QUO VADIS PENYULUH KEHUTANAN
Ibarat pepatah atau peribahasa: Â hidup segan matipun tak mau. Itulah kira kira keadaan atau kondisi penyuluh kehutanan Indonesia sekarang. Salah satu arti dari tiga arti peribahasa tersebut dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah hidup tapi serba salah.Â
Sejarah panjang terbentuknya penyuluh kehutanan ternyata belum mampu  membangkitkan sukses dan kejayaan penyuluh kehutanan itu sendiri.Â
Berkaca pada saudara tuanya penyuluh pertanian yang berkiprah sejak hidupnya rezim orde baru tahun 1967-1968, mereka mampu mendulung prestasi besar dan fenomenal dengan mempersembahkan swasembada beras kepada bangsa Indonesia tahun 1984.Â
Presiden Soeharto waktu itu mendapat penghargaan dari badan pangan dunia (FAO) di markas besarnya Roma, Italia pada tanggal 14 November 1985. Bagaimana dengan penyuluh kehutanan di Indonesia ?
Sejarah Terbentuknya
Penyuluh kehutanan lahir dan hadir di Indonesia bersamaan dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) tentang  Reboisasi dan Penghijuan tahun 1976, sebagai jawaban atas banyaknya lahan kritis didalam dan diluar kawasan hutan yang perlu dilakukan rehabilitasi secepatnya baik secara vegetatif (penanaman vegetasi pohon pohonan) maupun sipil teknis ( bangunan dam pengendali/dam penahan, terasering, saluran pembungan air maupun bangunan terjunan air) dan unit percontohan pelestarian sumberdaya alam (demplot PSDA).Â
Inpres Reboisasi dan Penghijauan yang berskala besar kegiatannya diciptakan bersifat keproyekan agar anggarannya bersifat fleksibel dalam pencairannya. Untuk melaksanakan kegiatan besar ini, dibentuklah organisasi pelaksana yakni reboisasi dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan pemerintah provinsi, sedangkan penghijauan dilaksanakan oleh Dinas Pertanian pemerintah kabupaten/kota.Â
Untuk mendukung pelaksanaan dilapangan, direkrut tenaga tenaga muda lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SMA/STM) untuk dididik dan dilatih menjadi petugas lapangan yang akan diterjunkan sebagai penggerak utama dalam kegiatan reboisasi dan penghijauan diseluruh Indonesia.Â
Lahirlah yang namanya petugas lapangan penghijauan (PLP), petugas lapangan reboisasi (PLR), petugas lapangan dam pengendali (PLDP) dan petugas lapangan pembuatan pembibitan (PLPB).Â
Para petugas  lapangan ini sebenarnya tidak dipersiapkan secara khusus sebagai penyuluh, oleh karena itu pengetahuan tentang pendampingan kelompok masyarakat hanya ala kadarnya, karena semata mata hanya disiapkan sebagai petugas teknis dilapangan. Jumlah petugas lapangan yang sifatnya kontrak/honor ini jumlahnya cukup banyak tidak kurang dari 8000 orang diseluruh Indonesia. Â
Seiring dengan berjalannya waktu, tahun 1984 terjadi reorganiasasi kementerian/departemen. Departemen Pertanian yang tadinya menjadi induk bagi institusi kehutanan, dipisah dengan kehutanan dan terbentuklah Departemen Kehutanan.Â
Pada saat itu pula, sebagian besar petugas lapangan yang memenuhi syarat, diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dengan status baru sebagai penyuluh kehutanan. Celakanya walaupun sebagai penyuluh kehutanan, lapangan pekerjaan yang dilakukan lebih banyak diluar kawasan hutan yang sebenarnya, seperti hutan rakyat, unit percontohan PSDA, dam pengendali dan seterusnya.Â
Kegiatan reboisasi yang sebelumnya melibatkan PLR dan PLPB, langsung dikendalikan oleh Dinas Kehutanan tanpa melibatkan penyuluh kehutanan. Aneh tapi nyata, penyuluh kehutanan tapi tidak terlibat dan paham kegiatan yang terdapat dalam kawasan hutan.
Dengan terbitnya undang undang no. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, kewenangan penyuluh kehutanan secara resmi diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota yang diawali dengan terbitnya peraturan pemerintah no. 62 tahun 1998 yang menyerahkan sebagian urusan kehutanan  kepada daerah.Â
Urusan yang diserahkan kepada daerah adalah pengelolaan taman hutan raya dan penataan batas hutan kepada pemerintah provinsi. Sedangkan  penghijauan dan konservasi tanah dan air; persuteraan alam; perlebahan; pengelolaan hutan milik/hutan rakyat; pengelolaan hutan lindung; penyuluhan kehutanan; pengelolaan hasil hutan non kayu; perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru;  perlindungan hutan; dan  pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Adanya revisi undang undang no.32/2004 menjadi undang undang no.23 tahun 2014 tentang hal yang sama, maka urusan penyuluhan kehutanan (termasuk penyuluh kehutanan) dan kewenangan kehutanan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah provinsi.
Kuantitas dan Kualitas
Beban masa lalu, ternyata menghantui kondisi penyuluh kehutanan saat ini di Indonesia. Tidak sebagaimana penyuluh pertanian yang selalu menjadi garda terdepan dalam setiap kegiatan dan program pertanian, penyuluh kehutanan dianggap antara penting dan tidak penting, sosoknya antara ada dan tiada dalam setiap kegiatan atau program yang terdapat dikehutanan.Â
Sejak era reformasi, kabinet silih berganti, demikian juga dengan menteri kehutanan juga ikut silih berganti, namun nasib dan masa depan penyuluh kehutanan tetap sama tidak ada tanda tanda perubahan, malah terkesan suram.
Menurut statistik Pusat Penyuluhan KLHK tahun 2016, jumlah penyuluh kehutanan yang tersebar diseluruh Indonesia sebanyak 3.521 orang dengan komposisi pusat 257 orang dan daerah 3.264 orang. Â Komposisi terbanyak terdapat di pulau Jawa, yakni 1.939 orang atau 55 persen dari jumlah total penyuluh kehutanan yang ada.Â
Penyebaran di pulau Jawa adalah pusat 257 orang (BBKSDA, 23 orang, BKSDA, 60 orang, BBTN, 34 orang, BTN, 119 orang, Pusluh KLHK, 19 orang dan Balai Diklat KLHK, 2 orang), daerah 1.682 orang (Banten, 40 orang, Jabar 488 orang, Jateng 573 orang, DIY, 63 orang, Jatim, 518 orang). Data BP2SDM KLHK terakhir per Desember 2019, menunjukkan bahwa  jumlah penyuluh kehutanan menjadi 2.712 orang dengan rincian 13 orang penyuluh kehutanan berada di pusat, 333 orang penyuluh kehutanan di UPT KLHK dan 2.366 orang di daerah (Dinas Kehutanan/Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Data dan angka tersebut dapat dibaca bahwa dalam waktu tiga tahun secara umum telah terjadi penurunan/pengurangan  jumlah penyuluh kehutanan yang sangat tajam yaitu 809 orang (23 %). Sedangkan penurunan/pengurangan penyuluh kehutanan didaerah sebanyak 898 orang (27 %). Yang menarik adalah adanya kecenderungan peningkatan jumlah penyuluh kehutanan pusat yang bertugas di UPT KLHK (BBKSDA, BKSDA, BBTN, BTN) dalam tiga tahun meningkat cukup signifikan jumalahnya yakni 97 orang ( 41 %).Â
Banyaknya penurunan jumlah penyuluhan kehutanan didaerah diakibatkan oleh faktor usia karena memasuki usia pensiunan. Penyuluhan kehutanan, mantan petugas lapangan yang diangkat PNS era 80"an pasti sudah masuk atau akan masuk usia pensiun dalam waktu yang tidak terlalu lama. Â
Sementara itu, penambahan jumlah penyuluh kehutanan di UPT Ditjen KSDAE KLHK karena formasi penyuluh kehutanan penerimaan PNS dari jalur sarjana sejak 2015/2016 sampai sekarang.
Yang mencemaskan adalah penurunan jumlah penyuluh kehutanan didaerah yang cukup drastis. Kondisi ini harus segera disikapi, kalau tidak akan terjadi krisis jumlah penyuluh kehutanan didaerah. Bukankah undang undang no.16 tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan pasal 22 ayat (2) menyatakan bahwa alih tugas penyuluh PNS hanya dapat dilakukan apabila diganti dengan penyuluh PNS yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini mengisyaratkan bahwa penyuluh kehutanan PNS yang diangkat dalam jabatan lain atau memasuki usia pensiun harus diganti dengan penyuluh kehutanan PNS yang baru.Â
Kalau penyuluh kehutanan masih diperlukan dan dianggap penting, KLHK sebagai institusi yang menaungi penyuluh kehutanan pusat maupun daerah mestinya harus belajar banyak dengan Kementerian Pertanian dalam hal mempertahankan, menambah jumlah penyuluh pertanian baik yang berstatus PNS maupun kontrak. Â
Bagaimana menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo, berjibaku dan mati matian berkomitmen menjaga, mempertahan dan memperjuangkan nasib penyuluhnya dilapangan.Â
Meskipun presiden, pernah mengatakan bahwa pemerintah tengah melakukan moratorium pengangkatan tenaga PNS. Namun, mentan Syahrul YL bersikeras memberikan gambaran tugas dan fungsi penyuluh pertanian dan Kementerian Pertanian, sehingga langkah moratorium tersebut bisa ditinjau ulang dari sisi lainnya.Â
Bagi mentan Syahrul tidak ada kata moratorium untuk penyuluh pertanian. Mentan Syahrul YL pun membuat surat kepada presiden untuk mengusulkan ada pengangkatan maupun pembaharuan setiap tahun akan ada sekitar 6000 orang.Â
Sehingga dalam lima tahun akan ada 30 ribu orang penyuluh pertanian. Padahal, perlu diketahui bahwa penyuluh pertanian yang ada sekarang telah mencapai 44 ribu orang, yang terdiri dari 25 ribu orang berstatus PNS dan 19 ribu orang tenaga harian lepas (THL). Bagaimana dengan nasib penyuluh kehutanan yang jumlahnya terus menyusut. Apa komitmen menteri LHK terhadap keberadaan penyuluh kehutanan ini ?
Kualitas penyuluh kehutanan dapat diukur dari seberapa banyak seorang penyuluh kehutanan mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) yang mendukung pekerjaannya setiap tahunnya.Â
Sebelum diserahkan kewenangan penyuluh kehutanan dipemerintah daerah (2004) dan masih menjadi kewenangan pusat (Kementerian/Departemen Kehutanan), penyuluh kehutanan selalu dilatih dipusat pelatihan kehutanan daerah yang tersebar di tujuh tempat yaitu Balai Latihan Kehutanan (BLK)-sekarang namanaya Balai Diklat Kehutanan( BDK) KLHK- Pematangsiantar, Pekanbaru, Bogor, Kadipaten, Samarinda, Makassar, Kupang.Â
Namun setelah kewenangan penyuluh kehutanan  diserahkan kepemerintah kabuapten/kota, maka praktis pelatihan di BLK/BDK tersebut berkurang frekuensinya.Â
Nasib penyuluh kehutanan dikabupaten/kota setelah menginduk pada Badan Pelaksana Penyuluhan, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan kabupaten/kota ibarat anak tiri yang kurang mendapat perhatian ibunya. Bahkan dalam suatu kasus disalah satu kabupaten diprovinsi Sulawesi Selatan, penyuluh kehutanan diperbantukan kepada penyuluh pertanian dengan alasan lahan sawah yang digarap lebih banyak dibanding dengan kegiatan kehutanan yang ada didaerah tersebut.Â
Penyuluh kehutanan dianggap polypavalen dengan penyuluh pertanian. Sangat menyedihkan. Lantas bagaimana diklat kehutanan yang dapat diikuti oleh penyuluh kehutanan selama kurun waktu 2004 -- 2020 ini.Â
Hampir pasti diklat kehutanan yang diikuti penyuluh kehutanan frekuensinya sangat terbatas, bahkan mungkin sebagian besar penyuluh kehutanan tidak lagi pernah mengikuti diklat semacam ini sampai pensiun. Bagaimana mungkin kualitas penyuluh kehutanan akan meningkat kalau kondisinya semacam ini.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan penyuluh kehutanan di UPT KSDAE KLHK yang berjumlah 333 orang. Dengan berlatar belakang sarjana, berusia muda dan berkualifikasi pendidikan yang baik, penyuluh kehutanan ini masih dibawah kendali KLHK cq Ditjen KSDAE yang ditempatkan di Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA/BKSDA) dan Balai Besar/Balai Taman Nasional (BBTN/BTN) diseluruh Indonesia , sudah barang tentu diklat teknis  akan diatur secara proporsional oleh Ditjen KSDAE selaku Pembina teknis maupun diklat yang diselenggarakan oleh BP2SDM KLHK. Â
Dalam suatu pertemuan kegiatan penyegaran bagi penyuluh kehutanan yang bertugas di Ditjen KSDAE yang diselenggarakan oleh BP2SDM KLHK tahun 2014, di Bandar Lampung untuk wilayah barat Indonesia dan Makassar untuk wilayah timur Indonesia, selaku kepala bidang ketenagaan penyuluh pada  Pusat Penyuluhan BP2SDM KLHK yang menyelenggaraan kegiatan ini pada waktu itu, saya menilai bahwa kualitas penyuluh kehutanan yang ada di UPT KSDAE ini kualitasnya mumpuni dan sangat memadai dalam memhami bidang tugas dan pekerjaannya.
Terobosan Kebijakan
Untuk menghindari adanya ancaman krisis jumlah penyuluh kehutanan didaerah, diperlukan adanya terobosan kebijakan untuk merekrut penyuluh kehutanan yang baru, bagaimanapun dan apapun caranya. Menteri LHK harus berani menerobos birokrasi penerimaan pegawai yang berbelit belit untuk langsung meminta kepada presiden.Â
Bila tidak dapat langsung diangkat sebagai PNS, minimal dapat diangkat sebagai pegawai kontrak lebih dahulu. Penambahan jumlah penyuluh kehutanan yang baru mendesak diperlukan sekaligus untuk menata kembali penyebaran penyuluh kehutanan pada masing masing daerah provinsi secara proporsional sesuai dengan luas hutan, jumlah penduduk, jumlah kecamatan, jumlah desa yang berbatasan dengan hutan dan seterusnya, yang selama ini tidak dilakukan.Â
Dari data tahun 2016, jumlah penyuluh kehutanan dipulau Jawa mencapai 55 persen dari total jumlah penyuluh kehutanan di Indonesia, padahal hanya terdiri dari lima provinsi saja, sementara itu 29 provinsi lainnya, jumlah penyuluh kehutanannya hanya mencapai 45 persen. Bahkan provinsi Papua, yang kawasan hutannya begitu luas, jumlah penyuluh kehutanannya hanya 10 orang.
Berdasarkan peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) no. 8 tahun 2010, tanggal 3 Maret 2010, jumlah kebutuhan penyuluhan kehutanan dikabupaten/kota  dihitung berdasarkan maksimal 5 penyuluh kehutanan ahli ditambah (maksimal 4 penyuluh kehutanan terampil dikalikan jumlah wilayah administratif kecamatan yang berada atau berbatasan sekitar kawasan hutan dalam satu kabupaten/kota.Â
Atas dasar perhitungan tersebut, seluruh wilayah kabupaten/kota seluruh Indonesia, membutuhkan penyuluh kehutanan sebanyak 21. 078 orang. Dengan demikian, kekurangan penyuluh kehutanan yang ada, untuk mencapai jumlah penyuluh kehutanan yang ideal sebanyak 18.366 orang. Bilamana kekurangan penyuluh kehutanan ini dapat dipenuhi selama lima tahun (2020-2024) maka setiap tahun harus ada penambahan penyuluh kehutanan baru sebanyak sekitar 3600 orang.
Sebagaimana kementerian pertanian yang menganggap penting untuk menambah jumlah penyuluh pertanian guna mempertahankan dan meningkatkan produksi pangan untuk memberi makan 267 juta jiwa penduduk Indonesia, kementerian LHK pun mempunyai argumentasi yang sangat kuat terkait dengan ketersediaan dan kebutuhan pangan nasional.Â
Meskipun pemerintah sekarang telah membangun banyak bendungan diseluruh Indonesia, nampaknya tidak akan menolong keadaan menghadapi krisis air. Akibat berikutnya kemampuan sawah beririgasi teknis akan menurunkan  produksi padinya. Pada akhirnya ketahanan pangan kita akan terganggu.Â
Kemarau panjang dan ekstrem tidak akan menyebabkan krisis air separah itu  apabila lingkungan didaerah hulu terjaga dengan baik. Sebaliknya, musim hujan tahun ini telah diprediksi oleh BMKG terjadi dengan intensitas tinggi, akibatnya banyak terjadi banjir, banjir bandang dan tanah longsor dan dapat ditemukan dimana mana diseluruh pelosok Indonesia.Â
Yang paling menyita perhatian adalah banjir di Jakarta dan Jabodetak pada awal tahun baru 2020 lalu. Dalam konteks ini, peran penyuluh kehutanan menonjol untuk melestarikan dan menjaga lingkungan daerah hulu serta menjaga keberadaan dan ketersediaan air didaerah hilir pada musim kemarau.Â
Sedangkan  penyuluh pertanian berperan  dalam menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Sayangnya, penyuluh yang ada sekarang jumlahnya kurang memadai padahal mereka adalah garda terdepan dalam pembangunan kehutanan dan pertanian.  Â
Penyuluh pertanian dan penyuluh kehutanan sama pentingnya. Bila tidak diperjuangkan kekurangan jumlah penyuluh kehutanan maka pada akhir masa kerja kabinet kabinet Indonesia Maju akan ada ucapan perpisahan sayonara atau goodbye penyuluh kehutanan Indonesia. Semoga ini tidak terjadi !
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H