MENGGUGAT PENGUASAAN LAHAN HUTAN
Pada waktu debat calon presiden (capres) 2019 lalu, Presiden Joko Widodo selaku petahana pernah bertanya kepada rivalnya Prabowo Subianto, tentang sinyalemen penguasaan lahan hutan yang cukup luas oleh korporasi yang dimiliki Prabowo. Secara arif, Prabowo membenarkan akan hal itu dan buru buru menambahkan bahwa apabila negara membutuhkan akan segera menyerahkan kembali kepada negara. Yang penting penguasaan lahan hutan tersebut legal dan sah secara tidak melanggar hukum.
Saya jadi ingat, sewaktu masih menjadi mahasiswa Fahutan IPB tingkat akhir tahun 1980, saya sempat magang di Direktorat Bina Program Ditjen Kehutanan Departemen Pertanian, -yang kantornya persis didepan pintu masuk Kebun Raya Bogor- yang ditugasi untuk merekapitulasi RKD (Rencana Karya Duapuluh Tahunan) dan RKL (Rencana Karya Lima Tahunan) dari perusahaan/konsesi yang telah memperoleh izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia. Dari data yang ada, saya dapat menyimpulkan bahwa HPH yang telah diberikan izin rata-rata menpunyai luas dengan kisaran 100.000- 800.000 ribu ha wilayah konsesinya. Jadi wajar apabila saat booming HPH waktu ini, pengusaan lahan hutan untuk kegiatan konsesi HPH luasnya sangat “gila-gilaan” untuk ukuran saat ini. Provinsi pemegang rekor yang terbanyak memiliki konsesi HPH paling banyak adalah Kalimantan Timur, Riau dan Kalteng yang mempunyai konsesi diatas 100 unit manajemen (UM) HPH. Kita mengenal adanya raja-raja hutan sebagai cerminan penguasaan lahan hutan dalam bentuk HPH seperti kelompok Kiani Lestari Group dari Bob Hasan, kelompok Barito Group milik Paryoga Pangestu, kelompok Alas Kesuma milik Burhan Uray, kelompok Indah Kiat ,masuk Sinar Mas Group milik keluarga Eka Tjipta Widjaja dan sebagainya.
Puncaknya adalah tahun 2000, terdapat sekitar 600 unit HPH, dengan luas konsesi hutan alam Indonesia lebih dari 64 juta ha. Pembangunan saat itu yang membutuhkan keuangan yang sangat besar, membuat negara mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia sebesar-besarnya. Salah satunya adalah sumberdaya alam hutan yang sangat luas (122 juta ha) dengan potensi kayu meranti yang sangat tinggi. Bonanza kayu oleh rezim orde baru selama tiga dekade dimanfaatkan benar sebagai penggerak roda pembangunan, dan merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi. Penguasaan lahan hutan dalam bentuk konsesi HPH dimulai sejak diterbitkanya undang-undang (UU) no.1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan (UU) no.5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, pemerintah membuka keran izin pengusahaan hutan alam kepada investor asing maupun dalam negeri untuk menghimpun pundi-pundi devisa negara dengan jangka waktu 20 tahun tahun, dan dapat diperpanjang kembali apabila tidak bertentangan dengan kepentingan umum (peraturan pemerintah (PP) no. 21/1970 pasal 10 ayat (1)). Dalam PP no. 6/2007 pasal 51 disebutkan bahwa jangka waktu IUPHHK dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan paling lama 55 (lima puluh lima) tahun. IUNegara diuntungkan dari sumber pemasukan keuangan HPH yang nilainya sangat besar melalui dua sumber utama yaitu provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR).
Menyadari akan makin surutnya potensi kayu dari hutan alam akibat dari eksploitasi besar-besaran oleh HPH, maka pemerintah orde baru menerbitkan no.7/1990 tentang hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) yaitu hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. HPHTI diberikan selama 35 tahun, ditambah daur tanaman pokok yang diusahakan. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 2002 HPHTI menjelma menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) yang jangka waktu izin diberikan paling lama 100 tahun.
Pertanyaannya adalah bagaimana penguasaan lahan hutan pada era reformasi sampai dengan era pemerintahan Joko Widodo sekarang. Kontribusi apa saja yang disumbangkan oleh para korporasi hutan untuk menambah pemasukan keuangan negara dan seterusnya.
Penguasaan Lahan Hutan di Era Reformasi
Meskipun rezim orde baru runtuh, dan pemerintahan berganti dengan era reformasi ditandai dengan terbitnya undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, HPH berubah nama dan berganti baju menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA), namun cara dan sepak terjangnya dalam mengeksploitasi hasil hutan kayu alam polanya tidak jauh berubah.
Seiring dengan pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, banyak IUPHHK-HA yang habis kontrak, izinnya tidak diperpanjang oleh pemerintah akibat banyaknya aturan yang dilanggar bahkan tidak aktif lagi karena produktivitas hutan alam setelah rotasi kedua menjadi sangat rendah atau bahkan tidak ekonomis untuk diusahakan, maka tumpuan produksi kayu bulat tidak lagi hanya bersandar dari hutan alam tetapi juga mengandalkan dari hutan tanaman. Perkembangan jumlah IUPHHK- HA pada tahun 2010 sebanyak 304 unit dengan luas areal kerja dengan luas areal kerja lebih dari 25,05 juta ha. Sementara IUPHHK-HT sebanyak 284 unit dengan jumlah areal kerja 12,35 juta ha. Kinerja produksi dari IUPHHK-HA selama kurun waktu 2007-2012 terus mengalami penurunan. Sebagai contoh, kinerja produksi IUPHHK-HA pada 2 tahun berturut turut, kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri (BBI) nasional menurun dari 19,8 persen pada tahun 2007, menjadi 14,6 persen pada tahun 2008. Sebaliknya kinerja produksi IUPHHK-HT dalam memenuhi BBI nasional pada dua tahun yang sama meningkat dari 63,5 persen pada tahun 2007, menjadi 68,8 persen pada tahun 2008.
Dari statistik Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK tahun 2019, pada akhir tahun 2019, terjadi penyusutan jumlah, IUPHHK-HA menjadi sebanyak 258 unit dengan luas 18.83 juta hektar dan IUPHHK_HT meningkat jumlahnya menjadi 296 unit dengan luas yang justru menyusut menjadi 11,258 juta ha. Terjadi pergeseran produksi kayu bulat dari hasil IUPHHK-HA yang selama ini diandalkan sebagai pemasok utama kayu bulat dari tahun ketahun berubah mengandalkan dari produksi kayu bulat dari IUPHHK-HT yang produksinya makin meningkat sedangkan produksi kayu bulat dari hutan alam makin menurun. Produksi kayu bulat tahun 2019 dari IUPHHK-HA hanya mencapai 6,18 juta m3, sedangkan IUPHHK-HT produksinya meningkat mencapai 40.02 juta m3.
Bandingkan penguasaan lahan hutan pada IUPHHK-HA tahun 2014, lima besar provinsi adalah Kaltim 81 unit dengan luas 5,13 juta ha, Kalteng 59 unit, luas 4,04 juta ha, Papua 24 unit, luas 3,82 juta ha, Papua Barat 18 unit, luas 2,47 juta ha, Kalbar 24 unit, luas 1,17 juta ha; dengan IUPHHK-HA tahun 2019, lima besar provinsi adalah Kalteng 55 unit, luas 3,92 juta ha, Kaltim 55 unit, luas 3.22 juta ha, Papua Barat 20 unit, luas 2,91 jua ha, Papua 17 unit, luas 2,56 juta ha dan Kaltara 26 unit, luas 2,16 juta ha.
Bandingkan penguasaan lahan hutan pada IUPHHK-HT tahun 2014, lima besar provinsi adalah Kaltim 47 unit, luas 1,90 juta ha, Kalbar 41 unit, luas 1,90 juta ha , Riau 56 unit, luas 1,65 juta ha , Sumsel 19 unit, luas 1,20 juta ha, Jambi 18 unit,luas 694.657 ha; dengan IUPHHK-HT tahun 2019, lima besar provinsi adalah Kalbar 47 unit, luas 1,90 juta ha, Kaltim 50 unit, luas 1,86 juta ha , Riau 48 unit, luas 1,40 juta ha, Sumsel 19 unit, luas 1,31 juta ha, Papua 8 unit, dengan luas 898.645 ha.
Yang perlu dicermati adalah meskipun unit manajemen (UM) IUPHHK-HA maupun IUPHHK-HT berbeda namanya namun kadang-kadang merupakan anak perusahaan dari group manajemen yang sama dari kelompok-kelompok perusahaan yang merajai usaha perkayuan di Indonesia sebagaimana yang diantaranya telah disebut diatas.
Penguasaan lahan hutan lain, yang juga menonjol adalah pemanfaatan hutan produksi dan hutan lindung melalui mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Khusus untuk ijin tambang/IPPKH yang diberikan dalam kawasan hutan, totalnya lebih kurang 590 ribu hektar sejak orde baru hingga tahun 2020. Jangka waktu IPPKH diberikan paling lama sama dengan jangka waktu perizinan dibidangnya atau keputusan tentang tahap kegiatan untuk: a) kegiatan eksplorasi dan operasi produksi pertambangan b) instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan antara lain panas bumi c) jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi; dan diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun untuk: a) prasarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai prasarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; b) penampungan korban bencana alam dan lahan usahanya, yang bersifat sementara; c) industri selain industri primer hasil hutan; d) pertanian dalam rangka ketahanan pangan; e) pertanian dalam rangka ketahanan energi; dan f) kegiatan yang tidak memerlukan izin dibidangnya.
Sedangkan penguasaan lahan hutan untuk kegiatan perhutanan sosial hingga saat ini telah mencapai 7,85 juta ha. Jangka waktu yang diberikan untuk kegiatan perhutanan sosial menurut peraturan menteri LHK no. P. 83/2016 (HD, HKm dan HTR) berlaku selama 35 tahun, tidak dapat diwariskan dan dilakukan evaluasi setiap 5 (lima) tahun. Hasil evaluasi berkala setiap 5 (lima) tahunan sebagai dasar perpanjangan HD, HKm dan HTR.
Kontribusi Izin Usaha Kehutanan untuk Negara
RUU Cipta Kerja no.11 tahun 2021, mengubah UU no.41/1999, pasal 35 ayat (1) dari setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 dan pasal 29, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja menjadi setiap pemegang perizinan berusaha terkait pemanfaatan hutan dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dibidang kehutanan.
PNBP dibidang kehutanan dipungut berdasarkan PP no. 12/2014 tentang 4 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berlaku pada Kementerian Kehutanan, PP no. 33/2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan dan PP No. 44 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Jenis PNBP dikehutanan dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu PNPB Sumber Daya Alam (SDA) (PP no. 12/2014 dan PP no. 33/2014) dan PNBP non SDA (PP no. 12/2014 dan PP no. 44/2014). PNBP SDA meliputi dana reboisasi (DR), iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH), provisi sumber daya hutan (PSDH), penggunaan kawasan hutan (PKH). Sedangkan PNBP Non SDA terdiri dari PNBP dari PHKA, ganti rugi tegakan, penggantian nilai tegakan, jasa laboratorium dan perpustakaan, produk samping hasil penelitian, penggunaan sarana dan prasarana, PNBP Lingkungan Hidup dan PNBP lainnya.
Jenis penerimaan PNBP SDA
Penerimaan Dana Reboisasi
Dana reboisasi adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.
Formula penghitungan DR = Tarif/Satuan X Volume
Contoh :
Tarif Kelompok Jenis Meranti (untuk wilayah Kalimantan dan Maluku) sebesar US$.16/M3
Penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan
Provisi Sumber Daya Hutan adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai instrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
Formula penghitungan PSDH = Tarif (%) X Harga Patokan X Volume Produksi Contoh :
Tarif Kelompok Jenis Meranti sebesar 10%/M3
Tarif Kelompok Rotan sebesar 6%/Ton
Iuran Hak Pengusahaan Hutan/Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IHPH/IIUPH).
Iuran Hak Pengusahaan Hutan/Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atas suatu kawasan hutan tertentu, yang dilakukan sekali pada saat izin diberikan.
Formula penghitungan : IHPH/IIUPH = Tarif/Ha X Luas Areal
PNBP Pengunaan Kawasan Hutan.
PNBP Penggunaan Kawasan Hutan adalah PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang luas kawasan hutannya di atas 30% dari luas daerah aliran sungai dan/atau
pulau.
Formula Perhitungan :
PNBP = (L1 x Tarif)+(L2 x 4 x Tarif)+(L3 x 7 x tarif) Rp/Tahun
Definisi :
1. L1 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan untuk sarana prasaran penunjang yang bersifat permanen dan bukaan tambang selama jangka waktu penggunaan kawasan hutan (ha)
2. L2 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan yang bersifat temporer yang secara teknis dapat dilakukan reklamasi (ha)
3. L3 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan yang bersifat permanen yang secara teknis tidak dapat dilakukan reklamasi (ha)
Kewajiban IUPHHK-HA , IUPHHK-HT, IPPKH dan Perhutanan Sosial.
Dalam PP no. 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, IUPHHK-HA maupun IUPHHK-HT dikenakan kewajiban membayar PNBP Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Sedangkan untuk Dana Reboisasi (DR) hanya dikenakan pada IUPHHK-HA.
Menurut peraturan menteri LHK no. P.27/2018 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan pasal 42, kewajiban pemegang IPPKH antara lain adalah: a) membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan bagi pemegang IPPKH dengan kompensasi membayar PNBP; b) membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c) membayar ganti rugi nilai tegakan kepada pemerintah apabila areal yang dimohon merupakan hutan tanaman hasil rehabilitasi; d) mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada pengelola/pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan, dalam hal areal IPPKH berada dalam areal kerja pengelolaan hutan/izin usaha pemanfaatan hasil hutan.
Sedangkan untuk kegiatan perhutanan sosial, menurut peraturan menteri LHK no. P. 83/2016 kegiatan perhutanan sosial yang terdiri dari 5 (lima) skema hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakayat (HTR), kemitraan kehutanan (KK) dan hutan adat (HA) dibebani kewajiban membayar PSDH dan DR sesuai peraturan perundangan yang berlaku, kecuali hutan adat dibebaskan dari kewajiban tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H