Ajaibnya diantara abu ada daun-daun hijau kecil dan kuat menjulur di sana-sini, alam tanpa disangka-sangka memberikan kehidupan baru di tengah semua kematian itu.
Dalam hitungan minggu, seluruh lahan yang terbakar itu  telah menghijau lagi dengan tumbuhnya tunas-tunas muda. Musim kering sepertinya sudah sampai di penghujungnya, awal musim hujan pun tiba. Badai dan kilat menyambar-nyambar setiap beberapa hari dan membasahi tanah yang cukup untuk  menumbuhkan tanaman. Lumut dan rumput baru bertunas di mana-mana. Namun saat mendekati musim panen, tanaman itu tumbuh tak terlalu bagus dan kecil kurus.
Suatu malam saat makan malam, Ayah mengatakan bahwa mereka harus mulai memikirkan apa yang harus dikerjakan.
"Tidak ada hasil panen yang dapat dibagikan kepada keluarga Pak Dasa," kata Ayah. "Karena kita sendiri tidak cukup untuk punya persediaan untuk beberapa bulan dan membayar pinjaman kita pada Pak Bari."
"Apa yang dapat kita lakukan?" tanya Bunda. "Kita bisa saja menjual sapi, tapi itu akan menghilangkan pemasukan dari menjual susu."
"Tidak juga cukup untuk menutup sementara waktu," kata Ayah. "Aku mendengar kalau di kota jawatan kereta api membutuhkan orang untuk mengantar kiriman, dan bisa juga aku bekerja di tokonya Pak Saman."
"Tapi aku tidak suka kalau Ayah bekerja untuk orang lain," protes Bunda.
"Bagaimana seandainya kita berdua mendapat pekerjaan di kota, kita bisa mempunyai dua pendapatan sekaligus?"
"Tetapi siapa yang akan memelihara sapi-sapi dan ladang kita?" tanya Bunda sambil memelintir serbetnya.
"Kita dapat pindah ke kota, dan adikku bisa menempati rumah dan mengurus ternak dan ladang kita."
Bunda terperangah. Ia menaruh piring-piring yang sedang dibawanya ke atas meja. Mulut Bunda terbuka lebar."