Mohon tunggu...
POSKO LEGNAS
POSKO LEGNAS Mohon Tunggu... Lainnya - Hukum dan Keadilan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hukum dan Keadilan Masyarakat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Analisis Kebijakan PHK bagi Para Pekerja pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia

20 Mei 2020   20:39 Diperbarui: 20 Mei 2020   20:38 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari faktor tersebut, maka dapat memungkinkan adanya perselisihan antara pekerja dan pengusaha dalam hal Pemutusan Hubungan  Kerja (PHK) ditambah dengan adanya pandemi covid-19 yang telah menyebar keseluruh dunia termasuk Indonesia. 

Sehingga, beberapa perusahaan mengeluarkan kebijakan untuk memutus hubungan kerja dengan beberapa pekerja yang dirasa mengakibatkan menambah kerugian perusahaan. Berdasarkan data yang dilansir dari Kementrian Ketenagakerjaan, terdapat 2,8 juta pekerja yang terkena dampak langsung akibat covid-19. 

Mereka terdiri dari 1,7 juta pekerja formal dirumahkan dan 749,4 ribu di-PHK (Ketenagakerjaan). Namun naasnya perusahaan yang memutus hubungan bekerja berdalih dengan alasan "force majeure". 

Alasan tersebut, menjadi perdebatan dikalangan para pekerja maupun ahli yang mempermasalahkan alasan force majeure bisa diterima atau tidak  dalam memutus hubungan kerja dimasa pandemi covid-19.

Analisa force majeure dalam Kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja dimasa pandemi covid-19 di Indonesia

Merujuk Pasal 164 Ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan, pengusaha dapat melakukan PHK pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa atau force majeure. 

Kemudian Pasal 164 Ayat (3) UU 13/2003 menambahkan pengusaha juga dapat melakukan PHK pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena kerugian 2 tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa atau force majeur tetapi disebabkan efesiensi. Para pekerja/buruh pun saat di PHK mendapatkan uang pesangon satu kali.

Menteri Ketenagakerjaan, dalam pernyataannya terkait force majeure yang berkonsekuensi kepada para pekerja dengan memutus hubungan kerja tidak mendukung alasan-alasan perusahaan tersebut, beliau menghimbau bahwa perusahaan seharusnya membuat langkah yang bisa ditempuh seperti; mengurangi upah dan fasilitas majaner serta direktur, mengurangi shift kerja, membatasi kerja lembur atau merumahkan buruh untuk sementara waktu. 

Namun beberapa perusahaan yang sudah menegluarkan kebijakan untuk memutus hubungan kerja tetap berdalih mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar pesangon atau upah para pekerja. 

Hal tersebut menyalahi Peraturan ketenagakerjaan yang menyakan bahwa perusaahn boleh tutup jika sudah mencapai kerugian selama 2th. Sedangkan covid-19 ini belum mencapai atau memasuki setengah tahun. Alasan force majeure yang dipakai oleh beberapa perusahaan tidak dapat diterima oleh beberapa kalangan.

Menurut Subekti, force majeure adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Kemudian, dalam KUH Perdata tidak ditemukan istilah force majeure dengan tidak menjelaskan keadaan memaksa yang seperti apa yang dapat menjelaskan istilah force majeure. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun