/1/
Namanya Cakrawala, biasa dipanggil Lala
Agar terdengar lebih feminim, kata ibunya
Karena Lala dikenal tomboy dan tak kenal menyerah
Meski begitu, Lala adalah gadis berkerudung
Yang tumbuh di daerah minoritas penggunanya
Sifat tomboy membuatnya lebih kuat
untuk memilih jilbab
Tomboy eksklusif, katanya sumringah dan bangga
Lala suka berteman, tak pernah memilih
Siapapun, darimanapun, ia terima dengan gembira
Tangan terbuka dan santun sewajarnya
Diselingi canda berbatas karma sesekali
Dibesarkan di tanah Bhinneka Tunggal Ika
membuatnya mengerti banyak toleransi
Perbedaan untuk dihargai dan dihormati
Yang cinta damai dan memperkecil masalah kebanyakan.
Baginya, perbedaan bukanlah hal
yang dapat meledakkan masalah.
Periang, suka bercanda dan kadang usil
adalah ia yang dikenal orang lain
Seperti tak ada masalah saja.
Selalu bahagia dan dicinta sekelilingnya
Itulah Lala, si gadis biasa.
/2/
Nun jauh disana, di Negara sebelah timur perbatasan Palestina
Seorang bujang dibesarkan dengan budayanya yang dikenal luas
Daerah padang pasir bercuaca ekstrim
bukan halangan dalam menumbuhkembangkan generasi impian
Yang cerdas, berpotensi, dan berbudi.
Darian Aleser namanya, yang berarti singa yang kaya dan penuh tahta
Berdasar agama yang tebal dan kental sunnah,
ia tak terlalu mengerti perbedaan, pun toleransi.
Karena ditempatnya, semua tak beda
Menjalani kebiasaan dan adat serempak, tanpa terkecuali.
Hidup dengan sangat lurus
Membentuknya menjadi pribadi serius.
Tak mengenal usil dan jahil
Hanya bercanda ringan dan tawa tanpa terbahak
Baginya, canda itu langka, terlebih pada kaum hawa
Beruntung baginya suka bekerja keras
Karena ia dapat mengeruk kesempatan di luar negaranya
Mempelajari banyak hal diluar negara dan budayanya
Lagi-lagi, dihormatinya dan selalu menilai positif
Demi kesopanan dan norma secara global.
Di satu masa, ia sampai di tanah garis khatulistiwa,
dan ia suka berlama-lama.
Menjadi dosen terbang muda, membuatnya disuka para mahasiswi
Tapi ia hanya tertunduk menahan senyum.
Fatal bagi Si Penghafal Al-Qur'an
untuk telalu sering bertegur sapa dengan wanita
Apalagi menebar janji dan rayuan,
itu tak pernah ia lakukan.
Prinsipnya: sekali, seumur hidup, dan kepada satu wanita.
Menurutnya, kebiasaan itu salah. [i]Â
Awal 2009 menjadi waktu yang digariskan IlahiÂ
dalam pertemuan singkat dua insan yang jauh berbedaÂ
Diperkenalkan oleh lelaki yang dihormati keduanya.Â
Lala dan Darian berkenalan tanpa berjabat,Â
namun bisa cepat memberi isyaratÂ
yang membuat tai kucing terasa cokelat.Â
Kala itu, sore cerah bertemankan angina sepoi-sepoiÂ
Cuaca yang disukai wisatawan negara tropisÂ
Biasa bagi Lala, tapi tidak bagi DarianÂ
Ia mengagumi dan mensyukuri ciptaan Tuhan iniÂ
Pujian itu mencengangkan Lala.Â
Di zaman edan seperti saat ini,Â
ternyata masih ada yang mengucap syukurÂ
untuk hal yang kebanyakan disepelekan orang.Â
Simpati Lala bertambah satu poin terhadap Darian.Â
Tidak lebih dari tiga jam tatapan, berujung penasaran.Â
Dan tak lama, teknologi bicara.Â
Modernisasi melatarbelakangi semua keindahanÂ
Komunikasi yang terpaut beda 5 jam kehidupanÂ
Lala dan Darian merasa berbeda.Â
Merasa lebih indah dan semakin dewasaÂ
Padahal 3 jam bukanlah waktu yang lamaÂ
Tapi keajaiban berkata sebaliknyaÂ
Sulap Sang Maha Cinta membalikkan semuanyaÂ
Getar kagum membuat rasa syukur semakin dalamÂ
Babak baru pada masing-masing hati telah dimulaiÂ
Dengan cara yang tidak disengaja, sederhana.Â
Namun berharap berakhir seperti cerita Cinderella,Â
Seperti kabar gembira yang telah lama dinanti:Â
Si tomboy menyenandungkan lagu cintaÂ
Dan Si penghafal Al-Qur'an lebih sering tersenyumÂ
saat mengingat si sosok jenaka.Â
Ternyata cinta itu memang adaÂ
Dan saling menanya 'bagaimana harimu berlalu?'Â
Menjadi cerita yang tak bosan diulangÂ
Menjadi alasan membuka percakapan lebih banyakÂ
Meski menimang maya, tapi terasa indah tanpa rekayasaÂ
Sekedar mengingatkan waktu shalatÂ
Adalah hal kecil berujung dahsyatÂ
Membuat ibadah makin semangatÂ
Tanpa merasa cucuran keringatÂ
Juga menjadi alasan untuk saling mengabarkanÂ
Tak perlu mahal agar tercipta keindahanÂ
Perlahan namun pasti, rindu pun datangÂ
Tak berkabar, maka terasa hilangÂ
Dengan kegiatan masing-masing yang selalu berputar samaÂ
Kini terasa berbeda, lebih berwarnaÂ
'Ah, dia tak seperti kebanyakan pria Timur-tengahÂ
yang katanya sombong[ii] dan semena-mena.[iii]
Ia sopan, ramah, dan bersahaja dengan gelar sosial akademis
yang cenderung tinggi di usianya
tak bisa berbohong, polos, dan apa adanya.'Â
Batin Lala menilai, tak sekali dua kali, tapi hampir selaluÂ
Serasa ribuan kata tak cukup menjabarkan DarianÂ
Bukan fisik, tapi sikap dan sifatÂ
Pesan-pesan Darian tak satupun dihapusnyaÂ
Karena ia merasa Darian tidak biasa,Â
Tanpa Lala tahu, ia mendapatkan pujian yang setimpalÂ
Dari hati yang jauh disana, Darian Aleser.Â
Kesan Negara Pancasila hanya bisa memproduksi tenaga kerjaÂ
'Ternyata Negara itu memiliki harta berharga, Â
wanita istimewa dan jenaka, seperti LalaÂ
Membuat hari-hari menjadi ceriaÂ
Dan memperkenalkanku pada dunia canda yang berkata penuh tata.Â
Alhamdulillah Rabbi, kau perkenankanku mengenal Lala.'Â
Selalu disebutkannya itu seusai shalat, penuh syukur.Â
Menjadi saksi dan tempat mengadu keduanyaÂ
Pujian, kerinduan, dan alasan tertawaÂ
Seperti Kahlil Gibran dan Selma Karamy[iv]
Kisah dua anak manusia tak selalu berjalan sempurna
Walau mengatasnamakan bahagia dan cinta
Apalagi dengan keadaan yang jauh berbedaÂ
Wanita setengah baya yang merasaÂ
punya andil dalam perkenalan merekaÂ
tak lagi ada di pihak pembelaÂ
Yang tersenyum kala mereka bahagiaÂ
Tapi berbalik menjadi bagian antagonis naskah hidupÂ
Yang menunjukkan bahwa rasa bahagiaÂ
juga memiliki golongan yang pantasÂ
dan punya tingkatan yang berbeda,Â
untuk bisa tertawa bersama. Itu pandangannyaÂ
Wanita itu memandang Darian dan LalaÂ
Seperti corak polkadot dan garis diagonalÂ
Yang tak pantas jika dipadukanÂ
Lagi-lagi, dengan membawa perbedaanÂ
Lala ingat betul apa ang diucapkannyaÂ
'Pasti pria seperti Darian, yang tampan dan berprestasi,Â
hanya akan pantas berpasangan dengan levelnya.Â
Dan tidak mungkin di bawah standarnya.Â
Tak pelak, Lala merasa tersindir dan tersudut.Â
Sebagai wanita biasa yang belum merasakanÂ
bangku kuliah di usianya di awal 20,Â
tentu ia merasa nol dibandingkan dengan DarianÂ
yang telah memiliki beberapa gelar akademisÂ
di usianya yang bahkan belum mencapai 30. Luar biasa.Â
Tapi Lala tak pernah menceritakannya kepada siapapun.Â
Hanya menangis di atas sajadahnya.Â
Darian sendiri tak pernah membahasnyaÂ
Sebagai pria sopan dan berpendidikanÂ
Ia tahu betul siapa lawan bicaranyaÂ
Yang perlahan tak sekedar menjadi lawan bicaraÂ
Yang perlahan tak sekedar menjadi teman bayanganÂ
Tapi perlahan mulai berubah menjadi kebutuhanÂ
Yang selalu terucap di doa istimewaÂ
Lala dan Darian terus menjalani hari dengan indahÂ
Dan membiarkan hati mereka danÂ
Yang Maha Suci saja mengetahuinyaÂ
Tak dinyana, cinta bisa membuat Lala menjadi romantisÂ
Dan selalu menulis kata-kata puitisÂ
Berisikan rindu, senang, gundah, ragu, juga sedih.Â
Hati Lala mulai tak karuan, matanya enggan terpejamÂ
Ia melogikakan kata-kata wanita setengah baya tersebutÂ
Apa aku harus memberikan batasan yang lebih jauh?Â
Apakah aku harus bersikap layaknya orang yang Â
Dan membuang percayaku padanya?Â
Rabbi, apa yang harus aku lakukan?Â
Aku mulai mencintai ciptaan-Mu, Darian..'Â
Hatinya merintih...ragu, perih...Â
Shalat istikharah dipilihnya dalam raguÂ
Dengan tangis bimbang di tiga perempat malamÂ
Ia mengadu pada Tuhannya, Allah Yang EsaÂ
'Rabbi, baru kali ini aku merasakan cinta yang nyataÂ
Dengan tulus tanpa syarat. Tapi apa ini?Â
Aku merasa tak pantas mencintainya.Â
Tapi aku bisa merasa rindu. Padahal hanya sekali bertemuÂ
Salahkan aku? Apa yang harus aku perbuat?Â
Rabbi, tuntun aku.. berikanku petunjuk-Mu..'Â
Belum kering air mata doanya,Â
Sebuah pesan masuk ke ponselnya:Â
'Ada cerita apa tentangmu hari ini?Â
Adakah waktumu menceritakannya padaku?Â
Rabbi, inikah jawaban yang kau tunjukkan padaku?Â
Lala menghembuskan nafas beratnyaÂ
Tapi, ah, rindu itu datang lagi...Â
Kini giliran Darian dihampiri dilemaÂ
Tiba-tiba, ibunya memanggilnyaÂ
dengan cara tak biasa di suatu senjaÂ
'Kamu berteman dekat dengan indunisi[vi], Darian?'
Pertanyaan singkat dengan nada tajam
'Ya' diakuinya apa adanya. Dan ia menahan nafas.
Sejak kecil, ibunya selalu berkata indunisi itu tidak baikÂ
menambah jumlah tenaga kerja setiap tahunnya.Â
Di mata ibunya, Negara Indonesia adalah Negara pembantuÂ
Padahal Darian tahu, Indonesia Negara jutaan intanÂ
Dimana satu diantaranya sedang menungguÂ
dengan cinta, yang persis sama seperti yang dimilikinyaÂ
Lapar Darian hilang, semuanya hambarÂ
Ibunya hendak menjodohkannya secara sepihakÂ
Dengan anak gadis sahabat ibunyaÂ
Dan tentunya berasal dari suku yang sama[vii]
Itu yang terpenting kata ibunya
Ia cinta ibunya, yang melahirkan dan membesarkannya penuh kasihÂ
Begitupun cinta di kedewasaannya pada LalaÂ
Ia tak ingin meluaki kedua wanita yang dicintainyaÂ
Tapi tak terlihat ada jalan tengah diantaranyaÂ
Di hari yang sama, ketika Darian tengah menunggu Lala di dunia mayaÂ
Seorang wanita muncul dan mengaku sebagai sahabat LalaÂ
Atas nama kesopanan, Darian menjadikannya rekanan mayaÂ
Darinya Darian mendapat banyak berita tentang LalaÂ
yang sekaligus mengejutkannyaÂ
Wanita itu membawa cerita latar belakang keluarga LalaÂ
Yang tidak hanya memiliki 1 agama saja, tidak islam sajaÂ
Sayangnya, ia memberikan kesan yang jauh berbeda:Â
Bahwa Lala-lah yang tidak hanya memiliki satu keyakinanÂ
Jadi tak pantas Darian berteman dengannnyaÂ
Dalam keseharian yang dikenal Darian sejak lahirÂ
Perbedaan keyakinan itu tak biasaÂ
Perbedaan seperti itu adalah masalah pelikÂ
Tiba-tba, satu pertanyaan berputar di benaknyaÂ
'Masihkah aku bisa mempercayai apa yang kurasa?'Â
Ia butuh waktu sendiri, tanpa LalaÂ
Tanpa saling menghubungi, tanpa ada canda lagiÂ
Dan berharap semuanya menjadi lebih baik.Â
Lebih 2 bulan sudah Darian tak berkabar dengan LalaÂ
Berkali Lala bertanya 'ada apa', sebanyak itu pula tak ada jawabÂ
'Biarlah, mungkin ini jalan yang ditunjukkan Allah'Â
Katanya menghibur diri saat di dalam kelas kursus bahasa asingÂ
Tanpa Lala sadari, sepasang mata di kelasnyaÂ
Tak pernah lepas memperhatikan tingkahnya, mengaguminyaÂ
Pria berperawakan oriental dengan senyum manisÂ
Dan pekerjaan sebagai dokter muda berkeyakinan KonghucuÂ
Sedang mencari celah untuk mendapatkan hatinyaÂ
Yang menyukai keceriaan si tomboy Lala apa adanyaÂ
Tak lama, ketika cinta Lala semakin teradukÂ
dan menjadi semakin kalut terhadap Darian,Â
Zhang merasa harus mengambil sikapÂ
Ia telah bertekad akan berpindah keyakinan menjadi islamÂ
Dengan alasan diskusi diluar jam kursus,Â
Setelahnya ia mengutarakan rasa pada LalaÂ
Sesaat, lidah Lala kelu, hatinya bimbang, rasanya meraguÂ
Zhang memang pria baik, pun lebih nyata dibanding DarianÂ
Logika Lala berkata Zhang lebih masuk akalÂ
Sayang, hatinya tak berkata demikianÂ
'Jika kau juga sama denganku, aku akan tinggal disini, dihadapmu.Â
Namun jika tidak, aku akan berangkat ke ChinaÂ
Untuk mempelajari pengobatannya'Â
Pilihan itu lebih seperti ancaman bagi LalaÂ
Mengapa hatinya lebih mempercayai Darian yang maya?Â
Daripada Zhang yang nyata, yang jelas datang dengan cinta?Â
Padahal Darian tak lagi berkabar padanyaÂ
Di minggu berikutnya, Zhang telah berada di ChinaÂ
Meninggalkan sepotong cerita tertebas di Indonesia... Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Di suatu Jum'at, nomor tak dikenal memanggil ponsel LalaÂ
Belum selesai ia mengucap salam,Â
Terdengar suara yang sudah amat dikenalnyaÂ
'Maafkan aku, Lala. Aku egois.Â
Hanya mendengar semua dari sebelah pihak.Â
Berkali ku mencoba melupakan dan mengurai bayangmu,Â
Smakin Allah menunjukkanmu padaku.Â
Meski sulit membuatnya masuk akal,Â
Tapi rindu ini terasa nyata..'Â
Namun Darian tahu bahwa itulah jawaban semuaÂ
Bahwa Lala merasa yang sama dengannya.Â
Tanpa rayuan cinta seperti lainnyaÂ
Duh, rindu dahulu kini semakin dalam...Â
Hari merangkak, perbedaan waktu masih mengangaÂ
Namun Lala dan Darian makin saling menerimaÂ
'Walaupun ia datang dengan sebelah kaki,Â
asal dengan hati yang sama, aku menerimanya.'Â
Bayangan terburuk terpikir di benak LalaÂ
Mengingat Darian hidup di perbatasan perangÂ
Meski bergelut dengan cemas dalam diamÂ
Keberanian Darian mengintip dan menguak keputusan,Â
tak bisa hanya diam tanpa sikap lelaki jantanÂ
saat masa depan mulai ditentukan tanpa haknya,Â
ia ingin meretas problema dan menetaskan jalan tengah bagi semuaÂ
Ibunya, dirinya, Lala, dan semua bedaÂ
Pergi dari Negara perbatasan perangÂ
Dengan alasan pekerjaan dirasa menjadi cara ampuhÂ
Dalam niat menghindari perjodohanÂ
Sekaligus jadi bukti kesungguhannya pada LalaÂ
'Aku akan mengajar di Negara Raja Abdullah bin Abdul Aziz.Â
Semoga cepat kau datang ke rumah Allah, Â
Agar dapat kupinangmu di depan Ka'bah, Lala...'Â
Dalam haru, bahagia, dan bersalah tanpa restu ibu.Â
Ternyata dalam cinta, tegar saja tak cukupÂ
Seorang tomboy yang tangguh pun bisa rapuhÂ
Seorang penurut pun bisa melawan arusÂ
Sekalipun tanpa generasi kepastian,Â
Seperti cerita dongeng yang berakhir bahagia selamanya...Â
Tak terasa ratusan hari sudah cerita Lala dan DarianÂ
Yang berwarna dengan cerita sempurna versi anak manusiaÂ
Tawa canda, rindu sendu, semua mengalir silih bergantiÂ
Bait-bait do'a semakin khusyu' diucapkanÂ
Harapan demi kebahagiaan terlontarÂ
Seperti sudah pasti akan dikabulkanÂ
Sepasang cincin berkilau penuh makna danÂ
Telah dipersiapkan darian sebagai seorang calon imamÂ
Restu orang tua Lala pun telah dikantongi keduanyaÂ
Bahagia seperti sudah menantiÂ
Selangkah lagi, semuanya akan sah dalam ijab kabulÂ
Tanpa memperhitungkan peran Yang Kuasa dalam bahagia merekaÂ
Pun restu ibu Darian yang masih menggantung tinggiÂ
Rencana masa depan sering disebut-sebut kedua insanÂ
Sesekali, kata 'kita' menyulut semangat malu-maluÂ
'Semoga ini dapat menjadi nyata' harap mereka berduaÂ
dalam selongsong batas kefanaanÂ
Fajar dan senja masih datang silih bergantiÂ
Pun hari-hari yang berjalan secukupnyaÂ
Tapi cinta terasa tak pernah cukupÂ
Lala dan Darian melangkah semakin jauh dalam cintaÂ
Rindu yang semakin bertambah dari hari ke hariÂ
Membentuk belantara rindu berkurung satu namaÂ
Dan mengunci rapat dari setiap godaan indahÂ
Di kenyataan panggung sandiwaraÂ
Mengalirkan pujian pujangga atas nama cintaÂ
Di dunia mereka, hanya ada keindahan cintaÂ
Kedekatan menjadi hal tak kenal batas dalam jarakÂ
Lagi-lagi, kepercayaan mendalangi semuanyaÂ
Berujung harap 'semoga tak menyentuh hampa'Â
Hingga suatu hari, Darian tak lagi kuasa melawan budayanyaÂ
Hatinya tertekuk luka, tak hanya kaku raganyaÂ
Saat ibunya telah mengatur pernikahanÂ
Dengan ras sesamanya, wanita yang bahkan tak ia kenalÂ
Seketika, kebencian dan amarah yang tak pernah adaÂ
Kini membakar dirinya di tumpukan rinduÂ
Ternyata semuanya menguap dalam doa ibuÂ
Terasa dirinya bagai awan hitamÂ
 Yang enggan hujan, juga tak bisa menjadi cerahÂ
Dipandanginya berkali-kali cincin sederhanaÂ
Berukir nama yang diinginkannya, Lala.Â
Cincin yang dicicilnya secara berkalaÂ
Cincin yang dibelinya sembunyi-sembunyiÂ
Cincin yang merupakan bukti kesungguhannyaÂ
Matanya terasa mulai membasah dan kaburÂ
Air matanya jatuh bersama masa depannyaÂ
Bersama hati bimbang yang berpihak dua: ibu dan cintanyaÂ
Berhari-hari ia berpikir cara menjelaskan pada LalaÂ
Menanti satu harap menjadi nyataÂ
Apa yang harus dikatakannya agar Lala tahuÂ
Pada budaya yang tak mengenal cintaÂ
Seolah makin sadar dengan tajamnya perbedaan,Â
Lala tak lagi 'memaksa' Allah mempersatukannya dengan DarianÂ
Ia minta diberikan yang terbaik, apapun ituÂ
Meski ia tak henti mendoakan DarianÂ
Dan menitipkan percayanya lewat IlahiÂ
Lala tak pernah tau apa yang terjadi di seberang sanaÂ
Hingga suatu hari Darian mengatakan semuanyaÂ
Sekaligus mengambil putusan yang tak pernah terbayangkanÂ
akan ada pada sosok sepertinyaÂ
'Lala, sebentar lagi aku akan dinikahkan dengan wanita Â
Berkali kujelaskan semua tentang kita, tapi beliau acuh.Â
Jika saja kau juga mempertahankan cinta kita, Â
Maka akan kutinggalkan semua.Â
Budayaku, negaraku, juga keluargaku.Â
Bisakah kau jawab aku sekarang, Lala?Â
Apa kau akan mempertahankan kita?'Â
Lala tak dapat langsung menjawab di detik berikutnyaÂ
tak dirasanya darah yang mengalir di tubuhnyaÂ
Terduduk, terdiam, terhempas...Â
Andai Darian tahu kabar ini pun akan berdampak hebat pada hidupnya...Â
Tapi Lala tidak buta hati, tak tuli karena cintaÂ
Ia tahu orang tua adalah prioritas kedua setelah Allah,Â
Dengan logika di atas kecewanya, ia menjawab:Â
'Suatu hari, dengan izin Allah, kelak aku akan menjadi seorang ibu.Â
Dan saat itu, bukan tidak mungkin aku akan diperlakukan Â
seperti sikapmu hari ini oleh anakku. Karena aku percaya karma itu ada.Â
Aku bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan ibumu.Â
Turuti dan bahagiakan beliau, selagi masih ada.Â
Jawaban Lala memecah keputusan DarianÂ
Menjadi jutaan keping tanda tanyaÂ
Rindunya terpantul dalam ruang ketidakpercayaanÂ
Tenggelam sudah harapnya dalam ucap tegas LalaÂ
Lala tahu ia akan kecewa dalam waktu yang lamaÂ
Karena tak mudah baginya membuka hati dengan cepatÂ
Tapi entah mengapa lidahnya tak raguÂ
Saat menjawab pertanyaan DarianÂ
Walau mengalir tanpa terpikir sebelumnya, hatinya tenangÂ
Lebih tenang daripada waktu laluÂ
Ketika bersama Darian yang tanpa restuÂ
Ia yakin dengan apa yang diucapnyaÂ
Cinta pecinta bisa mendapatkan penggantiÂ
Diingatnya kembali doa yang sering disebutnyaÂ
Menginginkan yang terbaik, apapun ituÂ
Bahkan ketika cinta berlalu di hadapannyaÂ
Ia tak segan mengizinkannya pergi tanpa bebanÂ
Dengan cara yang paling diridhoiÂ
Luka hati Lala memang masih basah dan menganga lebarÂ
Namun hatinya tak berhenti bersyukur kepada Sang Pemilik CintaÂ
Di ketebalan laranya yang mulai mengelupasi kepercayaan,Â
Ia mendengar sayup-sayup lantunan Al-Qur'an'Â
'Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah keindahan (segala sesuatu).Â
Dan sesungguhnya Dia-lah yang menjadika orang tertawa dan menangis.'[viii]Â
Dalam perih hati, lirihnya berkata tulus:
 'Inilah jalan yang akan membuat kita lebih bahagia dari apa yang pernah kita rasa, Darian. Inilah bukti bahwa cinta tak selalu bisa kalahkan segala...'Â
Dan airmatanya menetes ikhlas...
Â
End-Note
[i] Praktek poligami, adalah kelanjutan dari bentuk cara pandang yang sebelah mata terhadap kaum perempuan. Mereka yang mengolok-olok ini telah bersikap anakronistis atas sejarah, yakni menilai suatu babak sejarah masa lalu berdasarkan atas acuan kondisi dan norma yang berlaku pada saat ini. Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2011/07/17/olok-olok-tentang-poligami-salah-alamat/
[ii] Sering bangga pada asal usul mereka yang memiliki keturunan para Nabi, sering sombong akan harta benda yang mereka miliki, memamerkan kekayaan kepada semua orang. Sumber: http://agama.kompasiana.com/2010/10/10/orang-arab-sombong/
[iii] Surat Kastem yang terakhir diterimanya sebelum pulang ke Indonesia adalah tentang siksaan majikan yang membuat tubuhnya makin kurus. Sumber: http://berita.liputan6.com/read/307586/tak-sedikit-tki-disiksa-majikanÂ
[iv] Kahlil Gibran, Sayap-sayap patah.
[v] Dua karakter dari mitologi Romawi, dengan kisah cinta tak sampai. Terkenal di Babilonia, seperti Romeo dan Juliet. Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Pyramus_and_Thisbe
[vi] Â
(baca: indunisi) artinya orang Indonesia. KH Adib Basri & KH Munawwir A. Fatah, Kamus Indonesia-Arab Arab-Indonesia, halaman 106.
[vii] Beberapa suku berpopulasi kecil yang termakan oleh paham "esensialisme" ini percaya bahwa orang yang berasal dari sukunya tidak bisa maju karena secara "esensi" sukunya memang inferior dibandingkan suku lain. Seperti Timur Tengah dengan mengatakan bahwa mereka adalah bangsa pilihan Tuhan. Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/21/benarkah-ada-bangsaras-yang-memiliki-derajat-lebih-tinggi/
[viii] Al-Qur'an surat An-Najm ayat 42 & 43
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H