Mohon tunggu...
Prajna Dewi
Prajna Dewi Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang terus berjuang untuk menjadi pendidik

Humaniora, parenting, edukasi.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Menghadapi Anak yang Berbohong

9 September 2022   09:00 Diperbarui: 10 September 2022   14:26 1451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Freepik.com

“Mama, tadi Aku jatuh didorong teman di kelas,” lapor Melly dengan wajah memelas. “Sakit, Ma… Lututku sampai bunyi kreekkk, keras bunyinya, Aku sampe gak bisa jalan tadi.”

Mama langsung jongkok memeriksa lutut Melly, makin panik wajah mama, makin memelas wajah Melly. Tapi mama tidak menemukan luka ataupun memar di sana. 

Buru-buru mama memeriksa tas Melly, mencari injury report, laporan kecelakaan yang pasti akan dibuat wali kelas kalau ada anak yang mengalami kecelakaan di sekolah. Tidak ditemukan injury report, karena memang ternyata Melly hanya mengarang cerita.

Berbohong, menceritakan atau memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan, bisa saja dilakukan oleh anak. Mungkin bisa dikatakan bahwa semua anak pernah berbohong. Namun orangtua perlu berhati-hati jika berbohong kerap dilakukan dan dengan cara yang sangat meyakinkan.

Mengapa anak berbohong?

1. Ingin diperhatikan

Orangtua seringkali sibuk dengan urusannya sendiri. Menanggapi omongan anak pun dengan sebelah telinga, dengan mata masih sambil menatap gadget. Satu-satunya cara menarik perhatian mama adalah dengan mengarang cerita yang seru. Seperti jatuh sampai lutut berbunyi dan tidak bisa jalan, dijamin cukup seru untuk mengalihkan perhatian mama dari gadget.

Kemudian di hari lain, Melly sadar bahwa cerita tentang punya mainan baru juga ternyata dapat menarik perhatian teman. Begitu pula cerita tentang tempat liburan yang sebenarnya belum pernah dikunjungi.

Lambat laun anak semakin mahir mengarang cerita untuk mendapatkan perhatian tanpa dia sadari bahwa hal itu adalah salah.

2. Menghindari hukuman

Jangan dikira bahwa di zaman modern ini orangtua sudah sepenuhnya paham akibat buruk dari menghukum. Kemarin saya baru terkejut-kejut mendengar ada orangtua yang menyediakan kandang untuk memasukkan anaknya yang melakukan kesalahan. Miris sekali. Dia menceritakannya dengan bangga, merasa hebat dengan “ketegasannya” mendisiplinkan anak.

Anak yang memiliki orangtua seperti ini, lambat laun akan mencari cara untuk menghindari hukuman saat melakukan kesalahan. Salah satunya adalah dengan berbohong.

Lebih baik mengarang cerita agar terbebas dari kemarahan dan hukuman, dan ketika ini berhasil, maka kebiasaan ini akan dia bawa terus hingga besar nanti. Ketika melakukan kesalahan, otaknya akan segera berputar mengarang cerita untuk membebaskan diri.

3. Suka berimajinasi

Anak yang kreatif memiliki imajinasi yang tinggi. Saat bercerita, ia tanpa sadar memasukkan imajinasinya/tall tales. Selintas jadinya ini seperti dia berbohong.

Seiring perkembangan bahasa, anak usia tiga tahun mulai suka bercerita dan bermain pura-pura. Ia merasakan serunya menggunakan kosa kata yang baru dikuasainya, terkadang tanpa benar-benar paham artinya.

Berpura-pura bisa membaca adalah contoh salah satu imajinasi anak yang kerap dapat kita lihat ketika anak usia tiga tahun memegang buku.

Mencampur antara imajinasi dan kenyataan saat bercerita, adalah hal yang sangat wajar ketika anak masih dini usianya (rentang tiga sampai lima tahun), namun tetap orangtua perlu meluruskan, sehingga anak tahu bahwa apa yang diceritakan perlu ada dasar dan kronologinya.

Misal: “Tadi Adek pergi ke rumah kakek, Adek lihat angsa besarrrr, sebesar lemari”

Jangan langsung berkata “Adek bohong” ini akan menyurutkan keinginannya bercerita.

Tanggapi dengan “Oh ya? Takut tidak lihat angsa besar selemari, makannya pasti banyak. Kandang angsanya sebesar apa? Apa muat di kandang kalau besar angsanya selemari?” Obrolan ini mengajak anak berpikir.

Bisa kita lanjutkan dengan,"Coba adek ingat-ingat, seginikah besarnya?” (sambil kita ajak dia merentangkan tangan memperagakan besar angsa yang dilihatnya).

Dengan cara ini kita membimbing anak untuk belajar memberikan informasi yang benar.

4. Tidak mau menjalankan tugas

Tugas dan kewajiban, sudah pasti bukan hal yang menyenangkan, bahkan buat orang dewasa sekalipun, apa lagi bagi anak-anak.

Untuk menghindari tugas, anak bisa saja berbohong. Maka dari itu, anak perlu diberikan pemahaman mengapa sebuah tugas dan kewajiban harus dia kerjakan. Jelaskan apa tujuannya. Jika sudah paham, anak akan lebih berlega hati menjalankannya.

Contoh: “Adek bantu isi tempat air minum Si Owy tiap hari ya (kucingnya), karena Owy butuh minum supaya sehat. Owy tidak bisa bilang kalau haus, juga tidak bisa ambil sendiri, harus kita yang bantu”

Apa yang harus dilakukan jika anak terus berbohong?

1. Berikan perhatian

Cukup sering orangtua yang bekerja mengucapkan kata “Waktu untuk anak bagi saya yang penting adalah kualitas, bukan kuantitas”

Namun coba lihat dengan jujur, benarkah waktu yang sudah sedikit itu benar-benar berkualitas? Benarkah kita fokus memberikan perhatian dan mendengarkan ceritanya? Mencari tahu apa yang dia ingin dan butuhkan?

Ketika anak masih kecil, perhatian orangtua adalah hal yang paling diinginkannya. Ini  yang akan terus mengikat anak untuk terus dekat dengan orangtua saat tumbuh dewasa nanti.

2. Perbaiki pola asuh

Cara mendisiplinkan anak yang berlebihan, menghukum anak dengan keras, lebih sering membawa efek negatif dari pada manfaat positif.

Gantilah hukuman dengan mengajarkan anak konsekuensi. Tunjukkan bahwa melakukan kesalahan wajar, yang terpenting adalah mengakui dan berusaha memperbaikinya.

Ketika kakak menumpahkan gelas minum, segera ajak dia mengambil kain lap. Ajak membersihkan tumpahan, sambil berpesan untuk berhati-hati.

Di sekolah, kami juga menerapkan pola konsekuensi saat mendidik murid. Jika ada yang lupa mengerjakan PR, anak tidak disuruh berdiri di depan kelas, namun sepulang sekolah konsekuensinya dia harus menyelesaikan PR tersebut. Saat anak lain bisa segera pulang, dia masih harus duduk dikelas mengerjakan apa yang belum dia selesaikan.

Orangtua perlu menanamkan keyakinan pada diri anak, sikap jujurnya saat mengakui kesalahan tidak akan menempatkan dirinya pada bahaya. Masalah pasti dapat diselesaikan.

3. Jadilah contoh yang baik

Anak belajar dari mengamati. Sejak bayi, mereka sudah pandai mengamati gerak-gerik orang disekitarnya. Tahap selanjutnya adalah meniru, hasil pengamatan akan diingat dan ditiru oleh anak.

Ketika kita ingin anak menghargai kejujuran, maka kita perlu menunjukkan kepada anak makna jujur. Tanpa disadari, sikap orangtua yang mencari jalan pintas dalam menyelesaikan masalah mengajarkan kepada anak bahwa menghalalkan segala cara tidak apa.

Berbagai alasan bisa saja dikemukakan, namun tidak jujur adalah tetap tidak jujur.

Contoh:  Saat terlambat mengantar anak ke sekolah karena bangun kesiangan, mama saat menjelaskan ke guru mencari alasan, mengaku terlambat karena jalanan macet.

Di sini anak belajar, bohong tidak mengapa, yang penting bisa menyelamatkan situasi.

Semoga kiat-kiat di atas dapat membawa manfaat. Terus bersemangat menjadi yang terbaik bagi anak-anak kita. Apa yang kita tanamkan pada anak sejak dini akan menjadi cerminan masa depan anak dan juga masa tua kita nanti.

***

Sumber: 

Milestones of Child Development A Guide to Young Children’s Learning and Development from Birth to Kindergarten, Office of Early Childhood Development Virginia Department of Social Services

www.aacap.org

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun