"Ini tidak semudah itu, Tito! Aku harus memilih antara mendukungmu atau memenuhi harapan keluargaku. Kamu tidak mengerti betapa sulitnya ini untukku," jawab Sinta dengan suara yang penuh emosi.
Pertengkaran mereka menarik perhatian beberapa siswa dan guru yang sedang berada di dekat perpustakaan. Pak Budi dan Bu Wulan yang kebetulan lewat, segera menghampiri mereka. Melihat keadaan yang tegang, mereka mengajak Tito dan Sinta ke ruang guru untuk berbicara lebih lanjut.
Di ruang guru, Pak Budi dan Bu Wulan berusaha menenangkan mereka. "Kalian berdua harus ingat bahwa persahabatan dan dukungan adalah tentang saling memahami dan menghargai satu sama lain," kata Bu Wulan dengan lembut. Tito menunduk berusaha menahan air matanya. "Aku hanya merasa Sinta menjauh dariku, Bu."
Sinta juga tak kuasa menahan tangis. "Aku tidak ingin menjauh, Tito. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan keluargaku."
Pak Budi mencoba memberikan perspektif. "Mungkin kalian perlu mencari cara untuk mengatasi ini bersama-sama. Tidak ada yang salah dengan memiliki mimpi dan harapan, tapi kalian juga harus menemukan keseimbangan."
Pertemuan itu membuat Tito dan Sinta merenung. Mereka menyadari bahwa situasi ini bukan hanya tentang mereka berdua, tapi juga tentang bagaimana mereka bisa saling mendukung tanpa mengabaikan tanggung jawab masing-masing. Konflik ini menjadi titik balik bagi mereka untuk menemukan jalan keluar yang lebih baik bersama-sama.
Tito dan Sinta keluar dari ruang guru dengan perasaan campur aduk. Meskipun nasihat Pak Budi dan Bu Wulan membantu mereka merenung, ketegangan di antara mereka masih terasa. Situasi semakin memuncak ketika Tito mendapat kabar bahwa dia terpilih sebagai ketua tim untuk kompetisi matematika tingkat provinsi. Namun untuk mengikuti kompetisi itu, Tito membutuhkan bantuan dan dukungan Sinta dalam persiapan.
Tito menemui Sinta di taman sekolah berharap bisa berbicara dengannya sekali lagi. "Sinta, aku terpilih sebagai ketua tim untuk kompetisi matematika tingkat provinsi. Aku sangat membutuhkan bantuanmu untuk mempersiapkannya."
Sinta menatap Tito dengan mata berkaca-kaca. "Tito, aku ingin sekali membantumu. Tapi keluargaku sudah memutuskan bahwa aku harus mengikuti kursus tambahan untuk pelajaran sains. Aku tidak punya waktu lagi."
Tito merasa hatinya hancur. "Jadi, ini akhirnya? Kita menyerah begitu saja?"
Sinta menarik napas panjang. "Ini bukan tentang menyerah, Tito. Ini tentang membuat keputusan yang terbaik untuk kita masing-masing. Aku harap kamu bisa mengerti."