Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekolah yang Merampas Kemerdekaan Anak-anak

27 Juli 2019   12:38 Diperbarui: 28 Juni 2020   22:22 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat kita melihat bahwa anak-anak dimanapun berada dipaksa  oleh undang-undang untuk bersekolah, bahwa hampir semua sekolah tersusun dengan cara yang sama, dan masyarakat kita mengalami banyak sekali kesulitan dan biaya untuk menyediakan sekolah-sekolah semacam itu, banyak orang cenderung secara alamiah berasumsi bahwa pastilah disana ada alasan yang baik, logis untuk semuanya ini. Mungkin jikapun kita tidak memaksa anak-anak untuk bersekolah, ataupun jika sekolah-sekolah beroperasi sangat berbeda, anak-anak tak akan bertumbuh kembang menjadi orang dewasa yang kompeten.

Anak-anak yang belajar dan bersekolah di sekolah Sanggar Anak Alam atau lebih dikenal dengan SALAM di Jogyakarta teredukasi melalui bermain dan eksplorasi mereka sendiri, tanpa diatur-atur datau diperintah-perintah orang dewasa dan tanpa pemaksaan. Sekolah SALAM menyediakan limgkungan dimana mereka bisa bermain, bereksplorasi, dan mengalami sendiri demokrasi secara langsung. Biaya sekolah disana jelas jauh lebih murah dan lebih memiliki sedikit masalah dibandingkan dengan yang diperlukan untuk menjalankan sekolah konvensional standar. Jadi mengapa ya kebanyakan sekolah tak seperti itu?

Sekolah, seperti yang eksis sekarang ini, hanya bisa dipahami jika kita memandangnya dari perspektif sejarah. Jadi sebagai langkah awal untuk menjelaskan mengapa sekolah jadi seperti demikian, maka untuk itu saya coba menguraikan garis-garis besar  dari sejarah pendidikan sekolah, dari awal umat manusia sampai sekarang. Banyak referensi dari banyak cendekiawan sejarah pendidikan, namun di sini saya mengacu kepada tulisan dari Prof. Peter Gray  , seorang pakar pendidikan dari Boston College, Amerika Serikat. Ia banyak menulis terutama tentang pendidikan, karyanya yang tekenal adalah "Freedom to Learn."

Pada awalnya, selama ratusan ribu tahun, anak-anak mendidik diri mereka sendiri melalui bermain mandiri dan eksplorasi

Dalam hubungannya dengan sejarah spesies kita, sekolah terbilang merupakan institusi yang sangat baru. Selama ratusan ribu tahun, sebelum munculnya pertanian, kita hidup sebagai "hunters-gatherers" atau pemburu-pengumpul. Berdasarkan bukti antropologi menunjukkan bahwa anak-anak di dalam budaya "hunters-gatherers" telah belajar apa-apa yang mereka perlu tahu untuk menjadi orang dewasa yang efektif.

Dorongan kuat mengapa anak-anak bermain dan berekplorasi muncul, selama evolusi kita sebagai "hunters-gatherers", adalah untuk memenuhi kebutuhan edukasi. Orang dewasa di dalam kebudayaan "hunters-gatherers" membiarkan anak-anak hampir dengan kebebasan tanpa batas untuk bermain dan bereksplorasi sendiri karena mereka mengetahui bahwa kegiatan-kegiatan tersebut adalah cara alamiah anak-anak belajar.

Munculnya pertanian, dan kemudian industri, anak-anak menjadi tenaga kerja paksa. Bermain dan eksplorasi dibatasi atau malah ditekan. Keingin tahuan, yang dulu merupakan kebajikan, menjadi perbuatan buruk yang harus dijauhkan  dari anak-anak.

Ditemukannya pertanian, mulai 10 ribu tahun yang lalu di sebagian tempat di dunia dan kemudian di tempat-tempat lain, telah menggerakkan angin puyuh perubahan di dalam cara hidup orang. Cara hidup "hunter-gatherer" merupakan cara hidup yang padat ketrampilan dan padat pengetahuan. Namun tidak padat tenaga kerja. Untuk menjadi "hunter-gatherer" yang efektif, orang perlu pengetahuan yang luas akan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan kepadanya mereka bergantung untuk hidup, dan pengetahuan akan lingkungan alam tempat mereka mencari makan.

Mereka juga harus mengembangkan ketrampilan handal dalam kerajinan dan menggunakan alat-alat berburu dan mengumpulkan. Mereka harus mampu mengambil inisiatif dan kreatif di dalam menemukan makanan dan menguntit buruan. Meskipun demikian, mereka tidak harus bekerja berjam-jam lamanya, dan kerjaan yang mereka lakukan itu mengasyikkan, tidak menjemukan. Para ahli antropologi telah melaporkan bahwa kelompok-kelompok "hunters-gatherers" yang mereka pelajari tidak membedakan antara kerja dan bermain -- intinya semua kehidupan dipahami sebagai bermain.

Pertanian secara bertahap telah merubah semua itu. Dengan pertanian, orang dapat memproduksi lebih banyak makanan, yang memungkinkan mereka memiliki lebih banyak anak. Pertanian juga lebih memungkinkan orang (atau orang yang dipaksa) untuk tinggal di hunian permanen, dimana lahan mereka ditanami, ketimbang hidup nomaden, dan pada akhirnya memungkin orang untuk menumpuk kepemilikan harta. Namun perubahan-perubahan ini mengakibatkan biaya tenaga kerja yang besar. Bila para "hunters-gatherers" dengan trampil memanen apa yang alam hasilkan, para petani harus membajak lahan, menanam, memberi pupuk, menjaga hewan ternak mereka, dan sebagainya.

Bertani yang sukses memerlukan waktu yang lama dikerjakan oleh tenaga kerja yang relatif tidak trampil dab berulang-ulang, dan kebanyakan pekerjaan tersebut dilakukan oleh anak-anak. Dengan keluarga-keluarga yang lebig besar, anak-anak harus bekerja di ladang-ladang untuk membantu memberi makan adik-adik kandung mereka, atau mereka harus bekerja di rumah membantu mengasuh adik-adik kandungnya tersebut. Kehidupan anak-anak berubah secara bertahap dari pencarian yang bebas minat-minat mereka sendiri menjadi lebih banyak waktunya dihabiskan bekerja yang diperlukan untuk mengabdi pada seluruh keluarga. Orang-orang dengan kekayaan ini menjadi lebih kaya dengan bantuan orang lain yang bergantung pada mereka untuk berthan hidup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun