“Mama, ini di Hirotada ada cerita nyata yang serem. Serem banget Ma, kasian anak ini. Kok bisa sampe gitu ya,” ekspresinya Si Bungsu saat bicara benar-benar mencerminkan rasa ngeri.
Ternyata dia habis menonton kanal youtube Hirotada Radifan yang menyajikan kisah tentang seorang gadis hamil di luar nikah.
Dalam kebingungannya, gadis ini mencoba cari jalan keluar sendiri dan masuk ke dalam sekte sesat. Di komunitas ini dia mempersembahkan janin dalam kandungannya sebagai sajian ritual.
“Kasian ya Ma, dia segitu takutnya cerita ke orang tuanya sampai memilih jalan seperti itu," komentarnya.
“Menurut kamu kenapa sampai gadis ini tidak berani cerita ke orang tuanya?” Pancingku.
“Pasti karena orang tuanya tidak bisa menerima kalau dia bikin salah, mungkin waktu kecil dulu nilai jelek pun dia dipukuli," jawabnya.
"Apalagi masalah serius seperti hamil luar nikah, mana berani dia cerita,” dia menambahkan.
Perbincangan ringan, pemikiran polos seorang anak, mengantarkan saya lebih jauh berpikir tentang pentingnya rasa empati orang tua sebagai pengikat hubungan orang tua dengan anak.
Apa itu empati?
Alfred Adler, seorang ahli dalam ilmu psikologi, mendefinisikan empati sebagai penerimaan terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain serta mampu meletakkan diri kita pada situasi orang tersebut.
Ketika kita menempatkan diri dalam situasi seseorang, reaksi kita mestinya lebih terkendali. Karena di sana bukan hanya logika yang hadir, namun juga ada perasaan, ada pemahaman.
Kita tidak hanya memusatkan perhatian pada perasaan kita, namun juga melihat lebih jauh apa yang orang lain rasakan.
Dengan mampu memahami perspektif pihak lain akan muncul toleransi yang membuat kita lebih dapat menerima dan memberikan respon yang sesuai ketika seseorang tertimpa masalah ataupun melakukan kesalahan.
Mengapa empati penting dalam mendidik anak?
1. Empati membuat emosi orang tua jadi terkendali
Saat kita mampu menempatkan diri dalam situasi yang dihadapi anak, berarti kita sudah mampu melampaui gejolak dan luapan perasaan kita sendiri. Mampu mengendalikan diri.
Tidak ada cara yang lebih baik dalam mengajarkan pengendalian diri kepada anak selain memberi contoh langsung kepada anak tentang pengendalian diri saat ada masalah dan gejolak.
Ketika kita mendapati anak melakukan kesalahan, kita tidak langsung bereaksi, mungkin kita perlu menarik nafas dan diam sejenak. Memikirkan sikap apa yang perlu kita ambil, kalimat apa yang perlu kita ucapkan.
Cara kita bersikap akan dicatat oleh anak untuk ditiru ketika ia suatu hari berada dalam situasi yang sama.
2. Muncul keterbukaan antara anak dan orang tua
Ketika orang tua bersikap terkendali saat anak melakukan kesalahan, ia akan melihat kesalahan sebagai sebuah hal wajar. Anak tidak takut mengakui bahwa ia berbuat salah. Ia akan berani secara jujur menceritakan apa yang terjadi.
Di sinilah orang tua dapat menjalankan perannya, mengajak anak melihat kesalahannya dan belajar dari kesalahan itu, sehingga kelak ketika muncul situasi serupa, hasilnya akan lebih baik dari hari ini.
Orang tua dan anak pun dapat berdiskusi dan memikirkan jalan keluar yang terbaik dari masalah tersebut.
3. Anak tidak mudah cemas dan tumbuh percaya diri
Ketika anak tahu bahwa orang tua menerima kesalahan ataupun hal buruk yang terjadi pada anak sebagai hal wajar, anak jadi tidak mudah cemas. Ia tahu orang tua akan selalu ada untuknya. Semua masalah akan dapat dicari jalan keluarnya.
Anak memiliki keterbatasan, baik dari segi kemampuan berpikir, tenaga, juga pengalaman. Kehadiran orang tua akan membuat anak mampu melewati semua masalah yang dia hadapi. Kepercayaan dirinya pun terus bertambah.
Cara agar orang tua mampu berempati
1. Pahami rupa-rupa emosi
Mungkin terdengar janggal, namun nyatanya memang ada orang yang tidak dibiasakan memahami emosi dirinya sendiri, apalagi emosi orang lain.
Pola asuh dan budaya yang berkembang terkadang punya kecenderungan mematikan emosi. Ketika anak laki-laki menangis dan bersedih, tidak jarang orang tua berkata “Diam, laki-laki tidak boleh cengeng” atau “Begitu aja kok nangis.”
Jika orang tua dibesarkan dengan cara seperti di atas, ia perlu belajar untuk mulai memahami bahwa manusia mempunyai emosi.
Mengenali emosi diri dapat membantu kita paham dengan emosi dan apa yang dirasakan orang lain, serta mampu memberikan reaksi yang tepat.
2. Melihat dari sudut pandang anak
Sering orang tua lupa bahwa dulu ia juga pernah kesulitan melakukan sesuatu ketika berada di usia yang sama dengan anak.
Kita sudah terlalu lama meninggalkan masa kanak-kanak, lupa dengan standar cara berpikir dan kemampuan anak.
Contoh, ketika anak bersusah payah menulis, ada orang tua merasa kesal. Menulis kalimat seperti itu saja kok lama betul.
Kita sudah menulis berpuluh tahun yang lalu, tentunya menulis perkara mudah untuk kita, sedangkan anak, mungkin baru mengenal pensil beberapa bulan yang lalu.
Buang rasa jengkel, bukalah mata dan lihat bagaimana dia bersusah payah menyelesaikan kalimat yang harus ditulisnya.
Ambil pensil, mulailah mencoba menulis dengan tangan kiri (untuk Anda yang tidak kidal) sehingga dapat merasakan, bagaimana sulitnya belajar menulis dengan rapi dan cepat jika belum terbiasa.
3. Melakukan observasi tanpa mengevaluasi
Salah satu kecenderungan manusia adalah memberikan evaluasi, judging, memberi penilaian terhadap apa yang ia lihat dan dengar. Padahal ketika penilaian hadir, sulit untuk bersikap obyektif. Lakukan pengamatan, lihat dengan seksama, bila perlu komunikasikan, tanyakan alasannya, pahami cara berpikirnya anak tanpa menghakimi.
Contoh ketika anak mulai rewel di tempat umum. Lihat apakah dia kepanasan, ataukah mengantuk.
Tanyakan, “Adek ngantuk? Oh iya tadi Adek bangunnya pagi ya. Mama akan cepat-cepat selesaikan belanjanya, dan kita akan langsung pulang ke rumah ya.”
Sikap kita yang menunjukkan empati akan membuat anak lebih tenang.
Sebaliknya kalimat, "Kok kamu merengek terus ya, pusing Mama, lain kali tinggal aja di rumah kalo ga bisa sabar!" Akan membuat anak semakin merasa tidak nyaman dan tambah memuncak emosi negatifnya.
4. Membiasakan komunikasi dalam keluarga
Komunikasi adalah menyampaikan pesan. Dengan kita membiasakan diri mencari tahu pesan apa yang mau disampaikan kepada kita, dan ketika kita dapat merasakan apa yang dirasakan oleh anak, rasa empati dapat hadir.
Komunikasi menghadirkan rasa empati. Sebaliknya, rasa empati juga menghadirkan situasi komunikasi yang lancar.
Membangun relasi yang baik dengan anak perlu dilakukan sejak dini. Empati salah satu kunci keberhasilan terjalinnya hubungan yang baik sebagai pengikat antara anak dan orang tua hingga kelak di kemudian hari, apa pun kondisinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H