sudah jauh terjamah.
Tak cukup dengan perasaan kesal, marah serta harapan, penulis pun ingin menunjukkan bahwa perasaan waswas, cemas atau pun kekhawatiran dapat kita ungkapkan melalui puisi. Sigmun Freud (1936:36) dalam Karauwan (2020), berpendapat bahwa kecemasan adalah keadaan efektif, tidak menyenangkan, disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang tersebut terhadap bahaya yang akan datang.
Terdapat tiga jenis kecemasan utama menurut Freud, yaitu Kecemasan Realita; Kecemasan Neurotik; dan Kecemasan Moral. Kecemasan realita bersumber dari adanya ketakutan terhadap bahaya yang mengancam di dunia nyata, Kecemasan neurotik bersumber pada konflik antara pemuasan instingtual dan realitas. Kecemasan moral bersumber pada ketakutan akan suara hati individu. (Karauwan, 2020)
Penulis merepresentasikan Kecemasan Realita pada puisi Anjing Hitam. Kecemasan yang muncul akibat pengamatan suatu bahaya dalam dunia luar. Penulis cemas akan sesuatu yang menyerupai anjing hitam. Saya menggunakan istilah menyerupai karena bagaimana pun, dalam puisi selalu terdapat kiasan yang menjadikan makna puisi selalu multitafsir.
Ya, Si Tamak itu lagi-lagi kembali.
Siapa lagi kalau bukan dia?Â
Si Pekat Legam yang biasa mengoyak dagingku kapan saja.Â
Padahal dagingku hambar, namun nampaknya tak ada alasan baginya untuk tidak terobsesi denganku, dengan dagingku.Â
Jelas itu sakit, namun apa bisaku?
Kecemasan realita ini biasanya merupakan ingatan yang telah mengendap lama dalam diri seseorang. Bisa saja ia muncul kembali saat menemukan suatu respons yang mengarah pada kecemasan tersebut. Trauma masa kecil biasanya selalu menjadi penyebab munculnya kecemasan realita ini. Hal itu pun tergambarkan dalam diri penulis melalui puisinya.
Nyaris setengah windu ia bersamaku.Â