KATA-KATA BERIAK DALAM PUISI YOLANDA
oleh Ricky Pramaswara
Sebelum saya menulis ulasan, perlu pembaca ketahui bahwa Yolanda A., penulis puisi ini, memiliki kesamaan karakter dengan saya; ia introver. Saat saya menulis ulasan ini, ia adalah siswa tingkat akhir di SMA Negeri 1 Waled, Kabupaten Cirebon. Pertemuan saya dengannya saat KBM kelas XI, sebagai guru Bahasa Indonesia pastinya saya kepo dengan minat baca siswa. Dan bagi siswa yang memiliki perhatian lebih terhadap karya sastra, tentu saya pun memberikan perhatian lebih padanya. Termasuk Ola, begitu ia dipanggil. Sesekali ia pernah mengungkapkan ketertarikannya terhadap prosa. Namun, baru akhir-akhir ini ia memberanikan diri untuk mengirim puisinya pada saya, ingin sekadar diberikan ulasan. Tentu saya sangat senang mendengarnya. Terlebih sebagai orang yang introver, ia tak begitu banyak bicara saat bertemu. Namun, dapat pembaca tebak, bahwa seorang introver akan berani banyak 'bicara' melalui media tulis, melalui sastra, melalui puisi.
-oo-
      Orang sering bilang jika puisi adalah teks yang berisi ungkapan hati atau perasaan seseorang. Kebanyakan berpendapat mengenai perasaan kasih sayang, namun lupa bahwa perasaan tidak hanya menyangkut hal itu. Ia mampu berbicara mengenai banyak hal. Orang sering berpendapat bahwa penggemar puisi tak lebih dari seorang yang bucin, tak lebih dari seorang yang patah hati lalu mencari media untuk mengungkapkannya. Lantas, bagaimana perasaan kesal dan marah terhadap isu sosial? Apakah tidak boleh diungkapkan melalui puisi?
      Kiranya, begitulah orang sekitar Yolanda memandang puisi. Sampai akhirnya mereka mesti menyadari bahwa puisi lebih dari sekadar yang mereka pahami. Melalui tiga puisinya, kita diajak untuk menanggalkan perasaan yang tak terungkapkan, karena segan atau takut akan subjek dari perasaan tersebut. Ungkapan perasaan kesal dan marah sangat tergambar dengan jelas dalam puisi Riak Tak Kasat Mata.
      Takkan ada kesal dan marah tanpa sebab yang menyertainya. Hubungan sebab-akibat tentu menjadi dasar berbagai polemik dari kisah manusia. Kekesalan penulis tampak disebabkan oleh perlakuan yang ia dapati dari orang yang ia segani.
Kak, ini kami yang dulu kau anggapÂ
bebal, tuli, buta, bisu dan lumpuh.Â
Entah berapa kali di hadapanmuÂ
kami bersimpuh. Entah berapa kaliÂ
pula kau ujarkan kebencian yangÂ
mematah api dalam diri kami.
      Senioritas sangat menyebalkan. Semua mengamini hal tersebut. Sejak masa pendidikan di sekolah sampai pekerjaan, senioritas seolah tak pernah lepas dari istilah orang lama dan orang baru. Superior senior selalu menjadi momok bagi juniornya. Padahal, itu hanyalah roda penindasan yang terus berputar; mereka diperlakukan tidak mengenakan sebelumnya dan ingin memperlakukan hal tersebut setelahnya, tentu pada subjek yang berbeda.
      Kesalahan seorang adik -junior, adalah hal yang lumrah, namun mesti diarahkan. Kesalahan berawal dari ketidaktahuan, namun orang yang superior takkan mau menerimanya sebagai suatu alasan. Itulah perspektif yang ingin diubah oleh penulis.
Kak, aku mengaku bahwa kamiÂ
bebal. Tapi dalam hati akuÂ
berteriak, "Kami hanyaÂ
belum tahu caranya!".Â
Seberapa sering dan nyaringÂ
oktafmu keluar pun rasanyaÂ
takkan bisa sepasang denganÂ
apa yang kami rasakan.
      Senioritas sebenarnya dialami oleh banyak orang, termasuk kita yang merasa bahwa senioritas dan segala hal yang menyertainya adalah kewajaran. Bahwa situasi tersebut telah terjadi lama dan terstruktur begitu kuat. Sehingga kita hanya berkutat pada romantisme "Yang kamu alami, belum seberapa dengan yang kami alami dulu". Jika kita muak dengan romantisme itu, maka ungkapkanlah melalui larik puisi berikut,
Apa yang kau tanam pada/ kami telah lama mati. Kau/ hanya sibuk menjunjung/ harga diri, kendati/ sebenarnya kau terkunci/ dalam gemerlap kendaga dan/ menyeret kami ke dalamnya/ sebelum setitik pelita datang/ menyorot kami.Â
Kendatipun demikian kesalnya penulis terhadap senioritas, Yolanda tetaplah seorang introver, bahkan dalam puisi sekalipun. Ia masih segan dan enggan bersikap tegas tentang situasi yang ia alami.
Kak, jika boleh aku berkata,/ kau sesungguhnya terlalu/ lama terbelenggu masa./ Karena kami sebenarnya/ melangkah, kami bergerak,/ kami beriak. Meski tak bisa/ matamu tangkap.
-oo-
      Selain kesal dan marah, penulis pun mengenalkan pada kita bahwa puisi juga berbicara tentang harapan dalam puisi Antar-Mengantar. Sebagai remaja, romantisme masa sekolah adalah sesuatu yang berharga untuk dinikmati, dan tentunya dikenang. Pertemanan, menjadi topik yang selalu dinikmati karena bertahan lebih lama dari percintaan remaja. Kebersamaan dalam berbagai situasi adalah memori indah yang dimiliki oleh setiap remaja. Mereka selalu ingin perayaan bersama di saat yang berbahagia. Mereka ingin merenung bersama di saat mengalami kegagalan. Mereka ingin pula saling menguatkan di saat yang paling menyedihkan sekalipun. Mereka ingin, dan berusaha mewujudkannya mesti pada akhirnya kadang situasi tak terduga selalu menjadi penghambat.
Kami antar-mengatar,Â
Dari satu sisi ke sisi lain, dariÂ
sukacita sampai kecewa, dari dasarÂ
tanah terendah bahkan langit punÂ
sudah jauh terjamah.
Tak cukup dengan perasaan kesal, marah serta harapan, penulis pun ingin menunjukkan bahwa perasaan waswas, cemas atau pun kekhawatiran dapat kita ungkapkan melalui puisi. Sigmun Freud (1936:36) dalam Karauwan (2020), berpendapat bahwa kecemasan adalah keadaan efektif, tidak menyenangkan, disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang tersebut terhadap bahaya yang akan datang.
Terdapat tiga jenis kecemasan utama menurut Freud, yaitu Kecemasan Realita; Kecemasan Neurotik; dan Kecemasan Moral. Kecemasan realita bersumber dari adanya ketakutan terhadap bahaya yang mengancam di dunia nyata, Kecemasan neurotik bersumber pada konflik antara pemuasan instingtual dan realitas. Kecemasan moral bersumber pada ketakutan akan suara hati individu. (Karauwan, 2020)
Penulis merepresentasikan Kecemasan Realita pada puisi Anjing Hitam. Kecemasan yang muncul akibat pengamatan suatu bahaya dalam dunia luar. Penulis cemas akan sesuatu yang menyerupai anjing hitam. Saya menggunakan istilah menyerupai karena bagaimana pun, dalam puisi selalu terdapat kiasan yang menjadikan makna puisi selalu multitafsir.
Ya, Si Tamak itu lagi-lagi kembali.
Siapa lagi kalau bukan dia?Â
Si Pekat Legam yang biasa mengoyak dagingku kapan saja.Â
Padahal dagingku hambar, namun nampaknya tak ada alasan baginya untuk tidak terobsesi denganku, dengan dagingku.Â
Jelas itu sakit, namun apa bisaku?
Kecemasan realita ini biasanya merupakan ingatan yang telah mengendap lama dalam diri seseorang. Bisa saja ia muncul kembali saat menemukan suatu respons yang mengarah pada kecemasan tersebut. Trauma masa kecil biasanya selalu menjadi penyebab munculnya kecemasan realita ini. Hal itu pun tergambarkan dalam diri penulis melalui puisinya.
Nyaris setengah windu ia bersamaku.Â
Bukannya mati, ia malah terus mengikutikuÂ
dan semakin menjadi-jadi.Â
Seribu kali aku melawan pun rasanya percuma,Â
bahkan untuk merintih mendamba iba saja aku tak bisa.Â
Ia selalu menyalak, aku jelas kalah telak, aku pasti terkoyak.Â
-oo-
Saat saya menulis ulasan ini, Yolanda masih seorang siswi SMA yang memiliki atensi terhadap karya sastra. Mungkin puisi yang ia tulis masih bisa kita hitung dengan jemari yang ada pada tubuh kita. Sehingga, kepekaan penulis terhadap kata-kata dan makna masih terbatas. Namun, apalah artinya tata bahasa baku jika hanya mengurung dan membatasi gerak kata-kata untuk mengungkapkan perasaan? Sutarji Calzoum Bachri, Sang Presiden Penyair Indonesia dalam Majalah Horison No.12 Th. IX, Desember 1974, halaman 361 mengatakan bahwa "Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam. Dalam keseharian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri."
Namun bagi Yolanda, di usianya yang masih memiliki waktu banyak untuk fokus belajar dan mencari pemahaman, ia mesti mencari posisi jati dirinya dalam karya sastra, khususnya puisi. Yolanda masih haruslah diasah. Ibarat sebuah logam mulia yang belum kita tahu jenisnya, jika diasah dengan baik maka akan terlihat dengan jelas jenisnya. Apakah ia emas? Perak? Paladium? Ataukah hanya besi biasa?
Referensi:Â
Karauwan, Matthew Zico. (2020). Refleksi Kecemasan dalam Final Destination 3 Karya James Wong. Manado: Universitas Sam Ratulangi
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Kredo_Puisi | Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. [daring]
Puisi Riak Tak Kasat Mata: https://write.as/x21dvegimjy2a
Puisi Anjing Hitam: https://write.as/zlcbkc7imu3el
Puisi Antar-Mengantar: https://write.as/4gf0df9hwkcu8
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H