Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekolah yang Merampas Kemerdekaan Anak-anak

27 Juli 2019   12:38 Diperbarui: 28 Juni 2020   22:22 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tahun ini, kita menyaksikan pro-kontra kebjakan penerimaan peserta didik atau siswa baru  akibat peraturan dimana usia menjadi unsur untuk menyeleksi siswa baru dari tingkat SD, SMP, dan SMA.  Banyak orang tua yang anaknya yang masuk SMP atau SMA terkaget-kaget, gagap, merasa jadi ribet, tidak puas, merasa tidak adil  dengan pemberlakuan sistem yang baru diterapkan pada tahun ini. Banyak orang tua merasa kebijakan baru ini menghilangkan harapan anak-anak mereka diterima di sekolah favorit. Sementara Pemerintah bersikukuh kebijakan baru ini untuk keadilan dan pemerataan pendidikan berkualitas.

Setiap tahun ajaran baru, ada siswa baru, sekolah baru. Hampir tiap pagi lalu lintas sangat padat, kebanyakan adalah orang tua yang mengantar anaknya masuk sekolah, tiba diperempatan jalan, macet, karena pengendara ingin mendahului dan tidak sabar, bikin stress. Di sekolah siswa-siswa, terutama siswa baru, diperkenalkan peraturan-peraturan sekolah, tidak boleh ini itu, yang boleh ini itu, belajar yang baik itu begini begitu, tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Mulai saat itulah anak-anak kehilangan kebebasan, kegembiraannya.

Sekolah di jaman modern seperti sudah menjadi keharusan, kewajiban, dan hak, terutama bagi anak-anak dan remaja, baik itu secara nasional maupun internasional, Bagi orang tua sekolah sudah bagaikan tiket masa depan cerah bagi anak-anak mereka, tiket untuk merubah nasib menjadi lebih baik, bahkan banyak juga yang meyakini sekolah adalah obat mujarab untuk mengentaskan kemiskinan.

Banyak orang tak mempertanyakan lagi, mungkin karena itu perintah undang-undang yang koersif, karena propaganda pemerintah yang terus menerus, bertahun-tahun, sehingga banyak orang menerimanya sebagai hal yang wajar, lumrah, logis, dan sebagainya.

Namun banyak yang tak menyadari bahwa sekolah juga telah merampas hak anak-anak, kebebasan anak.  Sekolah wajib atau di Indonesia lebih dikenal dengan wajib belajar ( Dulu  9 tahun:6 tahun SD,  3 tahun SMP, sekarang 12 tahun: SD, SMP dan  plus 3 tahun SMA) adalah perintah undang-undang, sehingga menjadi kewajiban pemerintah dari pusat hingga lokal, orang tua dan anak-anak.  Bila di dunia kerja ada istilah kerja paksa, maka sekolah wajib adalah sekolah paksa. Sekolah wajib merupakan sebuah serangan bagi kemerdekaan kebebasan anak.-anak. Anak-anak diwajibkan sekolah, namun disekolah mereka tidak merdeka, tidak bebas. Faktanya anak-anak lebih banyak dirampas kemerdekaannya di sekolah dibandingkan para kriminal dewasa di penjara.

Anak-anak diberitahu dengan persis dimana seharusnya tempat mereka berada, dan apa yang harus mereka lakukan,  hampir di setiap momen. Kebebasan berbicara dan berkumpul diasingkan dari mereka.  Mereka tak bisa berkata-kata terhadap peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti.  Dan ketika mereka melanggar peraturan, tak ada proses yang menentukan bersalah atau tidak bersalah, atau hukuman apa yang mereka terima. Sekolah selalu seperti ini, namun jaman sekarang lebih buruk dari pada jaman saya masih duduk di sekolah dasar dan SMP pada tahun 70-an dan 80-an. Karena dikelola lebih kaku dan lebih membatasi. Contoh beberapa perubahan yaitu:

Sekarang Tahun sekolah menjadi lebih lama, dahulu ketika saya anak-anak (SD dan SMP) sekolah dililburkan selama bulan Ramadhan.

Jam sekolah menjadi lebih lama, rata-rata 7 jam sehari, malah ada SMP yang lebih dari 7 jam, dulu sewaktu saya anak-anak, sekolah hanya 6 jam sehari.

Jam istirahat juga banyak dikurangi, baik waktunya mupun kebebasan yang diijinkan, sekarang ini jam istirahat sekolah juga banyak dikurangi, rata-rata hanya 20 menit, berbeda dengan jaman saya kanak-kanak, jam istirahat sekolah rata-rata 1 jam.

Sekarang PR atau pekerjaan rumah malah makin banyak dan sering ketimbang jaman saya dulu masih anak-anak. Dengan demikian sekolah sekarang in anak-anak tidak bebas dari sekolah, bahkan saat mereka sudah pulang ke rumah.

Kadang kala banyak orang bilang bahwa pengalaman anak-anak di sekolah adalah seperti orang dewasa saat bekerja, namun itu hanya sebuh delusi. Orang dewasa tak dipaksa oleh peraturan perundang-undangan untuk bekerja pada pekerjaan tertentu, dan orang dewasa juga selalu bebas untuk berhenti bekerja. Lebih dari satu dekade yang lalu kita telah melarang buruh anak penuh waktu, percaya bahwa itu sangat tidak baik bagi anak-anak. Namun sekarang sekolah sama dengan pekerjaan penuh waktu, sesuatu yang lebih buruk dari pekerjaan penuh waktu yang bisa ditolerir oleh orang dewasa.

Lalu mengapa banyak orang tidak tergerak atas perampasan kebebasan anak-anak? Mengapa banyak orang membiarkan anak-anak dipungkiri hak asasinya, bahkan saat mereka melihat anak-anak menderita di sekolah karena dirampas kebebasannya?

Sudah pasti bukan karena kita tidak suka anak-anak. Kebanyakan orang suka anak-anak. Saya pikir masalahnya adalah pengabaian.

Ya, karena banyak orang masih percaya bahwa sekolah wajib yang berbasis kurikulum, yang dimotivasi oleh "reward" and "Punishment" atau penghargaan dan hukuman adalah esensial bagi kesuksesan anak-anak saat dewasa nanti. Dan bahwa sekolah seperti itulah yang dibutuhkan orang-orang sekarang daripada di masa lalu. Banyak orang masih percaya ini meskipun  sekarang ini banyak fakta bahwa ini tidak benar. Faktanya beberapa tahun belakangan  ini di beberapa negara makin banyak sekolah-sekolah non-konvernsional yang muncul serta makin bertambahnya keluarga-keluarga yang mengabaikan peraturan perundang-undangan sekolah wajib dan tidak 'menyekolahkan' anak-anak mereka atau memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah dimana anak-anak dengan bebas mengejar minat mereka sendiri tanpa penilaian institusional. 

Namun untuk memahami apa itu sekolah,  ada baiknya kita paparkan dulu asal kata dari sekolah, dan sejarah singkat pendidikan sekolah

Asal kata sekolah

Secara etimologis,  berdasarkan sejarah asal katanya, istilah sekolah atau"school" berasal dari bahasa Yunani Kuno "skhole" yang artinya "free time" (waktu senggang). Kata ini juga mencakup pengertian "dengan cara apa waktu luang dimanfaatkan."  Namun pengertian sekolah atau"skhole"kemudian bergeser menjadi "sekelompok orang yang diberikan pengajaran." Kemudian berkembang sebagai berkumpulnya murid-murid di lokasi tertentu untuk belajar. Pergeseran makna dan pengertiandari sekolah justru menjadi sempit, karena pada dasarnya waktu luang bebas digunakan atau diisi dengan berbagai macam kegiatan yang disenangi. Ada dua unsur dari pengertian aslinya yaiut di sana ada kegembiraan dan kebebasan. Di jaman kuno selain di  Yunani, sekolah juga kita temukan di Romawi, India, hingga Tiongkok. Di jaman kerajaan kuno Hindu-Budha Nusantara kita mengenal istilah padepokan atau perguruan.

Kemudian oleh Romawi Kuno kata sekolah diserap ke dalam bahasa Latin, "scola", yang berarti tempat atau institusi yang memberikan pengajaran dalam bidang tertentu. Lalu Inggris menyerapnya kedalam bahasanya menjadi "School."

Demikian sekelumit asal usul kata atau istilah sekolah yang kita kenal saat ini. Namun bila kita ingin lebih memahami mengapa sekolah saat ini semakin jauh dari makna dan semangat aslinya yaitu belajar dengan gembira dan bebas merdeka, maka ada baiknya kita tahu sejarah perkembangan sekolah dari masa ke masa.

 

Sejarah Singkat Sekolah 

" Sekolah bukanlah produk dari  kebutuhaan logis ataupun wawasan ilmiah, ia adalah produk sejarah."

Saat kita melihat bahwa anak-anak dimanapun berada dipaksa  oleh undang-undang untuk bersekolah, bahwa hampir semua sekolah tersusun dengan cara yang sama, dan masyarakat kita mengalami banyak sekali kesulitan dan biaya untuk menyediakan sekolah-sekolah semacam itu, banyak orang cenderung secara alamiah berasumsi bahwa pastilah disana ada alasan yang baik, logis untuk semuanya ini. Mungkin jikapun kita tidak memaksa anak-anak untuk bersekolah, ataupun jika sekolah-sekolah beroperasi sangat berbeda, anak-anak tak akan bertumbuh kembang menjadi orang dewasa yang kompeten.

Anak-anak yang belajar dan bersekolah di sekolah Sanggar Anak Alam atau lebih dikenal dengan SALAM di Jogyakarta teredukasi melalui bermain dan eksplorasi mereka sendiri, tanpa diatur-atur datau diperintah-perintah orang dewasa dan tanpa pemaksaan. Sekolah SALAM menyediakan limgkungan dimana mereka bisa bermain, bereksplorasi, dan mengalami sendiri demokrasi secara langsung. Biaya sekolah disana jelas jauh lebih murah dan lebih memiliki sedikit masalah dibandingkan dengan yang diperlukan untuk menjalankan sekolah konvensional standar. Jadi mengapa ya kebanyakan sekolah tak seperti itu?

Sekolah, seperti yang eksis sekarang ini, hanya bisa dipahami jika kita memandangnya dari perspektif sejarah. Jadi sebagai langkah awal untuk menjelaskan mengapa sekolah jadi seperti demikian, maka untuk itu saya coba menguraikan garis-garis besar  dari sejarah pendidikan sekolah, dari awal umat manusia sampai sekarang. Banyak referensi dari banyak cendekiawan sejarah pendidikan, namun di sini saya mengacu kepada tulisan dari Prof. Peter Gray  , seorang pakar pendidikan dari Boston College, Amerika Serikat. Ia banyak menulis terutama tentang pendidikan, karyanya yang tekenal adalah "Freedom to Learn."

Pada awalnya, selama ratusan ribu tahun, anak-anak mendidik diri mereka sendiri melalui bermain mandiri dan eksplorasi

Dalam hubungannya dengan sejarah spesies kita, sekolah terbilang merupakan institusi yang sangat baru. Selama ratusan ribu tahun, sebelum munculnya pertanian, kita hidup sebagai "hunters-gatherers" atau pemburu-pengumpul. Berdasarkan bukti antropologi menunjukkan bahwa anak-anak di dalam budaya "hunters-gatherers" telah belajar apa-apa yang mereka perlu tahu untuk menjadi orang dewasa yang efektif.

Dorongan kuat mengapa anak-anak bermain dan berekplorasi muncul, selama evolusi kita sebagai "hunters-gatherers", adalah untuk memenuhi kebutuhan edukasi. Orang dewasa di dalam kebudayaan "hunters-gatherers" membiarkan anak-anak hampir dengan kebebasan tanpa batas untuk bermain dan bereksplorasi sendiri karena mereka mengetahui bahwa kegiatan-kegiatan tersebut adalah cara alamiah anak-anak belajar.

Munculnya pertanian, dan kemudian industri, anak-anak menjadi tenaga kerja paksa. Bermain dan eksplorasi dibatasi atau malah ditekan. Keingin tahuan, yang dulu merupakan kebajikan, menjadi perbuatan buruk yang harus dijauhkan  dari anak-anak.

Ditemukannya pertanian, mulai 10 ribu tahun yang lalu di sebagian tempat di dunia dan kemudian di tempat-tempat lain, telah menggerakkan angin puyuh perubahan di dalam cara hidup orang. Cara hidup "hunter-gatherer" merupakan cara hidup yang padat ketrampilan dan padat pengetahuan. Namun tidak padat tenaga kerja. Untuk menjadi "hunter-gatherer" yang efektif, orang perlu pengetahuan yang luas akan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan kepadanya mereka bergantung untuk hidup, dan pengetahuan akan lingkungan alam tempat mereka mencari makan.

Mereka juga harus mengembangkan ketrampilan handal dalam kerajinan dan menggunakan alat-alat berburu dan mengumpulkan. Mereka harus mampu mengambil inisiatif dan kreatif di dalam menemukan makanan dan menguntit buruan. Meskipun demikian, mereka tidak harus bekerja berjam-jam lamanya, dan kerjaan yang mereka lakukan itu mengasyikkan, tidak menjemukan. Para ahli antropologi telah melaporkan bahwa kelompok-kelompok "hunters-gatherers" yang mereka pelajari tidak membedakan antara kerja dan bermain -- intinya semua kehidupan dipahami sebagai bermain.

Pertanian secara bertahap telah merubah semua itu. Dengan pertanian, orang dapat memproduksi lebih banyak makanan, yang memungkinkan mereka memiliki lebih banyak anak. Pertanian juga lebih memungkinkan orang (atau orang yang dipaksa) untuk tinggal di hunian permanen, dimana lahan mereka ditanami, ketimbang hidup nomaden, dan pada akhirnya memungkin orang untuk menumpuk kepemilikan harta. Namun perubahan-perubahan ini mengakibatkan biaya tenaga kerja yang besar. Bila para "hunters-gatherers" dengan trampil memanen apa yang alam hasilkan, para petani harus membajak lahan, menanam, memberi pupuk, menjaga hewan ternak mereka, dan sebagainya.

Bertani yang sukses memerlukan waktu yang lama dikerjakan oleh tenaga kerja yang relatif tidak trampil dab berulang-ulang, dan kebanyakan pekerjaan tersebut dilakukan oleh anak-anak. Dengan keluarga-keluarga yang lebig besar, anak-anak harus bekerja di ladang-ladang untuk membantu memberi makan adik-adik kandung mereka, atau mereka harus bekerja di rumah membantu mengasuh adik-adik kandungnya tersebut. Kehidupan anak-anak berubah secara bertahap dari pencarian yang bebas minat-minat mereka sendiri menjadi lebih banyak waktunya dihabiskan bekerja yang diperlukan untuk mengabdi pada seluruh keluarga. Orang-orang dengan kekayaan ini menjadi lebih kaya dengan bantuan orang lain yang bergantung pada mereka untuk berthan hidup

Pertanian dan kepemilikan terkait tanah dan akumulasi kepemilikan juga menciptakan perbedaan status yang jelas. Orang-orang yang tak memiliki tanah menjadi bergantung pada yang punya tanah. Lalu para pemilik tanah pun menemukan bahwa mereka bisa menambah kekayaan dengan menggaet orang lain untuk bekerja pada mereka.

Sistem perbudakan dan bentuk-bentuk penghambaan yang lain pun berkembang. Semua ini mencapak puncaknya dengan feodalisme di jaman Abad Pertengahan, ketika masyarakat menjadi sangat hirarkis, dengan segelintir raja-raja dan bangsawan di puncak dan massa budak dan hamba sahaya di dasar tangga hirarki sosial. Sistem feodal ini terjadi di banyak tempat di dunia, tak terkecuali di wilayah nusantara.

Pada jaman ini banyak dari orang kebanyakan, termasuk anak-anak, adalah hamba. Pelajaran yang paling prinsipil yang harus anak-anak pelajari adalah patuh dan taat, mengekang keinginan mereka sendiri, dan menunjukkan rasa hormat kepada Tuan dan Majikannya. Semangat memberontak bisa mengakibatkan kehilangan nyawa. Bahkan pada jaman Abad Pertengahan, para tuan bangsawan dan tuan majikan bahkan tak punya rasa sesal ataupun kasihan melihat kebiasaan memukul anak-anak agar tunduk patuh

Dengan munculnya industri dan kelas borjuis, feodalisme secara bertahap pun surut, namun bukan berarti dengan cepat meningkatkan kehidupan dari kebanyakan anak. Para Tuan pemilik modal atau bisnis, seperti juga para pemilik tanah, membutuhkan tenaga kerja buruh dan mendapat laba dari memerah sebanyak mungkin kerja dari mereka dengan kompensasi sedikit mungkin.

Banyak orang tahu bahwa eksploitasi masih eksis di banyak tempat di dunia. Banyak orang, termasuk anak-anak usia belia, bekerja selama seluruh jam-jam bangun mereka, tujuh hari seminggu, di dalam kondisi yang kejam dan menjijikkan, hanya untuk bertahan hidup. Tenaga kerja anak-anak telah berpindah dari ladang-ladang, dimana setidak-tidaknya ada cahaya matahari, udara segar, dan beberapa jam kesempatan untuk bermain, ke pabrik-pabrik yang gelap, sesak, bau dan kotor.

Di Inggris, para mandor dari orang miskin biasanya mengangkuti anak-anak ke pabrik-pabrik, dimana mreka dipekerjakan seperti budak. Ribuan dari mereka mati tiap tahun disebabkan oleh penyakit, kelaparan dan kelelahan. Barulah pada abad ke 19 Inggris mensahkan undang-undang  yang membatasi buruh anak. Sebagai contohnya baru pada tahun 1883 legislasi baru melarang pabrik-pabrik tekstil mempekerjakan anak-anak dibawah umu 9 tahun dan membatasi jam kerja maksimun per minggu sampai 48 jam untu anak-anak umur 10-12 tahun dan 69 jam untuk anak-anak umur 13-17 tahun.

Singkatnya, untuk beberapa ribu tahun setelah munculnya pertanian, pendidikan anak-anak, pada tingkat yang tertinggi, adalah soal menundukkan sifat keingin tahuan mereka yang kuat dan menjadikan mereka buruh yang baik. Seorang anak adalah anak yang patuh dan taat, yang menekan dorongan atau hasrat untuk bermain dan bereksplorasi dan mematuhi perintah-perintah dari sang tuan majikan. Pendidikan seperti itu, sayangnya, tak pernah sepenuhnya sukses. Insting manusia untuk bermain dan dan bereksplorasi itu sangat kuat dan tak pernah dapat disingkirkan dari seorang anak. Namun filsafat pendidikan sepanjang periode tersebut, sampai kepada tingkat yang tak dapat diartikulasikan, bertentangan dengan filsafat "hunters-gatherers" yang telah berlangsung selama ratusan ribu tahun sebelumnya.

Untuk aneka ragam alasan, beberapa relijius dan beberapa sekuler, ide universal, pendidikan wajib muncul dan secara bertahap menyebar. Pendidikan pun dipahami sebagai penanaman.

Oleh karena industri makin maju dan menjadi lebih otomatis, kebutuhan buruh anak pun menurun di beberapa tempat di dunia. Mulai muncul ide yang menyebar bahwa masa kanak-kanak adalah masanya belajar. Lalu sekolah-sekolah berkembang sebagai tempat-tempat belajar. Bersama ide dan praktek universal demikian itu, pendidikan publik pun berkembang secra bertahap di Eropa, dari awal abad ke 16 sampai abad ke 19, ide tersebut memiliki banyak pendukung, yang semuanya memiliki agenda mereka sendiri perihal pelajaran-pelajaran yang harus anak-anak pelajari.

Dorongan untuk pendidikan umum banyak datang dari kemunculan agama protestan. Martin luther mendeklarasikan bahwa keselamatan bergantung pada masing-masing orang sendiri dalam membaca kitab suci. Sebagai akibatnya adalah setiap orang harus belajar membaca dan juga harus mempelajari bahwa kitab suci mewakili kebenaran absolut dan keselamatan bergantung pada kebenaran-kebenaran tersebut.

Luther dan para pemimpin reformasi lainnya menggalakkan pendidikan publik sebagai tugas orang kristen, untuk menyelamatkan jiwa dari kutukan abadi. Sampai abad ke 17, Jerman yang adalah yang terdepan di dalam pengembangan sekolah, telah memiliki undang-undang di banyak negara bagiannya mengharuskan anak-anak bersekolah, namun gereja Lutherian lah, bukan negara, yang menjalankan dan menyelenggrakan sekolah-sekolah tersebut.

Para majikan di industri melihat sekolah sebagai sebuah cara untuk menciptakan pekerja yang lebih baik. Bagi mereka pelajaran yang paling krusial adalah ketepatan waktu, mengikuti arahan, tahan terhadap pekerjaan menjemukan dalam waktu yang lama berjam-jam, dan kemampuan minimal membaca dan menulis. Dari sudut pandang mereka, makin menbosankan subyek yang diajarkan di sekolah makin bagus.

Ketika bangsa-bangsa menyatu dan menjadi makin tersentralisir, para pemimpin nasional melihat sekolah sebagai cara untuk menciptakan para patriot yang baik dan tentara-tentara masa depan. Bagi mereka, pelajaran yang krusial adalah mengenai kejayaan dan keagungan tanah air, prestasu mengagumkan dan kebajikan moral dari para pendiri dan pemimpin bangsa, dan untuk kebutuhan mempertahankan bangsa dari kekuatan-kekuatan jahat dimanapun berada.

Namun di dalam campur aduk ini, ada para pembaharu yang sungguh-sungguh peduli dengan anak-anak, yang pesan-pesannya bisa membangkitkan rasa simpati kita pada masa kini. Inilah orang-orang yang melihat sekolah sebagai tempat untuk melindungi anak-anak dari kekuatan-kekuatan merusak dari dunia luar untuk menyiapkan anak-anak dengan dasar moral dan intelektual yang dibutuhkan untuk berkembang menjadi orang dewasa yang kompeten, baik dan terhormat. Namun mereka juga punya agenda apa yang harus anak-anak pelajari. Anak-anak harus belajar pelajaran-pelajaran moral dan disiplin, seperti bahasa latin dan matematika, yang akan melatih pikiran mereka dan merubah mereka menjadi cendekiawan.

Dengan demikian, banyak pihak yang terlibat di dalam membangun dan mendukung sekolah memilki pandangan yang jelas mengenai pelajaran apa yang harus dipelajari oleh anak-anak di sekolah.  Dan jelas sekali tak ada orang yang percaya bahwa anak-anak dibiarkan dengan alat-alat nya sendri, bahkan dengan lingkungan yang melimpah untuk belajar, semuanya belajar sesuai dengan pelajaran yang mereka orang dewasa anggap sangat penting. Mereka semua melihat sekolah sebagai penanaman (inculacation) bukan pemahaman',  menanamkan kebenaran-kebenaran tertentu dan cara berpikir ke dalam pikiran anak-anak, baik dulu maupun sekarang, adalah repetisi dan ujian yang dipaksakan untuk merngingat kembali apa yang telah diajarkan.

Dengan munculnya sekolah, orang-orang mulai berpikir bahwa belajar itu adalah pekerjaan anak-anak. Metode-metode kekuasaan-asertif yang digunakan anak-anak bekerja di ladang-ladang dan pabrik-pabrik ditransfer secara sangat alamiah ke ruang-ruang kelas.

Repetisi dan memorasi pelajaran-pelajaran itu membosankan bagi anak-anak, yang instingnya mendorong mereka secara konstan untuk bermain dengan bebas dan mengeksplorasi dunia oleh mereka sendiri, Seperti anak-anak yang tak siap beradaptasi bekerja di ladang-ladang dan pabrik-pabrik, merekapun tak siap beradaptasi untuk bersekolah. Ini tak mengejutkan bagi orang-orang dewasa yang terlibat. Pada titik ini di dalam sejarah, ide bahwa sifat keingintahuan anak-anak yang benilai benar-benar telah dilupakan. Banyak orang bersumsi bahwa membuat anak-anak belajar di sekolah  maka sifat keingintahuan anak-anak bisa jauhkan dari mereka. Hukuman dalam segala bentuknya dipahami sebgai bagian yang intrinsik bagi proses edukasional. Di beberapa sekolah anak-anak diijinkan bermain dalam jam-jam tertentu (waktu istrirahat), mengijinkan mereka untuk beristirahat, , namun bermain tak dianggap sebagai suatu alat atau cara belajar. Di kelas, bermain merupakan musuh belajar

Metode-metode memaksa yang kasar sudah lama digunakan untuk menjaga anak-anak tetap pada tugasnya di lahan pertanian atau di pabrik lalu dibawa ke dalam sekolah untuk membuat anak-anak belajar. Salah seorang guru di Jerman memegang rekor hukuman yang ia buat selama 51 tahun mengajar, berikut ini daftarnya: "911.527 kali menghajar dengan tongkat, 124.010 kali menghajar dengan cambuk, 20.989 kali memukul dengan penggarisan, 136.715 menghajar dengan tangan, 10.235 kali menghajar mulut, 7.905 mentinju telinga, dan 1.118.800 kali menghajar kepala." Jelas sekali bahwa sang guru tersebut bangga atas semua didikan yang telah ia perbuat.

Pada jaman sekarang, metode-metode sekolah tidak begitu kasar, namun asumsi dasar tak berubah. Belajar berlanjut didefinisikan sebagai pekerjaan anak-anak, dan cara-cara kekuasaan-asertif digunakan untuk membuat anak-anak melakukan pekerjaan tersebut.

Pada abad 19 dan 20, sekolah publik secara bertahap berevolusi menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai sekolah konvensional. Metode-metode disiplin menjadi lebih manusiawi, atau setidak-tidaknya tidak begitu fisik, pelajaran-pelajaran menjadi lebih sekuler, kurikulum diperluas, karena pengetahuan meluas, sebuah daftar mata pelajaran yang terus berkembang; dan jumlah jam, hari dan tahun sekolah wajib bertambah terus menerus. Sekolah secara bertahap menggantikan kerja di ladang, kerja di pabrik, dan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan utama anak. Sebagaimana orang-orang dewasa melalui 8 jam per hari di tempat kerja mereka, anak-anak sekarang melalui enam jam per hari di sekolah, plus sejam lagi atau lebih banyak pekerjaan rumah, dan seringkali lebih banyak jam pelajaran di luar sekolah. Dari waktu ke waktu, kehidupan anak-anak menjadi meningkat didefinisikan dan distrukturkan oleh kurikulum sekolah. Anak-anak sekarang hampir secara umum diidentifikasi oleh tingkatan mereka di sekolah, seperti orang-orang dewasa yang diidentifikasi oleh pekerjaan atau karir mereka.

Sekolah sekarang saat kini tidak kurang dan tidak lebih kasarnya ketibang jaman dulu. Namun premis mengenai sifat belajar tetap tidak berubah: belajar itu adalah kerja keras; sesuatu yang anak-anak harus wajib dilakukan, bukan sesuatu yang akan terjadi secara alamiah melalui kegiatan-kegiatan pilihan anak-anak itu sendiri. Pelajaran-pelajaran spesifik yang mesti anak-anak pelajari ditentukan oleh edukator-edukator profesional, bukan oleh anak-anak, dengan demikian pendidiakn jaman kini masih, seperti sebelumnya, adalah soal penanaman (meski para edukator cenderung menghindari istilah tersebut dan menggunakan, secara keliru, istilah seperti "discovery" atau" penemuan").

Para edukator yang pintar kini mungkin saja menggunakam "bermain" sebagai sebuah alat untuk membuat anak-anak menikmati beberapa pelajaran mereka, dan anak-anak mungkin saja diijinkan bebas bermain pada saat jam istirahat (meskipun ini berkurang pada jaman sekarang ini), namun kegiatan bermain yang dilakukan anak-anak itu sendiri sudah pasti dianggap tak memadai sebagai sebuah fondasi bagi pendidikan. Anak-anak yang hasratnya untuk bermain sangat kuat, mereka yang tak betah duduk terus tidak lagi dijauhkan; malah mereka terobati.

Sekolah kini adalah tempat dimana semua anak-anak belajar perbedaan yang oleh "hunters-gatherers" tak pernah tahuperbedaan antara kerja dan bermain. Guru berkata " kamu mesti kerjakan pekerjaanmu dan lalu kamu bisa bermain." Jelas sekali, menurut pesan ini, kerja, yang melingkupi seluruh belajar di sekolah, adalah sesuatu yang seseorang tak ingin kerjakan namun harus, dan bermain, yang adalah semua yang orang ingin kerjakan,  secara relatif memiliki nilai kecil. Itulah, mungkin, adalah pelajaran yang paling menonjol dari metode bersekolah kita. Jika anak-anak tidak belajar apa-apa di sekolah, mereka belajar perbedaan antara kerja dan bermain dan bahwa belajar adalah bekerja, bukan bermain.

Demikianlah saya mencoba menjelaskan bagaimana sejarah humanitas telah membawa kepada perkembangan sekolah seperti yang kita kenal sekarang ini.

Sekolah publik di Indonesia di transfer dari Belanda pada masa pendudukan Belanda.  metode-metode pendidikan di Belanda, juga tak lepas dari metode-metode yang berkembang di Eropa. Praktek-praktek disiplin, penanaman, kekuasaan assertif dalam pendidikan Belanda pun juga ditranfer ke dalam praktek-praktek sekolah publik di Indonesia. Meskipun metode dan praktek disiplin sekarang tidak begitu kasar seperti dulu, akan tetapi intinya tetap sama sekolah adalah penanaman pikiran. Sejak jaman kolonial, Jaman orde lama, orde baru dan reformasi, pendidikan sekolah adalah penanaman nilai-nilai, apakah itu patriotisme, nasionalisme, pancasila, ataupun nilai-nilai agama.

Sifat alamiah anak-anak seperti rasa keingintahuan yang kuat, dorongan atau hasrat yang kuat untuk bermain dan mengekplorasi dunia di sekitarnya dijauhkan atau ditekan, dengan demikian kebebasan dan kemerdekaan anak-anak dalam belajar pun 'hilang' dari sekolah. Di sekolah anak-anak tidak bahagia, sekolah seperti berada di 'penjara.' Maka tidak heran jika bel tanda pulang sekolah berdering, mereka merasa lega, dan gembira, seperti lepas dari tekanan, meskipun itu hanya sebentar, karena ada pekerjaan rumah yang harus di kerjakan, harus mengulang pelajaran di sekolah atau sepulang sekolah mereka lanjut belajar di tempat-tempat/lembaga Bimbingan Belajar.

Pun walaupn beberapa tahun belakangan ini sudah bermunculan sekolah-sekolah alternatif yang berbeda dengan sekolah-sekolah konvensional. Dengan teknik-teknik dan cara mengajar serta lingkungan sekolah yang tak membosankan dan menarik, namun bila menganggap sekolah sebagai penanaman,bila bermnain dan eksplorasi tidak menjadi fondasi belajarnya maka sekolah alternatif inipun tak jauh berbeda dengan sekolah konvensional, bedanya paling pada teknik dan cara-cara mengajar yang menarik dan tak membosankan dibanding sekolah konvensional.

Namun bukannya tidak ada sekolah yang berbasiskan bermain dan eksplorasi, di beberapa negara Sekolah-sekolah seperti ini dufsh muncul, misalnya di Australia, ada Brisbane Independent School; di Brazil ada Escola Lumiar; di Kanada ada Alpha Alternative School;di Jerman ada Neue Schule Hamburg; di India ada Walden's Path Hyderabad; di Jepang ada Kinokuni Children's Village (Kinokuni Kodomo no Mura); di Inggris ada Summerhill School; di Amerika Serikat ada Liberty School; di Indonesia ada sekolah Sanggar Anak Alam atau Salam.

di sini saya sertakan pengakuan salah seorang orang tua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah Sanggar Anak Alam atau Salam mengatakan"

" Yang jelas ga ada tekanan untuk bawa selalu buku dan bikin PR... Mandiri buat bikin riset... Cenderung santai...Anakku jadi lebih mandiri.... jadi bener-bener belajar untuk ngurus diri sendiri..." 

Sebagai penutup, ada sebuah kisah yang inspiratif yang  sukses menjadi  seorang tokoh penemu jenius terkenal, berkat pendidikan berbasiskan  bermain dan mengeksplorasi dengan bebas,  begini kisahnya:

" Di Ohio, Amerika Serikat pada tahun 1847, lahir seorang anak dengan panggilan Tommy. Dia lahir dengn kemampuan biasa-biasa saja, tidak memiliki kecerdasan khusus seperti anak-anak lainnya. Saat belajar di sekolah, Tommy tidak mampu untuk mengikuti pendidikan atau pelajaran di sekolahnya. Oleh sebab itu Tommy selalu mendapatkan nilai buruk. Pihak sekolah memandangnya sebagai anak yang bodoh, sehingga para guru memilih menyerah dalam usah mendidik Tommy. Tommy pun akhirnya dikeluarkan dari sekolah.

Tommy pun menjalani pendidikan di rumah. Tommy pun belajar dengan bebas, gembira, sambil bermain dan mengeksplorasi alam sekitar, tanpa harus memikirkan nilai-nilai pelajaran yang harus dicapainya. Di rumah dia juga membaca buku-buku ilmiah dewasa, rasa keingintajuannya sangat besar, karena itu Tommy pun mulai melakukan eksperimen-eksperimen, dia juga pernah membedah hewab-hewan karena keingintahuannya yang besar terhadap hewan-hewan alam sekitar lingkungan rumahnya. Usia 12 tahun, Tommy kecil sudah memiliki laboratorium kimia kecil di ruang bawah tanah rumahnya.

Setahun kemudian dia berhasil membuat telegraf yang sekalipun bentuk dan modelnya sederhana dan primitif tapi sudah bisa berfungsi.  Di usianya yang belia, Tommy sudah bekerja dan mencari uang sendiri dengan berjualan koran di kereta api selama beberapa tahun. Kemudian Tommy bekerja sebagai operator telegraf, sampai akhirnya ia pun naik jabatan menjadi kepala mesin telegraf di Amerika. Saat Tommy berumur 32 tahun, dunia tidak lagi gelap atau temaram lagi ketika malam hari. Tommy yang dianggap bodoh waktu anak-anak itu berhasil menciptakan lampu pijar bohlam, yang mengubah wajah dunia. Ya dia adalahThomas Alfa Edison..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun