Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekolah yang Merampas Kemerdekaan Anak-anak

27 Juli 2019   12:38 Diperbarui: 28 Juni 2020   22:22 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanian dan kepemilikan terkait tanah dan akumulasi kepemilikan juga menciptakan perbedaan status yang jelas. Orang-orang yang tak memiliki tanah menjadi bergantung pada yang punya tanah. Lalu para pemilik tanah pun menemukan bahwa mereka bisa menambah kekayaan dengan menggaet orang lain untuk bekerja pada mereka.

Sistem perbudakan dan bentuk-bentuk penghambaan yang lain pun berkembang. Semua ini mencapak puncaknya dengan feodalisme di jaman Abad Pertengahan, ketika masyarakat menjadi sangat hirarkis, dengan segelintir raja-raja dan bangsawan di puncak dan massa budak dan hamba sahaya di dasar tangga hirarki sosial. Sistem feodal ini terjadi di banyak tempat di dunia, tak terkecuali di wilayah nusantara.

Pada jaman ini banyak dari orang kebanyakan, termasuk anak-anak, adalah hamba. Pelajaran yang paling prinsipil yang harus anak-anak pelajari adalah patuh dan taat, mengekang keinginan mereka sendiri, dan menunjukkan rasa hormat kepada Tuan dan Majikannya. Semangat memberontak bisa mengakibatkan kehilangan nyawa. Bahkan pada jaman Abad Pertengahan, para tuan bangsawan dan tuan majikan bahkan tak punya rasa sesal ataupun kasihan melihat kebiasaan memukul anak-anak agar tunduk patuh

Dengan munculnya industri dan kelas borjuis, feodalisme secara bertahap pun surut, namun bukan berarti dengan cepat meningkatkan kehidupan dari kebanyakan anak. Para Tuan pemilik modal atau bisnis, seperti juga para pemilik tanah, membutuhkan tenaga kerja buruh dan mendapat laba dari memerah sebanyak mungkin kerja dari mereka dengan kompensasi sedikit mungkin.

Banyak orang tahu bahwa eksploitasi masih eksis di banyak tempat di dunia. Banyak orang, termasuk anak-anak usia belia, bekerja selama seluruh jam-jam bangun mereka, tujuh hari seminggu, di dalam kondisi yang kejam dan menjijikkan, hanya untuk bertahan hidup. Tenaga kerja anak-anak telah berpindah dari ladang-ladang, dimana setidak-tidaknya ada cahaya matahari, udara segar, dan beberapa jam kesempatan untuk bermain, ke pabrik-pabrik yang gelap, sesak, bau dan kotor.

Di Inggris, para mandor dari orang miskin biasanya mengangkuti anak-anak ke pabrik-pabrik, dimana mreka dipekerjakan seperti budak. Ribuan dari mereka mati tiap tahun disebabkan oleh penyakit, kelaparan dan kelelahan. Barulah pada abad ke 19 Inggris mensahkan undang-undang  yang membatasi buruh anak. Sebagai contohnya baru pada tahun 1883 legislasi baru melarang pabrik-pabrik tekstil mempekerjakan anak-anak dibawah umu 9 tahun dan membatasi jam kerja maksimun per minggu sampai 48 jam untu anak-anak umur 10-12 tahun dan 69 jam untuk anak-anak umur 13-17 tahun.

Singkatnya, untuk beberapa ribu tahun setelah munculnya pertanian, pendidikan anak-anak, pada tingkat yang tertinggi, adalah soal menundukkan sifat keingin tahuan mereka yang kuat dan menjadikan mereka buruh yang baik. Seorang anak adalah anak yang patuh dan taat, yang menekan dorongan atau hasrat untuk bermain dan bereksplorasi dan mematuhi perintah-perintah dari sang tuan majikan. Pendidikan seperti itu, sayangnya, tak pernah sepenuhnya sukses. Insting manusia untuk bermain dan dan bereksplorasi itu sangat kuat dan tak pernah dapat disingkirkan dari seorang anak. Namun filsafat pendidikan sepanjang periode tersebut, sampai kepada tingkat yang tak dapat diartikulasikan, bertentangan dengan filsafat "hunters-gatherers" yang telah berlangsung selama ratusan ribu tahun sebelumnya.

Untuk aneka ragam alasan, beberapa relijius dan beberapa sekuler, ide universal, pendidikan wajib muncul dan secara bertahap menyebar. Pendidikan pun dipahami sebagai penanaman.

Oleh karena industri makin maju dan menjadi lebih otomatis, kebutuhan buruh anak pun menurun di beberapa tempat di dunia. Mulai muncul ide yang menyebar bahwa masa kanak-kanak adalah masanya belajar. Lalu sekolah-sekolah berkembang sebagai tempat-tempat belajar. Bersama ide dan praktek universal demikian itu, pendidikan publik pun berkembang secra bertahap di Eropa, dari awal abad ke 16 sampai abad ke 19, ide tersebut memiliki banyak pendukung, yang semuanya memiliki agenda mereka sendiri perihal pelajaran-pelajaran yang harus anak-anak pelajari.

Dorongan untuk pendidikan umum banyak datang dari kemunculan agama protestan. Martin luther mendeklarasikan bahwa keselamatan bergantung pada masing-masing orang sendiri dalam membaca kitab suci. Sebagai akibatnya adalah setiap orang harus belajar membaca dan juga harus mempelajari bahwa kitab suci mewakili kebenaran absolut dan keselamatan bergantung pada kebenaran-kebenaran tersebut.

Luther dan para pemimpin reformasi lainnya menggalakkan pendidikan publik sebagai tugas orang kristen, untuk menyelamatkan jiwa dari kutukan abadi. Sampai abad ke 17, Jerman yang adalah yang terdepan di dalam pengembangan sekolah, telah memiliki undang-undang di banyak negara bagiannya mengharuskan anak-anak bersekolah, namun gereja Lutherian lah, bukan negara, yang menjalankan dan menyelenggrakan sekolah-sekolah tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun