Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya Ini Jalannya

17 Januari 2021   12:28 Diperbarui: 17 Januari 2021   12:47 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Eit tahan dulu, jangan protes dulu, biar aku selesaikan pejelasanku, dengarkan aku dulu," kata Ayah memohon. "Bu Sari sudah berniat pindah, kita bisa menempati rumahnya. Dan Pak Saman berkata kepadaku bahwa tokonya membutuhkan wanita cerdas seperti kamu untuk mencatat transaksi di buku. "

"Itupun hanya untuk satu sampai dua tahun, setelah itu kita pindah kembali ke sini, melunasi semua hutang kita dan siap untuk memulai dari awal lagi."

Ayah berhenti bicara dan duduk bersandar di kursi. Bunda juga duduk sambil melihat kepada Ayah tetapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Wira menunggu sambil menahan nafas, takut mengusik mereka. Ia tak bisa membayangkan jika harus meninggalkan rumah dan tanah pertanian. 

Semua yang mereka kerjakan, semua alasan tinggal dan hidup di sini adalah untuk itu.

Akhirnya Bunda menarik nafas dalam-dalam, meletakkan serbetnya di atas meja, dan melipatnya dengan rapi.

"Aku kira kamu benar," ujar Bunda. " Sebenarnya aku tidak senang tinggal di kota, di sana terlalu hiruk pikuk, lagipula semua yang kita inginkan dan miliki ada di sini, ladang pertanian ini, tetapi," Ia menghela nafas lagi. " Ya aku pikir kita harus."

" Tempat itu tidak jauh," kata Ayah. "Tempatnya di pinggir kota. Kita bisa ke sini setiap hari, untuk merawat tempat ini, Aji adikku dan istrinya bisa membantu memelihara sapi-sapi dan membajak dan menanam. Kita bisa membawa ayam-ayam bersama kita. Rumah itu punya halaman belakang, cukup lapang untuk memelihara ayam."

Bunda melihat sekeliling dapur, tempat mereka makan dari tanaman yang mereka tanam mereka sendiri, dari ladang pertanian mereka sendiri. 

Terbayang dalam pikirannya betapa beratnya mereka bekerja mengolah tanah pertanian itu. Ia ingat semua susah payah dulu sewaktu membuka lahan pertanian di tanah yang berbatu, akar pohon-pohon besar, lumpur, banjir, kemarau, kebakaran. Ia tak sanggup membayangkan kehidupan yang berbeda dari kehidupan yang mereka alami selama ini, di sini. Gagasan untuk meninggalkannya, bahkan untuk beberapa lama saja sudah terlalu berat baginya untuk ditanggung.

"Jangan sedih Wira," kata bunda. "Ayah memang benar, ini untuk kebaikan kita. Kamu nanti akan terbiasa."

Wira teringat Ara. Selama ini mereka selalu bersama menjelajahi  setiap jengkal tanah perbukitan, bermain-main di sungai, menangkap ikan, mencari sarang lebah madu. Sedih dia membayangkan kehilangan kesenangan itu semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun