Mohon tunggu...
prabas jihwakir
prabas jihwakir Mohon Tunggu... -

Indonesian Scholar,

Selanjutnya

Tutup

Catatan

True Disappointment

25 Juni 2012   17:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:32 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buat apa juga aku berjemur di bawah mentari musim panas?

‘Kan sudah kubilang padamu, jangan pernah mengingkari janji!

Jangan pernah buat kami kecewa lagi!

Musim panas membakar kulitku yang hitam legam. Aku tidak khawatir sedikitpun kalau jadi lebih hitam lagi. Aku punya tekad, dan selagi ia menyulut-nyulut dalam dada, ia akan menjelma pelita yang akan membimbingku kemanapun. Sayup-sayup mata ini menemani kaki yang mulai gontai. Keringat menetes deras bagai hujan, tidak hanya membasahi tanah yang gersang, namun turut membasahi hatiku yang haus akan ambisi.

Satu meter dari asrama saja sudah macam berdiri di atas kompor, mana kuat aku berlari satu kilometer? Tapi demi sebuah tekad kulawan semua itu. Kubuang jauh-jauh pesimistis yang menakutiku. Aku berangkat, dan aku yakin itu.

Harapan berpendar dalam rongga kepalaku. Mereka akan menemuiku! Begitu saja aku sudah sangat senang, karena hatiku memendam kotak rahasia. Rindu namanya. Aku menyimpannya agar suatu saat rindu akan menjadi manis pada saatnya. Saat aku membayangkan bisa menyapa mereka. Sekedar bertemu itu indah.

Untuk mereka aku relakan diriku dihantam panas. Terik ini mencengkeramku hingga ke tulang belulang. Daging ini rasanya sudah berasap. Keringatku menguap, kepalaku gerah. Rambutku yang tebal ikal menambah siksa siang bolong musim panas ini. Tapi demi mereka, akan kulakukan segalanya! Karena aku tidak mau membuat mereka kecewa!

Akhirnya sampai juga. Namun diriku tak kunjung lega. Rindu ini masih memburuku hingga ke ubun-ubun. Tak kupandang siapa itu yang jaga pintu. Kulabrak saja macam tak punya dosa. Memang aku tak salah apa-apa. Tak tahu kenapa, aku merasa harus tergesa. Aku lega sudah bisa masuk. Perjuangan memang, melawan panas.

Ruangan itu tak luas tapi penuh buku. Kulihat kanan kiri wajah-wajah asing. Mereka memang orang asing, wajah mereka khas nuansa kearab-araban. Aku tak banyak menggubris mereka, masa bodo! Bukan mereka yang kutuju. Bukan dingin udara di ruangan ini juga. Bukan semua itu!

Sepele. Aku datang jauh-jauh terpanggang mentari hanya untuk mengemis sinyal wi-fi dengan kualitas nomor satu. Asrama memblok situs jejaring sosial yang sedang marak. Facebook, Twitter, Skype, dan teman-temannya seperti buronan, tak diijinkan masuk kawasan itu. Itu aku akhirnya sampai. Sampai di Central Library, pas jadwalnya perempuan. Aku masuk lewat reserve room, dengan sangat terpaksa dan apa adanya. Aku lakukan semua ini karena aku tak mau mengecewakan orang lain!

Satu menit. Terasa lama sekali. Aku menghentak-hentakkan kaki yang serasa ingin dibegitukan. Aku begitu menyayangi mereka seperti adik-adikku sendiri. Tak mau aku biarkan ego menghapus persahabatan dan kasih sayang, meski banyak orang bilang itu sampah! Aku menghargainya karena aku punya hati. Aku punya cinta dan kasih. Dan aku punya orang-orang yang pantas untuk mendapatkannya dariku. Mereka, orang-orang yang sangat aku sayangi. Untuk merekalah, aku berjuang.

Penantian sudah berminggu-minggu. Kegagalan ini sudah dari dulu, dan aku ingin mengobatinya. Meski aku tidak salah. Aku hanya berharap mereka sudah berubah, dan dengan begitu akan senang. Dengan begitu aku bisa mengobati luka masa lalu. Dengannya aku bisa kembali bahagia, lantas melukis senyum bersama. Melukis masa depan!

Lima menit serasa sejam. Waktu ini berjalan lambat. Seperti orang melambatkan gerigi jarum menit dan jam di hatiku. Apa yang musti kulakukan? Aku benar-benar tak sabar menunggu. Tuhan tolonglah aku!

Lewat chat box ia menyapaku. Ia yang kuharap bisa lebih baik kali ini. Ia yang kuharap mau mengerti. Tapi itu harapanku, mungkin tidak bagi mereka. Mungkin bagi mereka, ego masih terlalu kuat. Aku bisa membaca meski tak melihat. Terlalu jelas untuk mengetahui-nya.

Jam 2. Dia bilang jam dua.

Sekarang baru 12:50.

70 menit yang akan sangat lama.

Dengan sabar aku menunggu mereka.

Tekadku bulat! Janganlah kau larang aku!

Jam 13:45 aku ingatkan dia lewat chat box. Lama tidak ada balasan. Kuraih buku yang sedari tadi kubaca tapi tidak kupahami. Pikiranku abstrak. Hanya satu yang jelas, rinduku pada mereka. Satu pesan melayang di layar komputer. Kuharap kabar baik. Meski ini awal semua bermula. Percikan api ini mulai membakar kayu kering. Bencana akan datang!

Nabila tidak bisa datang. Mamanya melarangnya pergi.

Jawaban pahit ini yang aku dapatkan. Semangatku tinggal separuh.

Kepalaku tertunduk. Nafasku kuhela panjang supaya emosiku tidak meletup. Berusaha kutahan meski sulit, meski aku tersakit-sakit di dalam. Jika teriak di sini, aku bisa dibom, dikeroyok, dihantam habis. Tapi dalam hati, aku simpan derita yang lebih pedih. Derita yang orang lain tak bisa tahu. Ini tentang mereka dan diriku.

Tapi bukankah ia bisa menelepon? Perangkat jaman sekarang memudahkan komunikasi. Ada aplikasi google+ untuk chat dan video chat.  Aku mengajaknya membuka google+, berharap ia masih bisa mengalahkan ego dan rasa malunya.

Kami sudah janji sebelumnya. Aku bilang mau interview. Itu memang kenyataan. Meski di balik tugas itu, aku juga menyimpan harapan tersendiri. Profesionalisme tetap harus kujaga. Kulakukan yang terbaik untuk profesiku, pekerjaanku, uangku. Karena memang aku juga butuh uang. Namun kalau sekedar uang mah, itu hanya remeh temeh sampah jika dibandingkan dengan penawar rindu. Aku sudah lelah berjuang dan menunggu untuk saat ini.

Ia enggan.

Dan itu membuatku muak.

Dan jika aku muak, aku menggila.

Wajahku tenang meski hatiku bergejolak hebat.

Letupan emosiku menjadi-jadi, membuat dinding hatiku semakin sakit.

Ia sudah ingkar.

Ia khianat.

Munafiq!!!

Sudah kali kedua, dan ia tetap membuatku kecewa? Persetan! Hatiku mengumpat-umpat. Setan mulai tertawa melihatku. Ia terpingkal-pingkal merasa berhasil, dan aku tengah berada di sana seperti orang keracunan menunggu maut. Mereka menusukkan tombak berlumur racun ke dadaku. Rasanya sesak dan pedih, mereka sudah khianat. Astaghfiru l-Laah.

Aku lemas, namun emosiku makin gila. Aku maki ia dengan kata-kataku selagi bisa. Biar semuanya tuntas. Biar ia tahu emosiku, biar ia tahu bahwa janji harus ditepati. Biar ia tahu, bagaimana sakitnya dikhianati! Aku kecewa, betul-betul kecewa!

Pura-pura memohon. Aku coba menguji, apakah egonya masih segitu besar? Ternyata IYA! Aku hampir lepas kontrol! Kuhantamkan bogemku tepat di atas meja. Orang-orang terdiam, semua melihat ke arahku. Aku yang berusaha menutupi muka tidak hanya karena malu, tapi juga lesu melihat apa yang telah diperbuat muridku.

Aku terus mengumpat dalam hati, sesekali beristighfar. Hatiku mendadak panas dingin. Setan semakin gila tertawa melihatku tersiksa. Muridku justru menambah sesak. Ia kembali enggan. Kuhantam dia dengan makian dan singgunganku. Ia tersadar, berkata bersedia. Tapi itu hanya rayuan kosong! Astaghfiru l-Laah!!

Ia menipuku!!!

Ya, ia telah menipuku!!!

Ia telah belajar begitu banyak cara …

Ya .. belajar menipu

… belajar ingkar janji, khianat

Belajar munafiq!!! Na’udzu bi l-Llaah!!!

Ia tetap memohon. Namun, aku berkata “tidak”. Aku tidak mau lebih sakit lagi. Ia meminta kesempatan terakhir. Itu sudah banyak kesempatan yang kuberi! Tadi sudah coba kumaafkan, namun ia keterlaluan!!! Ia meminta memahami, tapi ia sudah kelewat batas!!! Aku sudah tidak bisa toleransi masalah ini!!! Hatiku kelewat sakit, tertusuk, tersayat, terbelah, hancur!!!

Masih, ia tetap memohon.

Ia, yang seharusnya menjadi kepercayaanku nomor satu.

Ia, yang seharusnya bisa membahagiakanku.

Ia, yang seharusnya bisa kubanggakan.

Ia, yang seharusnya dan hanya seharusnya

Nyatanya tidak!!!

Kepercayaan ini luntur. Hanya karena masalah remeh-temeh. Memang remeh, kecil. Tapi tahukan? Gara-gara satu paku kuda gagal berlari, seorang pengantar surat gagal berangkat dengannya. Padahal  yang dibawa adalah berita serangan perang. Gara-gara satu paku satu negara hancur! Jangan remehkan yang kecil!

“Butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan

Tapi hanya dalam hitungan detik untuk merobohkannya!”

This is my last words, Afifah

Sudah, tidak usah memohon lagi

Aku tahu kamu sudah terlampau keras berusaha untuk menyakiti dan mengecewakan hatiku!

Maka selamat, kamu telah berhasil!

Kamu juga beruntung bisa punya guru yang lebih baik!

Guru yang mengajarkan kamu untuk berkhianat, mengecewakan orang lain!

Kerja yang bagus, nak!

Now, Enjoy Your Success!!!

Aku pergi. Meninggalkan pedihku. Menguburkannya di situ. Aku kembali kepada terik mentari. Ini tidak lebih panas daripada khianatnya tadi!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun