Mohon tunggu...
Ponco Wulan
Ponco Wulan Mohon Tunggu... Guru - Pontjowulan Samarinda

Pontjowulan Kota Samarinda Kalimantan Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Hujan Menghapus Jejak

2 Oktober 2024   19:59 Diperbarui: 2 Oktober 2024   20:06 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di bawah langit kelabu kota Samarinda, hujan turun dengan derasnya seakan-akan langit menangis meratapi kisah-kisah yang belum terungkap. Di tengah derasnya hujan, seorang siswa SMA bernama Tito melangkah dengan hati-hati di trotoar yang licin. Jaket abu-abunya sudah basah kuyup tetapi dia tak peduli. Bagi Tito, hujan selalu membawa perasaan tenang dan seolah setiap tetesan air mampu menghapus jejak-jejak kesedihan di hatinya.

Tito baru saja pulang dari sekolah dan seperti biasa dia memilih jalan memutar menuju rumah. Jalan ini penuh dengan kenangan masa kecilnya yang selalu membuatnya merasa lebih dekat dengan almarhum ayahnya. Di persimpangan jalan Tito bertemu dengan sahabatnya Sinta, yang sedang berteduh di bawah kanopi toko buku. "Hei, kamu basah kuyup!" seru Sinta sambil menyerahkan payungnya kepada Tito.

"Terima kasih Sinta. Kamu tahu kan aku suka hujan," balas Tito sambil tersenyum tipis. Mereka berdua melanjutkan perjalanan bersama menikmati suara hujan yang memecah keheningan. Sinta adalah sahabat terbaik Tito sejak mereka duduk di bangku SMP.

"Tito, kamu mau mampir ke rumahku dulu? Kita bisa minum teh hangat dan mengeringkan baju," tawar Sinta. Tito mengangguk, merasa tawaran itu sangat menggoda. Di rumah Sinta mereka disambut oleh aroma teh melati yang harum dan kehangatan keluarga yang selalu membuat Tito merasa nyaman. Ibu Sinta seorang wanita yang ramah dan penuh perhatian menyambut mereka dengan senyum hangat.

"Hujan-hujan begini enaknya minum teh dan makan pisang goreng. Duduklah biar Ibu siapkan semuanya," kata Ibu Sinta sambil berlalu ke dapur. Di ruang tamu yang hangat, Tito dan Sinta duduk di sofa berbincang tentang banyak hal. Dari rencana liburan sekolah hingga tentang cita-cita mereka setelah lulus SMA. Meskipun hujan di luar tak kunjung reda, di dalam rumah Sinta, Tito merasa semua kesedihan dan kegelisahannya perlahan-lahan menghilang.

"Kamu tahu Sinta, kadang aku merasa hujan ini seperti membersihkan semua jejak kesedihanku," kata Tito dengan nada melankolis. Sinta tersenyum lembut, "Iya, Tito. Hujan bisa menghapus jejak, tapi kenangan yang indah akan selalu tetap ada di hati kita."

Hujan masih terus mengguyur Samarinda, namun di dalam hati Tito, ada secercah harapan dan kehangatan yang takkan pernah terhapus.

Keesokan harinya di sekolah Tito dan Sinta kembali bertemu di kelas. Pelajaran hari itu diajarkan oleh Pak Budi, guru matematika yang tegas namun bijaksana. Di awal pelajaran, Pak Budi mengingatkan siswa-siswanya untuk selalu berusaha dan tidak mudah menyerah. "Anak-anak, ingatlah bahwa setiap kesulitan yang kalian hadapi pasti akan berlalu. Tugas kalian adalah tetap berusaha dan tidak menyerah," kata Pak Budi sambil menuliskan soal-soal latihan di papan tulis.

Setelah pelajaran matematika, Bu Wulan guru bahasa Indonesia yang lembut dan penuh kasih, memasuki kelas. Dia membawa buku-buku cerita yang akan dibaca bersama oleh siswa-siswanya. Bu Wulan selalu berusaha membuat pelajarannya menarik dengan membacakan cerita yang penuh makna.

"Hari ini, kita akan membaca cerita tentang persahabatan dan keteguhan hati. Semoga kalian bisa mengambil pelajaran berharga dari cerita ini," ujar Bu Wulan dengan senyum manisnya.

Ketika Bu Wulan membacakan cerita, Tito merasa terhubung dengan kisah yang diceritakan. Cerita itu mengingatkannya pada persahabatannya dengan Sinta yang selalu saling mendukung di saat-saat sulit.

Setelah pelajaran usai, Tito dan Sinta kembali pulang bersama. Mereka berjalan di bawah satu payung, menikmati percakapan ringan dan tawa yang mengiringi langkah mereka. Meskipun hujan masih terus mengguyur kota Samarinda, dalam hati Tito dan Sinta ada kehangatan persahabatan yang tidak pernah luntur.

Hari-hari berlalu dan hujan terus menjadi bagian dari kehidupan Tito dan Sinta. Suatu sore yang cerah, setelah sekian lama hujan, Pak Budi mengumumkan bahwa akan ada lomba matematika antar sekolah. Tito yang memiliki bakat dalam matematika, ditunjuk untuk mewakili sekolah. Sinta yang selalu mendukung Tito dengan penuh semangat membantu Tito mempersiapkan diri.

"Kamu pasti bisa, Tito. Aku yakin dengan kemampuanmu," kata Sinta sambil memberikan buku-buku latihan matematika kepada Tito.

Malam sebelum lomba Tito merasa gugup. Dia teringat ayahnya yang selalu mendukung setiap langkahnya. Ketika kebimbangan melanda, Tito memutuskan untuk berbicara dengan Bu Wulan yang selama ini menjadi tempat curhatnya. "Bu, saya merasa takut tidak bisa memberikan yang terbaik besok," kata Tito dengan suara gemetar. Bu Wulan menatap Tito dengan penuh pengertian. "Tito, ingatlah bahwa setiap usaha yang kamu lakukan adalah langkah maju. Jangan takut gagal karena dari situlah kamu belajar dan tumbuh."

Dengan kata-kata Bu Wulan dan dukungan dari Sinta, Tito merasa lebih tenang. Keesokan harinya, dengan tekad kuat dan semangat yang tinggi, Tito berangkat ke lomba. Hujan turun rintik-rintik, seolah memberinya keberanian ekstra.

Lomba itu berjalan dengan menegangkan tetapi Tito mampu menyelesaikan setiap soal dengan baik. Ketika hasil diumumkan, Tito dinyatakan sebagai pemenang. Suara gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan dan Tito merasa seakan-akan seluruh beban yang pernah ada menghilang bersama hujan yang turun di luar. Saat Tito menerima piala kemenangannya, dia melihat Sinta dan Bu Wulan tersenyum bangga.

Pada suatu pagi Tito dan Sinta sedang berjalan menuju sekolah. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Pak Budi yang sedang menunggu angkot di halte. "Selamat pagi, Pak Budi!" sapa Tito dan Sinta serempak. Pak Budi tersenyum. "Selamat pagi Tito dan Sinta. Bagaimana persiapan kalian untuk ujian akhir semester nanti?"

Tito mengangguk, "Kami sudah mulai belajar, Pak. Terima kasih atas bimbingan Bapak selama ini."

Pak Budi menepuk pundak Tito. "Bagus. Ingatlah, belajar itu seperti menanam benih. Suatu saat nanti, kalian akan menuai hasilnya."

Setelah berbicara sebentar, mereka berpisah. Tito dan Sinta melanjutkan perjalanan mereka ke sekolah. Sesampainya di sekolah mereka disambut oleh Bu Wulan yang sedang mengatur buku-buku di perpustakaan.

"Tito, Sinta, selamat pagi! Kalian punya waktu sebentar? Saya ingin membicarakan sesuatu," kata Bu Wulan dengan senyum lembutnya. Mereka berdua mengikuti Bu Wulan ke perpustakaan. Di sana Bu Wulan memberikan mereka selembar kertas undangan. "Sekolah kita akan mengadakan acara malam keakraban untuk merayakan keberhasilan tim kita di berbagai lomba. Tito, sebagai pemenang lomba matematika, kamu akan menjadi salah satu pembicara," jelas Bu Wulan.

Tito terkejut, "Saya, Bu? Apa yang harus saya bicarakan?"

"Berbicaralah dari hati, Tito. Ceritakan perjalananmu tantangan yang kamu hadapi dan bagaimana kamu bisa mencapai ini semua. Kamu bisa menginspirasi teman-temanmu," jawab Bu Wulan dengan bijak.

Malam keakraban itu akhirnya tiba. Aula sekolah dihias indah dengan lampu-lampu dan bunga-bunga. Suasana hangat terasa di seluruh ruangan. Tito duduk di barisan depan bersama para pemenang lomba lainnya. Saat namanya dipanggil, dia maju ke panggung dengan perasaan campur aduk.

"Selamat malam semua," Tito memulai, suaranya sedikit gemetar. "Saya Tito dan saya ingin berbagi sedikit cerita tentang perjalanan saya."

Dia menceritakan tentang kenangan bersama ayahnya dan persahabatan dengan Sinta yang memberinya kekuatan. Tito juga berbagi tentang dukungan dari Pak Budi dan Bu Wulan yang selalu membimbingnya.

"Hujan mungkin bisa menghapus jejak, tapi dukungan dan kenangan indah akan selalu ada di hati kita," kata Tito menutup pidatonya. Tepuk tangan riuh menggema di seluruh aula.

Setelah acara, Tito dan Sinta berbincang dengan teman-teman mereka yang terinspirasi oleh cerita Tito. Pak Budi dan Bu Wulan juga menghampiri mereka memberikan pujian dan dorongan.

"Kalian berdua sudah melakukan hal yang luar biasa," kata Pak Budi. "Teruslah saling mendukung dan berjuang bersama."

**********

Sinta yang biasanya mendukung Tito tanpa ragu, mulai merasakan tekanan dari keluarganya. Orang tua Sinta menginginkan dia untuk fokus pada pelajaran sains mengingat rencana mereka agar Sinta menjadi dokter di masa depan. Mereka merasa bahwa keterlibatan Sinta dalam kegiatan ekstra kurikuler bersama Tito akan mengganggu prestasinya.

"Sinta, kami ingin kamu lebih fokus pada pelajaranmu. Kamu harus berhenti menghabiskan terlalu banyak waktu untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan masa depanmu," kata Ayah Sinta dengan nada tegas saat makan malam. Sinta, yang sangat menghormati orang tuanya, merasa terjebak di antara harapan keluarganya dan keinginannya untuk mendukung Tito.

Tito yang mulai menyadari perubahan pada Sinta, mencoba bertanya, "Sinta, ada apa? Kamu kelihatan berbeda akhir-akhir ini."

Sinta menarik napas dalam-dalam, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Tito, orang tuaku ingin aku lebih fokus pada pelajaran sains dan berhenti ikut kegiatan ekstra. Aku merasa tertekan."

Tito menatap Sinta dengan perasaan campur aduk. "Aku mengerti, Sinta. Aku tidak ingin kamu merasa tertekan. Tapi aku juga tidak bisa membayangkan melalui semua ini tanpa dukunganmu."

Sinta merasa perih mendengar kata-kata Tito. Mereka berdua tahu bahwa keputusan ini bukanlah hal yang mudah. Mereka berdua saling terdiam, merenungkan masa depan persahabatan mereka. Ketegangan ini terus berlanjut, mempengaruhi kinerja mereka di sekolah. Tito merasa kehilangan semangat tanpa dukungan penuh dari Sinta sedangkan Sinta merasa terbebani oleh harapan keluarganya dan keinginan untuk tetap mendukung Tito.

Pak Budi dan Bu Wulan yang menyadari ada yang tidak beres, mencoba memberikan nasihat dan dukungan. Pak Budi memanggil Tito dan Sinta ke ruang guru untuk berbicara.

"Apa yang terjadi di antara kalian? Kalian berdua terlihat tertekan akhir-akhir ini," tanya Pak Budi dengan nada lembut.

Persiapan untuk ujian akhir semester semakin menyita waktu dan perhatian. Sinta yang berusaha keras memenuhi harapan orang tuanya, mulai jarang hadir dalam latihan-latihan bersama Tito. Situasi ini membuat Tito semakin frustasi dan merasa kehilangan arah.

Suatu hari Tito dan Sinta terlibat dalam percakapan yang sangat emosional di depan perpustakaan sekolah. Tito yang sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya, akhirnya meledak.

"Sinta, aku tidak mengerti! Kamu selalu mendukungku sebelumnya, tapi sekarang kamu terlihat menjauh. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa kamu sudah tidak peduli lagi?" seru Tito dengan suara bergetar.

Sinta, yang juga merasakan tekanan berat dari keluarganya, tidak bisa lagi menahan air matanya. "Tito, aku tidak ingin seperti ini. Tapi keluargaku... mereka punya harapan besar untukku. Aku tidak bisa mengabaikan keinginan mereka."

"Kamu pikir aku tidak punya tekanan juga? Aku juga punya mimpi, Sinta. Tapi aku butuh kamu di sisiku. Kita sudah berjanji akan saling mendukung, apapun yang terjadi," Tito membalas dengan nada yang lebih tinggi.

"Ini tidak semudah itu, Tito! Aku harus memilih antara mendukungmu atau memenuhi harapan keluargaku. Kamu tidak mengerti betapa sulitnya ini untukku," jawab Sinta dengan suara yang penuh emosi.

Pertengkaran mereka menarik perhatian beberapa siswa dan guru yang sedang berada di dekat perpustakaan. Pak Budi dan Bu Wulan yang kebetulan lewat, segera menghampiri mereka. Melihat keadaan yang tegang, mereka mengajak Tito dan Sinta ke ruang guru untuk berbicara lebih lanjut.

Di ruang guru, Pak Budi dan Bu Wulan berusaha menenangkan mereka. "Kalian berdua harus ingat bahwa persahabatan dan dukungan adalah tentang saling memahami dan menghargai satu sama lain," kata Bu Wulan dengan lembut. Tito menunduk berusaha menahan air matanya. "Aku hanya merasa Sinta menjauh dariku, Bu."

Sinta juga tak kuasa menahan tangis. "Aku tidak ingin menjauh, Tito. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan keluargaku."

Pak Budi mencoba memberikan perspektif. "Mungkin kalian perlu mencari cara untuk mengatasi ini bersama-sama. Tidak ada yang salah dengan memiliki mimpi dan harapan, tapi kalian juga harus menemukan keseimbangan."

Pertemuan itu membuat Tito dan Sinta merenung. Mereka menyadari bahwa situasi ini bukan hanya tentang mereka berdua, tapi juga tentang bagaimana mereka bisa saling mendukung tanpa mengabaikan tanggung jawab masing-masing. Konflik ini menjadi titik balik bagi mereka untuk menemukan jalan keluar yang lebih baik bersama-sama.

Tito dan Sinta keluar dari ruang guru dengan perasaan campur aduk. Meskipun nasihat Pak Budi dan Bu Wulan membantu mereka merenung, ketegangan di antara mereka masih terasa. Situasi semakin memuncak ketika Tito mendapat kabar bahwa dia terpilih sebagai ketua tim untuk kompetisi matematika tingkat provinsi. Namun untuk mengikuti kompetisi itu, Tito membutuhkan bantuan dan dukungan Sinta dalam persiapan.

Tito menemui Sinta di taman sekolah berharap bisa berbicara dengannya sekali lagi. "Sinta, aku terpilih sebagai ketua tim untuk kompetisi matematika tingkat provinsi. Aku sangat membutuhkan bantuanmu untuk mempersiapkannya."

Sinta menatap Tito dengan mata berkaca-kaca. "Tito, aku ingin sekali membantumu. Tapi keluargaku sudah memutuskan bahwa aku harus mengikuti kursus tambahan untuk pelajaran sains. Aku tidak punya waktu lagi."

Tito merasa hatinya hancur. "Jadi, ini akhirnya? Kita menyerah begitu saja?"

Sinta menarik napas panjang. "Ini bukan tentang menyerah, Tito. Ini tentang membuat keputusan yang terbaik untuk kita masing-masing. Aku harap kamu bisa mengerti."

Hujan mulai turun deras, seakan-akan mencerminkan suasana hati mereka. Tito berdiri di sana, merasakan dinginnya hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Dia merasa seolah-olah semua harapannya hancur berkeping-keping. Sinta berjalan pergi, meninggalkan Tito dalam keputusasaan.

Hari-hari berikutnya Tito mencoba fokus pada persiapan kompetisi tetapi tanpa kehadiran Sinta, semuanya terasa sulit. Dia merasa kehilangan semangat dan motivasi. Setiap kali hujan turun, dia teringat percakapannya dengan Sinta dan merasa lebih terpuruk.

Di sisi lain, Sinta merasa tertekan dengan beban harapan keluarganya. Dia merasa bersalah karena meninggalkan Tito di saat-saat sulit, tetapi dia juga tidak bisa mengabaikan harapan orang tuanya. Ketegangan ini membuatnya sulit berkonsentrasi, baik di sekolah maupun di kursus.

Tito yang merasa tidak siap tanpa bantuan Sinta hampir menyerah. Di malam sebelum kompetisi, Tito duduk merenung di kamarnya. Dia teringat kata-kata Pak Budi tentang menemukan keseimbangan.

Dalam keputusasaan, Tito mengambil keputusan untuk menelepon Sinta. "Sinta, aku tahu kita sedang dalam situasi sulit. Tapi aku butuh kamu bukan hanya untuk kompetisi ini, tapi sebagai sahabatku. Bisakah kita mencoba menemukan jalan keluar bersama-sama?"

Sinta terdiam sejenak di telepon. "Tito, aku juga merasa kehilanganmu. Aku tidak ingin mengabaikan persahabatan kita. Mungkin kita bisa berbicara lagi dan mencari cara untuk melalui ini."

Percakapan itu memberi secercah harapan bagi keduanya. Meskipun konflik masih ada, mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa menghadapinya sendirian. Mereka berjanji untuk bertemu dan berbicara dari hati ke hati, mencari solusi yang bisa menjaga persahabatan mereka dan memenuhi tanggung jawab masing-masing.

**********

Pada hari kompetisi meskipun Tito merasa gugup, dia merasakan semangat baru yang muncul dari percakapannya dengan Sinta malam sebelumnya. Dengan tekad bulat Tito melangkah ke aula kompetisi siap menghadapi tantangan.

Di saat-saat akhir menjelang lomba dimulai, Tito mendengar suara yang sangat dikenalnya. "Tito!" panggil Sinta sambil berlari menghampirinya. "Aku di sini untuk mendukungmu. Aku sudah berbicara dengan orang tuaku dan mereka akhirnya mengerti betapa pentingnya ini bagi kita berdua."

Tito tersenyum lebar merasa beban di pundaknya berkurang. "Terima kasih, Sinta. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpamu."

Dengan Sinta di sampingnya, Tito menjalani kompetisi dengan penuh percaya diri. Setiap soal yang diberikan dijawabnya dengan ketenangan dan kecermatan, seolah-olah semua rintangan yang dihadapi sebelumnya telah memberinya kekuatan baru.

Ketika hasil akhirnya diumumkan, Tito dinyatakan sebagai pemenang pertama. Tepuk tangan meriah bergema di seluruh aula dan Tito merasakan kehangatan yang luar biasa di dalam hatinya. Dia memandang ke arah Sinta yang tersenyum bangga di antara kerumunan penonton.

Setelah menerima piala Tito dan Sinta duduk bersama di bangku taman sekolah yang biasa mereka tempati. Hujan rintik-rintik kembali turun namun kali ini membawa perasaan damai.

"Terima kasih telah datang, Sinta. Aku tidak akan bisa melakukannya tanpa kamu," kata Tito sambil menggenggam tangan sahabatnya.

Sinta tersenyum lembut. "Kita telah melalui banyak hal bersama, Tito. Aku tahu kita bisa mengatasi apapun jika kita saling mendukung."

Dengan dukungan dari Pak Budi dan Bu Wulan serta pengertian dari keluarga Sinta, mereka berdua menemukan cara untuk menyeimbangkan antara tanggung jawab dan persahabatan mereka. Sinta tetap mengikuti kursus tambahan sains, namun dia juga menyempatkan waktu untuk membantu Tito dan berpartisipasi dalam kegiatan ekstra kurikuler.

Waktu terus berjalan dan tanpa terasa mereka berada di tahun terakhir SMA. Tito dan Sinta menghadapi ujian akhir dan rencana masa depan yang semakin dekat. Meskipun tantangan demi tantangan terus muncul, mereka tetap saling mendukung dan memberikan semangat satu sama lain.

Pada suatu hari yang cerah saat mereka duduk di bangku taman sekolah setelah jam pelajaran, Tito membuka pembicaraan tentang masa depan mereka. "Sinta, apa rencanamu setelah lulus nanti?"

Sinta tersenyum, "Aku masih ingin menjadi dokter seperti yang diharapkan keluargaku. Tapi aku juga ingin tetap terlibat dalam kegiatan sosial dan membantu orang lain. Bagaimana denganmu?"

Tito merenung sejenak sebelum menjawab, "Aku ingin melanjutkan studi di bidang matematika dan mungkin menjadi seorang pengajar. Aku ingin membantu siswa lain menemukan kecintaan mereka pada matematika, seperti yang Bu Wulan dan Pak Budi lakukan untuk kita."

Hari kelulusan pun tiba. Di tengah upacara yang meriah, Tito dan Sinta berdiri bersama, menerima ijazah mereka dengan bangga. Pak Budi dan Bu Wulan hadir memberikan ucapan selamat dan nasihat terakhir sebelum mereka melangkah ke dunia yang lebih luas.

"Jangan pernah lupa untuk selalu mendukung satu sama lain, seperti yang kalian lakukan selama ini," kata Bu Wulan dengan senyum hangat. Setelah upacara mereka berkumpul bersama teman-teman dan keluarga merayakan pencapaian mereka. Di tengah kebahagiaan itu, Tito dan Sinta merenungkan perjalanan mereka yang penuh liku dan tantangan.

Malam itu saat hujan turun dengan lembut, mereka berdua duduk di teras rumah Sinta mengingat kenangan-kenangan indah yang telah mereka lalui. Tito memandang ke langit yang berawan, lalu menoleh ke arah Sinta. "Kita sudah melalui banyak hal, Sinta. Aku yakin apapun yang terjadi nanti, kita akan tetap saling mendukung."

Sinta mengangguk, "Betul, Tito. Hujan mungkin bisa menghapus jejak di jalan, tapi tidak bisa menghapus kenangan dan persahabatan kita."

Mereka berdua tertawa, merasa lega bahwa meskipun perjalanan mereka penuh dengan rintangan, mereka selalu menemukan cara untuk bangkit dan melangkah maju. Persahabatan mereka adalah sesuatu yang tidak akan pernah hilang meskipun hujan deras sekalipun.

Pada tahun-tahun berikutnya meskipun mereka melanjutkan pendidikan di tempat yang berbeda, Tito dan Sinta tetap menjaga komunikasi. Mereka sering bertukar cerita dan memberikan semangat satu sama lain melalui telepon dan pesan singkat.

Ketika Sinta berhasil masuk ke fakultas kedokteran, Tito tidak ketinggalan mengirimkan pesan ucapan selamat. "Selamat, Dokter Sinta! Aku tahu kamu bisa melakukannya."

Sinta membalas dengan senyum lebar, "Terima kasih, Tito. Kamu juga harus tetap semangat dengan studimu di bidang matematika."

Begitu juga sebaliknya, saat Tito diterima di universitas ternama untuk studi matematika, Sinta memberikan ucapan selamat dan dorongan. Mereka berdua menyadari bahwa meskipun terpisah oleh jarak, dukungan dan persahabatan mereka tetap kuat. Pada akhirnya, setelah menyelesaikan pendidikan mereka, Tito dan Sinta kembali ke Samarinda. Tito menjadi seorang guru matematika di sekolah mereka dulu, sedangkan Sinta menjadi dokter muda yang berdedikasi. Mereka kembali bekerja sama dalam berbagai kegiatan sosial, membantu komunitas dan memberikan inspirasi kepada generasi muda.

Ketika sore mereka berdua duduk di teras rumah sakit tempat Sinta bekerja. Tito merenung sambil memandang hujan yang turun. "Sinta, aku rasa hujan ini selalu membawa kenangan indah tentang perjalanan kita."

Sinta tersenyum, "Betul, Tito. Hujan menghapus jejak, tapi tidak pernah bisa menghapus kenangan dan persahabatan kita."

Mereka berdua saling memandang dan menyadari bahwa meskipun perjalanan hidup penuh dengan tantangan, mereka telah menemukan kekuatan dan inspirasi dalam persahabatan mereka. Mereka berdua merasa yakin bahwa apapun yang terjadi, mereka akan selalu memiliki satu sama lain.

Akhir cerita mereka menjadi inspirasi bagi banyak orang. Mereka menunjukkan bahwa dengan dukungan dan kepercayaan, kita bisa mengatasi segala rintangan dan mencapai impian kita. Hujan mungkin bisa menghapus jejak di jalan, tapi kenangan dan persahabatan yang sejati akan selalu abadi di dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun