"Eit tahan dulu, jangan protes dulu, biar aku selesaikan pejelasanku, dengarkan aku dulu," kata Ayah memohon. "Bu Sari sudah berniat pindah, kita bisa menempati rumahnya. Dan Pak Saman berkata kepadaku bahwa tokonya membutuhkan wanita cerdas seperti kamu untuk mencatat transaksi di buku. "
"Itupun hanya untuk satu sampai dua tahun, setelah itu kita pindah kembali ke sini, melunasi semua hutang kita dan siap untuk memulai dari awal lagi."
Ayah berhenti bicara dan duduk bersandar di kursi. Bunda juga duduk sambil melihat kepada Ayah tetapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Wira menunggu sambil menahan nafas, takut mengusik mereka. Ia tak bisa membayangkan jika harus meninggalkan rumah dan tanah pertanian.Â
Semua yang mereka kerjakan, semua alasan tinggal dan hidup di sini adalah untuk itu.
Akhirnya Bunda menarik nafas dalam-dalam, meletakkan serbetnya di atas meja, dan melipatnya dengan rapi.
"Aku kira kamu benar," ujar Bunda. " Sebenarnya aku tidak senang tinggal di kota, di sana terlalu hiruk pikuk, lagipula semua yang kita inginkan dan miliki ada di sini, ladang pertanian ini, tetapi," Ia menghela nafas lagi. " Ya aku pikir kita harus."
" Tempat itu tidak jauh," kata Ayah. "Tempatnya di pinggir kota. Kita bisa ke sini setiap hari, untuk merawat tempat ini, Aji adikku dan istrinya bisa membantu memelihara sapi-sapi dan membajak dan menanam. Kita bisa membawa ayam-ayam bersama kita. Rumah itu punya halaman belakang, cukup lapang untuk memelihara ayam."
Bunda melihat sekeliling dapur, tempat mereka makan dari tanaman yang mereka tanam mereka sendiri, dari ladang pertanian mereka sendiri.Â
Terbayang dalam pikirannya betapa beratnya mereka bekerja mengolah tanah pertanian itu. Ia ingat semua susah payah dulu sewaktu membuka lahan pertanian di tanah yang berbatu, akar pohon-pohon besar, lumpur, banjir, kemarau, kebakaran. Ia tak sanggup membayangkan kehidupan yang berbeda dari kehidupan yang mereka alami selama ini, di sini. Gagasan untuk meninggalkannya, bahkan untuk beberapa lama saja sudah terlalu berat baginya untuk ditanggung.
"Jangan sedih Wira," kata bunda. "Ayah memang benar, ini untuk kebaikan kita. Kamu nanti akan terbiasa."
Wira teringat Ara. Selama ini mereka selalu bersama menjelajahi  setiap jengkal tanah perbukitan, bermain-main di sungai, menangkap ikan, mencari sarang lebah madu. Sedih dia membayangkan kehilangan kesenangan itu semua.