Mohon tunggu...
POSKO LEGNAS
POSKO LEGNAS Mohon Tunggu... Lainnya - Hukum dan Keadilan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hukum dan Keadilan Masyarakat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Analisis Kebijakan PHK bagi Para Pekerja pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia

20 Mei 2020   20:39 Diperbarui: 20 Mei 2020   20:38 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imas Novita (Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Jakarta) dokpri

Dunia sedang menghadapi permasalahan yang sangat krusial dengan kehadiran covid-19 yang telah menyebarluas keseluruh dunia termasuk Indonesia. 

Dilematis berbagai negara dalam menanggulangi covid-19 membuat pemerintahan bahkan masyarakat merasakan keresahan dan kerugian yang berdampak pada kesehatan maupun perekonomian. 

Sehingga, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang diatur dalam PP No. 21 Tahun 2020 tentang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dengan tujuan untuk memutus rantai penyebaran covid-19. 

Kebijakan tersebut, membuat beberapa perusahaan mengambil langkah untuk mengurangi kerugian akibat covid-19. Salah satu langkah yang diambil oleh beberapa perusahaan di Indonesia yaitu harus melakuakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada para karyawan yang bekerja diperusahaan tersebut. 

Hal ini sejalan dengan Pasal 164 dan 165 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kurang lebih frasanya menyatakan bahwa suatu perusahaan berhak memutus hubungan kerja terhadap pekerja apabila suatu perusahaan mengalami kerugian.

Namun pada umunya, beberapa perusahaan yang memutus hubungan kerja dimasa pandemi covid-19 ini seringkali menggunakan alasan force majeure, padahal perusahaan tersebut masih berproduksi seperti biasanya. 

Hal penting yang menjadi syarat pemutusan hubungan kerja perusahaan kepada para pekerja yaitu, perusahaan terbilang mengalami penurunan atau kerugian selama 2 tahun. 

Sedangkan pandemi covid-19 saat ini belum mencapai atau terbilang 2tahun. Kejelasan force majeure yang masih menjadi pertanyaan memasuki klasifikasi dalam bencana alam atau tidak perlu diperhatikan.

Karena alasan force majeure yang dipakai perusahaan untuk memutus hubungan kerja tidak dapat dibenarkan. Melihat gangguan ekonomi yang massif diakibatkan oleh covid-19 telah mempengaruhi banyak para pekerja yang kehilangan pekerjaannya harus mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum yang jelas.

Oleh karena itu, ketidak jelasan terkait Pemutusan Hubungan Kerja oleh perusahaan dimasa pandemic covid-19 menjadi titik fokus penulis untuk membahas dan menganalisa lebih kompherensif terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun perusahaan untuk para pekerja. 

Maka perlu adanya perlindungan hukum bagi para pekerja dan perlu adanay kebijakan pemerintah untuk menentukan apakah covid-19 ini termasuk kedalam  force majeure bencana alam atau tidak.

PHK para pekerja dalam masa pandemi covid-19 

Ritme kehidupan manusia berkembang mengikuti tuntutan suatu zaman, dan manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang memiliki tenaga yang dapat menggerakan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan. 

Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia perlu melakukan kerja sama yang menghasilkan suatu perjanjian dengan manusia lainya untuk saling menguntungkan. 

Hal ini sejalan dengan Perjanjian Kerja menurut Pasal 1601 KUH Perdata ialah persetujuan bahwa pihak kesatu yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain yaitu majikan, dengan upah selama waktu tertentu  (Wardani & Widhiandono, 2017). 

Pada umumnya, setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya di satu pihak memiliki hak, sedang di pihak lain memiliki kewajiban. 

Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknyatidak ada kewajiban tanpa hak. Karena hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum, dan kewajiban merupakan norma hukum positif yang memerintahkan perilaku individu dengan menetapkan sanksi (Mertokusumo, 2005).

Dalam hukum ketenagakerjaan, perusahaan dan para pekerja memiliki hak dan kewajiban yang harus diberikan dan dilindungi. Suatu perusahaan memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk menjamin kesehatan, kesemalatan, upah dan perlakuan yang adil terhadap para pekerja. Karena para pekerja/buruh merupakan salah satu asset terpenting dalam pengaruh kesuksesaan suatu perusahaan. 

Dengan pernyataan tersebut sudah menjadi konsekuensi logis bahwa suatu perusahaan harus melindungi dan menjamin kebutuhan para pekerja/buruh sesuai dengan amanah konstitusi Pasal 27 ayat 2 UUD NRI 1945 menyatakan "tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak" dengan memperhatikan Hak Asasi Manusia yang digaung-gaungkan oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Dalam dinamika ketenagakerjaan di Indonesia, hubungan kerja tidak serta merta berjalan dengan optimal atau dapat dikatakan mengalami permasalahan yang bisa disebabkan oleh si pekerja atau pun perusahaan. 

Diantara pekerja yang merasa dirugikan dengan kebijakan dari perusahaan, maupun perusahaan yang merasa dirugikan dengan kelalaian para pekerja. 

Dari faktor tersebut, maka dapat memungkinkan adanya perselisihan antara pekerja dan pengusaha dalam hal Pemutusan Hubungan  Kerja (PHK) ditambah dengan adanya pandemi covid-19 yang telah menyebar keseluruh dunia termasuk Indonesia. 

Sehingga, beberapa perusahaan mengeluarkan kebijakan untuk memutus hubungan kerja dengan beberapa pekerja yang dirasa mengakibatkan menambah kerugian perusahaan. Berdasarkan data yang dilansir dari Kementrian Ketenagakerjaan, terdapat 2,8 juta pekerja yang terkena dampak langsung akibat covid-19. 

Mereka terdiri dari 1,7 juta pekerja formal dirumahkan dan 749,4 ribu di-PHK (Ketenagakerjaan). Namun naasnya perusahaan yang memutus hubungan bekerja berdalih dengan alasan "force majeure". 

Alasan tersebut, menjadi perdebatan dikalangan para pekerja maupun ahli yang mempermasalahkan alasan force majeure bisa diterima atau tidak  dalam memutus hubungan kerja dimasa pandemi covid-19.

Analisa force majeure dalam Kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja dimasa pandemi covid-19 di Indonesia

Merujuk Pasal 164 Ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan, pengusaha dapat melakukan PHK pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa atau force majeure. 

Kemudian Pasal 164 Ayat (3) UU 13/2003 menambahkan pengusaha juga dapat melakukan PHK pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena kerugian 2 tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa atau force majeur tetapi disebabkan efesiensi. Para pekerja/buruh pun saat di PHK mendapatkan uang pesangon satu kali.

Menteri Ketenagakerjaan, dalam pernyataannya terkait force majeure yang berkonsekuensi kepada para pekerja dengan memutus hubungan kerja tidak mendukung alasan-alasan perusahaan tersebut, beliau menghimbau bahwa perusahaan seharusnya membuat langkah yang bisa ditempuh seperti; mengurangi upah dan fasilitas majaner serta direktur, mengurangi shift kerja, membatasi kerja lembur atau merumahkan buruh untuk sementara waktu. 

Namun beberapa perusahaan yang sudah menegluarkan kebijakan untuk memutus hubungan kerja tetap berdalih mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar pesangon atau upah para pekerja. 

Hal tersebut menyalahi Peraturan ketenagakerjaan yang menyakan bahwa perusaahn boleh tutup jika sudah mencapai kerugian selama 2th. Sedangkan covid-19 ini belum mencapai atau memasuki setengah tahun. Alasan force majeure yang dipakai oleh beberapa perusahaan tidak dapat diterima oleh beberapa kalangan.

Menurut Subekti, force majeure adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Kemudian, dalam KUH Perdata tidak ditemukan istilah force majeure dengan tidak menjelaskan keadaan memaksa yang seperti apa yang dapat menjelaskan istilah force majeure. 

Namun memang ada beberapa istilah-istilah yang dalam KUH Perdata yang mengatur tentang ganti rugi, resiko untuk kontrak sepihak kemudian diambil untuk istilah force majeure (Suadi). 

Dengan adanya force majeure tidak serta merta dapat dijadikan alasan perusahaan untuk berlindung dari alasan keadaan memaksa karena hanya ingin lari dari tanggung jawabnya, maka harus ada beberapa syarat supaya tidak terjadi hal demikian.

Menurut R Subekti, suarat suatu keadaan dikatan force majeure yaitu; keadaan itu sendiri di luar kekuasaan perusahaan dan memaksa, dan keadaan tersebut harus keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian ini dibuat, setidaknya resikonya tidak dipikul oleh para pekerja yang di PHK. Dengan adanya beberapa syarat, maka seseorang tidak dapat semaunya sendiri mengatakan dirinya mengalami force majeure. 

Dalam  Pasal 47 ayat (1) huruf j UU 2/2017 tentang Jasa Konstruksi menjelaskan terkait force majeure. Menurut ketentuan pasal tersebut, maka force majeure dapat diartikan sebagai kejadian yang timbul diluar kemauan dan kemmapuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Keadaan memaksa tersebut meliputi:

  • Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya.
  • Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (relaitf) yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan melaksanakan hak dan kewajibannya.

Dalam hal wabah covid-19 ini, bisa dikatakan sebagai suatu peristiwa yang tidak terduga pada saat perjanjian atau kebijakan itu dibuat. Artinya jika ada perjanjian  yang dibuat pada saat wabah sedang menjalar dan menjangkit pemutusan hubungan kerja tidak dapat dijadikan alasan sebagai force majeure. 

Dengan demikian, maka perlu adanya perlindungan terhadap tenaga kerha untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dengan tetap mementingkan perkembangan kepentingan perusahaan (Adisu & Jehani, 2007).

Berdasarkan uraian diatas, kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam masa pandemi covid-19 yang dijadikan alibi oleh beberapa perusahaan dirasa tidak logis, karena beberapa perusahaan berdalih dengan force majeure. 

Dimana alasan tersebut tidak bisa dikategorikan dengan wabah yang sedang merbak di Indonesia, covid-19, dan wabah tersebut juga tidak dikategorikan dengan Bencana Nasional. 

Dengan mengacu pada Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kerugian yang diakibatkan oleh perusahaan belum mencapai 2tahun maka perusahaan tidak bisa memutus hubungan kerja begitu saja. 

Maka perlu adanya upaya lain yang diberikan oleh perusahaan atau pemerintah dalam menanggulangi dampak covid-19 kepada para pekerja yang di PHK agar dapat membatasi waktu kerja/lembur dan para pekerja bisa dirumahkan dengan tidak memutus hubungan kerja. 

Dengan hal tersebut dapat membantu pemerintah untuk mengurangi  angka pengangguran dan dapat membantu pemerintah menumbuhkan perekonomian dikala pandemi covid-19.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun