Mungkin terdengar janggal, namun nyatanya memang ada orang yang tidak dibiasakan memahami emosi dirinya sendiri, apalagi emosi orang lain.
Pola asuh dan budaya yang berkembang terkadang punya kecenderungan mematikan emosi. Ketika anak laki-laki menangis dan bersedih, tidak jarang orang tua berkata “Diam, laki-laki tidak boleh cengeng” atau “Begitu aja kok nangis.”
Jika orang tua dibesarkan dengan cara seperti di atas, ia perlu belajar untuk mulai memahami bahwa manusia mempunyai emosi.
Mengenali emosi diri dapat membantu kita paham dengan emosi dan apa yang dirasakan orang lain, serta mampu memberikan reaksi yang tepat.
2. Melihat dari sudut pandang anak
Sering orang tua lupa bahwa dulu ia juga pernah kesulitan melakukan sesuatu ketika berada di usia yang sama dengan anak.
Kita sudah terlalu lama meninggalkan masa kanak-kanak, lupa dengan standar cara berpikir dan kemampuan anak.
Contoh, ketika anak bersusah payah menulis, ada orang tua merasa kesal. Menulis kalimat seperti itu saja kok lama betul.
Kita sudah menulis berpuluh tahun yang lalu, tentunya menulis perkara mudah untuk kita, sedangkan anak, mungkin baru mengenal pensil beberapa bulan yang lalu.
Buang rasa jengkel, bukalah mata dan lihat bagaimana dia bersusah payah menyelesaikan kalimat yang harus ditulisnya.
Ambil pensil, mulailah mencoba menulis dengan tangan kiri (untuk Anda yang tidak kidal) sehingga dapat merasakan, bagaimana sulitnya belajar menulis dengan rapi dan cepat jika belum terbiasa.
3. Melakukan observasi tanpa mengevaluasi
Salah satu kecenderungan manusia adalah memberikan evaluasi, judging, memberi penilaian terhadap apa yang ia lihat dan dengar. Padahal ketika penilaian hadir, sulit untuk bersikap obyektif. Lakukan pengamatan, lihat dengan seksama, bila perlu komunikasikan, tanyakan alasannya, pahami cara berpikirnya anak tanpa menghakimi.