saja dulu kita keliru. Ikhlaskan aku, dan segeralah temukan.

salam sayang dariku,

Telaga Murni.

Tulang-tulangku serasa dicabut paksa setelah membaca isi surat itu. Tega, setega itu dia perlakukan aku. Sementara aku dengan keteguhan hati menjaga kebinalan yang bermunculan di dalam diriku saat banyak lelaki datang menawarkan pundit-pundi sorga. Hanya demi menjaga sebagian dirinya agar tetap suci, utuh dan memancarkan wangi bidadari.

Aku tidak bisa lagi menangis, terlalu sakit saat dia yang berharga begitu saja memutuskan minggat dariku. Padahal sejak kepergian bapak bersama gelombang laut yang mengaramkan perahunya, Murni telah kuanggap sebagai satu-satunya pelipur lara.

Lalu apa gunanya selama ini kuagung-agungkan statusku sebagai banci suci?! Padahal dia sendiripun telah tidak suci lagi, dan dengan begitu riangnya dia ceritakan itu kepadaku.

Gelap. Seluruhku remuk. Setelahnya kunang-kunang bertebaran banyak sekali di kepalaku.

***

Suara rebana riuh membahana di desa pesisir Grajagan pagi itu, seorang perempuan cantik dikelilingi orang-orang yang mengantarnya tersenyum sumringah. Dia akan segera melaksanakan ibadah hajinya tahun ini. Dia adalah pemilik salon terkenal “Aurora” sama seperti namanya.

Seorang anak kecil sambil menggelandot dipelukan ibunya bertanya “Mak, lek halim naik haji kok pakai baju perempuan, dosa gak mak?”

“Ssst, namanya bukan Halim, tapi mbak Aurora. Sudah, biar itu jadi urusannya dengan Tuhan. Lagian mbak aurora kan selalu baik sama kita, doakan saja semoga dia dapat jalan terbaik dariNya.”.

Iring-iringan rombongan pengantar haji itu semakin jauh dari desa, tapi cerita tentang lelaki cantik Auror masih terus menjadi desas desus yang ramainya beradu dengan debur ombak di pantai itu, entah sampai berapa waktu?!

Banyuwangi 14 nov 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun