Mohon tunggu...
POSKO LEGNAS
POSKO LEGNAS Mohon Tunggu... Lainnya - Hukum dan Keadilan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hukum dan Keadilan Masyarakat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Analisis Kebijakan PHK bagi Para Pekerja pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia

20 Mei 2020   20:39 Diperbarui: 20 Mei 2020   20:38 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun memang ada beberapa istilah-istilah yang dalam KUH Perdata yang mengatur tentang ganti rugi, resiko untuk kontrak sepihak kemudian diambil untuk istilah force majeure (Suadi). 

Dengan adanya force majeure tidak serta merta dapat dijadikan alasan perusahaan untuk berlindung dari alasan keadaan memaksa karena hanya ingin lari dari tanggung jawabnya, maka harus ada beberapa syarat supaya tidak terjadi hal demikian.

Menurut R Subekti, suarat suatu keadaan dikatan force majeure yaitu; keadaan itu sendiri di luar kekuasaan perusahaan dan memaksa, dan keadaan tersebut harus keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian ini dibuat, setidaknya resikonya tidak dipikul oleh para pekerja yang di PHK. Dengan adanya beberapa syarat, maka seseorang tidak dapat semaunya sendiri mengatakan dirinya mengalami force majeure. 

Dalam  Pasal 47 ayat (1) huruf j UU 2/2017 tentang Jasa Konstruksi menjelaskan terkait force majeure. Menurut ketentuan pasal tersebut, maka force majeure dapat diartikan sebagai kejadian yang timbul diluar kemauan dan kemmapuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Keadaan memaksa tersebut meliputi:

  • Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya.
  • Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (relaitf) yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan melaksanakan hak dan kewajibannya.

Dalam hal wabah covid-19 ini, bisa dikatakan sebagai suatu peristiwa yang tidak terduga pada saat perjanjian atau kebijakan itu dibuat. Artinya jika ada perjanjian  yang dibuat pada saat wabah sedang menjalar dan menjangkit pemutusan hubungan kerja tidak dapat dijadikan alasan sebagai force majeure. 

Dengan demikian, maka perlu adanya perlindungan terhadap tenaga kerha untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dengan tetap mementingkan perkembangan kepentingan perusahaan (Adisu & Jehani, 2007).

Berdasarkan uraian diatas, kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam masa pandemi covid-19 yang dijadikan alibi oleh beberapa perusahaan dirasa tidak logis, karena beberapa perusahaan berdalih dengan force majeure. 

Dimana alasan tersebut tidak bisa dikategorikan dengan wabah yang sedang merbak di Indonesia, covid-19, dan wabah tersebut juga tidak dikategorikan dengan Bencana Nasional. 

Dengan mengacu pada Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kerugian yang diakibatkan oleh perusahaan belum mencapai 2tahun maka perusahaan tidak bisa memutus hubungan kerja begitu saja. 

Maka perlu adanya upaya lain yang diberikan oleh perusahaan atau pemerintah dalam menanggulangi dampak covid-19 kepada para pekerja yang di PHK agar dapat membatasi waktu kerja/lembur dan para pekerja bisa dirumahkan dengan tidak memutus hubungan kerja. 

Dengan hal tersebut dapat membantu pemerintah untuk mengurangi  angka pengangguran dan dapat membantu pemerintah menumbuhkan perekonomian dikala pandemi covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun