Namun memang ada beberapa istilah-istilah yang dalam KUH Perdata yang mengatur tentang ganti rugi, resiko untuk kontrak sepihak kemudian diambil untuk istilah force majeure (Suadi).Â
Dengan adanya force majeure tidak serta merta dapat dijadikan alasan perusahaan untuk berlindung dari alasan keadaan memaksa karena hanya ingin lari dari tanggung jawabnya, maka harus ada beberapa syarat supaya tidak terjadi hal demikian.
Menurut R Subekti, suarat suatu keadaan dikatan force majeure yaitu; keadaan itu sendiri di luar kekuasaan perusahaan dan memaksa, dan keadaan tersebut harus keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian ini dibuat, setidaknya resikonya tidak dipikul oleh para pekerja yang di PHK. Dengan adanya beberapa syarat, maka seseorang tidak dapat semaunya sendiri mengatakan dirinya mengalami force majeure.Â
Dalam Pasal 47 ayat (1) huruf j UU 2/2017 tentang Jasa Konstruksi menjelaskan terkait force majeure. Menurut ketentuan pasal tersebut, maka force majeure dapat diartikan sebagai kejadian yang timbul diluar kemauan dan kemmapuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Keadaan memaksa tersebut meliputi:
- Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya.
- Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (relaitf) yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan melaksanakan hak dan kewajibannya.
Dalam hal wabah covid-19 ini, bisa dikatakan sebagai suatu peristiwa yang tidak terduga pada saat perjanjian atau kebijakan itu dibuat. Artinya jika ada perjanjian  yang dibuat pada saat wabah sedang menjalar dan menjangkit pemutusan hubungan kerja tidak dapat dijadikan alasan sebagai force majeure.Â
Dengan demikian, maka perlu adanya perlindungan terhadap tenaga kerha untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dengan tetap mementingkan perkembangan kepentingan perusahaan (Adisu & Jehani, 2007).
Berdasarkan uraian diatas, kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam masa pandemi covid-19 yang dijadikan alibi oleh beberapa perusahaan dirasa tidak logis, karena beberapa perusahaan berdalih dengan force majeure.Â
Dimana alasan tersebut tidak bisa dikategorikan dengan wabah yang sedang merbak di Indonesia, covid-19, dan wabah tersebut juga tidak dikategorikan dengan Bencana Nasional.Â
Dengan mengacu pada Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kerugian yang diakibatkan oleh perusahaan belum mencapai 2tahun maka perusahaan tidak bisa memutus hubungan kerja begitu saja.Â
Maka perlu adanya upaya lain yang diberikan oleh perusahaan atau pemerintah dalam menanggulangi dampak covid-19 kepada para pekerja yang di PHK agar dapat membatasi waktu kerja/lembur dan para pekerja bisa dirumahkan dengan tidak memutus hubungan kerja.Â
Dengan hal tersebut dapat membantu pemerintah untuk mengurangi  angka pengangguran dan dapat membantu pemerintah menumbuhkan perekonomian dikala pandemi covid-19.