Â
Berbarengan dengan panen yang tidak mencukupi, mereka mulai mengemas barang-barang dari rumah. Bunda dan Wira memgambil semua pakaian dan memasukkannya ke dalam salah satu kopor.
Lalu, pada suatu hari setelah makan pagi, Aji datang membantu Ayah mengangkut muatan perabotan rumah tangga ke rumah barunya di kota. Daun-daun berwarna kuning kecoklatan dari pohon-pohon sepanjang jalan berjatuhan, lalu terbang dibawa angin dengan suara gemerisik. Semua barang milik mereka yang ditinggal di tumpuk di atas bale-bale.
Rumah kecil itu kelihatan kosong dan lengang di dalamnya. Hatinya teriris-iris, ada rasa senang hendak pindah, tetapi pada saat yang sama ia juga sedih meninggalkannya.
Ayah kembali, dan mereka memasukkan kopor-kopor itu, piring, gelas, dan akhirnya jam dinding itu. Untuk pertama kalinya kami memperhatikan detik-detiknya.
Wira naik ke truk kecil dan duduk di antara Ayah dan Bundanya. Aji dan istrinya berdiri di halaman untuk meyaksikan keberangkatan mereka.
"Jangan khawatir ," Kata Aji. "Kami akan merawat tempat ini seperti kami merawat milik kami sendiri.
Wira menghela nafas dalam-dalam ketika truk kecil itu bergerak. Bunda mengalungkan tanganya di leher Wira.
"Terasa sedih meninggalkannya bukan?" kata Bunda pelan saat truk kecil tiu meluncur menuruni bukit menuju kota.
Wira menggelengkan kepalanya. Ia malas berbicara. "ini bukan untuk selamanya," hibur Bunda. " Apapun yang akan terjadi kita akan kembali. Tetapi untuk saat ini, inilah jalan yang benar untuk dilakukan. Keputusan kita sudah bulat. Jangan lagi kita menengok ke belakang. Hanya ini jalan yang ada di hadapan kita.
                                                                         Â
                                                                          ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H