Mohon tunggu...
Vox Populi
Vox Populi Mohon Tunggu... Buruh - Pengamat

Vox populi vox moneta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Megawati adalah Contoh Betapa Tak Terhingga Kasih Seorang Ibu

6 Oktober 2022   16:08 Diperbarui: 6 Oktober 2022   16:11 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO: CNN Indonsia/Safir Makki

Kasih ibu kepada beta//

Tak terhingga sepanjang masa//

Hanya memberi, tak harap kembali//

Bagai sang surya menyinari dunia//

Pasti tahu lagu di atas, kan? Sebuah lagu anak-anak ciptaan SM Mochtar alias Mochtar Embut. Singkat, tetapi dalam isinya. Menggambarkan sebuah kebenaran yang tak terelakkan. Bahwasanya kasih seorang ibu pada anaknya tak terhingga.

Tak hanya ketika masih kecil, sampai masa dewasa pun kasih seorang ibu akan terus mengucur pada anaknya. Bahkan sampai si anak beranak-cucu sekalipun dan si ibu sudah renta dimakan usia.

Mau bukti? Lihatlah Megawati Sukarnoputri.

Diah Permata Megawati Setiawati Sukarnoputri, demikian nama lengkap puteri Sang Proklamator. Beliau adalah presiden perempuan pertama, sekaligus sampai saat ini masih menjadi satu-satunya, di Republik Indonesia.

Sebagai anak biologis Soekarno, Megawati mengantungi modal luar biasa besar untuk berkiprah di panggung politik nasional. Adalah Presiden daripada Soeharto yang membukakan jalan untuk itu, meski mungkin tanpa diniatkan demikian.

Semua bermula pada penganugerahan gelar Pahlawan Proklamasi pada Soekarno di tahun 1986. Megawati, saat itu berusia 39 tahun, menghadiri seremoni kenegaraan tersebut.

Momen ini ditangkap sebagai peluang oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sebagaimana diketahui bersama, PDI merupakan hasil merger sejumlah partai-partai non-Islam di DPR RI. Salah satunya Partai Nasional Indonesia (PNI) bentukan Soekarno.

Merasa sebagai ahli waris PNI dan juga idealisme politik Soekarno, para petinggi PDI lantas menggaet Megawati. Tujuannya apalagi kalau bukan sebagai vote-getters, penambang suara?

Terlebih waktunya dirasa pas, sebab ada agenda pemilihan umum di tahun 1987. PDI mendapat izin untuk "berjualan" nostalgia Soekarno dalam kampanye. Partai berlogo kepala banteng ini melihat Megawati yang anak kandung Soekarno dapat melambungkan perolehan suara.

Megawati sendiri mendaftar sebagai anggota PDI pada 1987, sebelum Pemilu digelar. Tak hanya menjadi anggota biasa, PDI mencalonkan Megawati sebagai anggota DPR RI.

Mudah ditebak, Megawati lolos ke Senayan sekalipun PDI menempati urutan buncit dalam hal perolehan suara. Kalah dari Golongan Karya (Golkar) dan juga Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berada di posisi 1-2.

Dijegal, Tetapi Malah Menanjak

Dari sinilah karier politik Megawati perlahan menanjak. Ketika PDI menggelar kongres pada 1993, Megawati maju sebagai salah satu kandidat ketua umum. Saingannya adalah Suryadi dan Budi Harjono.

Seperti lazimnya di masa Orde Baru, Pemerintah mencampuri urusan dapur PDI. Ada upaya untuk menghambat proses pemilihan ketua umum, sebab disinyalir mayoritas anggota bakal memilih Megawati.

Inilah yang tidak diinginkan Presiden daripada Soeharto. Sudah susah payah menenggelamkan aura dan nama besar Soekarno, bagaimana mungkin membiarkan puterinya naik daun seperti ini?

Namun upaya menggagalkan kongres PDI waktu itu dibalas Megawati dengan cantik. Dua jam sebelum waktu yang diberikan habis, Megawati melakukan konferensi pers untuk mengumumkan dirinya sebagai ketua umum baru karena mendapat dukungan dari mayoritas anggota partai.

Pemerintah kebakaran jenggot. Terlebih pada 1994 PDI mengukuhkan status Megawati sebagai ketua umum. Sementara itu massa pendukung PDI semakin membesar berkat nostalgia Soekarno yang dijadikan andalan.

Tahun 1996, upaya Pemerintah menggembosi Megawati dilakukan dengan mensponsori kongres PDI di Medan. Dalam kongres itu Suryadi terpilih sebagai ketua umum. PDI-pun terbelah antara kubu Megawati dan kubu Suryadi.

Berbekal dukungan pemerintah, kubu Suryadi yang merasa sebagai pengurus sah berusaha merebut kantor pusat PDI di Jakarta. Terang saja kubu Megawati tidak mau menyerahkan begitu saja.

Puncaknya adalah apa yang kita kenal sebagai Peristiwa Kudatuli, "kudeta" 27 Juli 1996. Kubu Megawati terusir, sedangkan kubu Suryadi ditetapkan Pemerintah sebagai pengurus sah PDI.

Meski secara politik kalah, ternyata kejadian ini kian melambungkan popularitas Megawati. Dia mendapatkan momentum emas saat Soeharto lengser dan ada desakan untuk membentuk pemerintahan baru dengan menggelar Pemilu pada 1999.

Tekad Bulat

Jelang Pemilu 1999, Megawati dan pendukungnya mendirikan PDI Perjuangan. Sama-sama berlogo kepala banteng, tetapi bentuknya bulat dan bantengnya tampak marah dengan sepasang mata merah darah.

Kita sama-sama tahu, PDIP keluar sebagai peraih suara terbanyak dalam Pemilu 1999. Artinya, politikus PDIP mendominasi dewan legislatif yang akan mendapat amanat untuk memilih presiden dan wakil presiden.

Kemenangan PDIP dan popularitasnya yang tengah di puncak, membuat nama Megawati digadang-gadang sebagai calon kuat presiden terpilih. Keadaan yang membuat PDIP lengah, sehingga kecolongan oleh Amien Rais yang menggalang Poros Tengah.

Apa yang dilakukan Amien Rais meruntuhkan imaji PDIP untuk mengembalikan Megawati sebagai penghuni Istana Negara.  Ternyata kebanyakan partai di DPR/MPR bergabung dengan Poros Tengah, mengeroyok PDIP.

Di luar perhitungan banyak pihak, justru Abdurrahman Wahid yang keluar sebagai pemenang pemilihan presiden di MPR. Megawati duduk di urutan kedua, sehingga mau tak mau harus rela menjadi wakil presiden.

Jadi, Megawati adalah ketua umum partai pemenang pemilu yang gagal menjadi presiden. Ketika kemudian dia "naik pangkat" jadi presiden, itu terjadi karena (lagi-lagi) manuver Amien Rais yang mendongkel Gus Dur.

Pendek kata, Megawati dan PDIP terlihat kurang lincah dalam beratraksi di panggung politik. Kemalangan yang mereka terima di 1999 dan keuntungan yang mereka dapat pada 2001 adalah akibat manuver pihak lain.

Seolah tak mau belajar dari pengalaman, PDIP dan Megawati kembali kena tikung di Pemilu 2004. Bekas pembantu Megawati di kala menjabat presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mendirikan Partai Demokrat yang langsung melesat sebagai pemenang.

SBY melangkah lebih jauh dengan menantang Megawati di Pemilihan Presiden (Pilpres). Kali pertama rakyat Indonesia dapat menentukan presiden pilihannya secara langsung.

Hasilnya? Megawati kalah di 2004. Bahkan kembali menelan kekalahan ketika terjadi rematch di 2009.

Jelang Pemilu 2014, nama Joko Widodo tiba-tiba saja melejit. Media darling yang namanya selalu muncul di pemberitaan. Megawati sebetulnya ingin maju lagi sebagai capres, tetapi atas nasihat beberapa petinggi PDIP akhirnya memilih menunjuk Jokowi sebagai calon usungan PDIP.

Saatnya Anak Sendiri

Jokowi memenangkan Pilpres 2014, melengkapi kemenangan PDIP di pemilihan legislatif. Membuat nama Jokowi semakin melambung setinggi langit, meski oleh Megawati selalu diingatkan: "hanya petugas partai".

Menyesalkah Megawati, sebab pada Pemilu 2019 dirinya "terpaksa" kembali harus merelakan status capres PDIP kepada Jokowi yang disukai masyarakat kalangan bawah? Hanya Megawati dan Tuhan yang tahu.

Yang jelas, Megawati memang tidak berniat maju waktu itu. Momentumnya sudah hilang. Sebagai seorang ibu, dapat dimaklumi jika kemudian dia ingin Puan Maharani yang menggantikan dirinya. Nama Puan memang sempat mencuat sebagai capres PDIP.

Namun PDIP belum cukup percaya diri, sebab Puan kalah popular dari Jokowi. Selain itu, kinerjanya sebagai Menkokesra juga kerap disorot. Modalnya hanyalah darah Soekarno dan dukungan penuh dari sang ibu.

Apa boleh buat, demi eksistensi partai akhirnya kembali Jokowi yang dimajukan pada 2019. Dan ... berhasil.

Pada 2024, Jokowi tak boleh lagi mencalonkan diri. Inilah saat yang tepat bagi Megawati dan PDIP untuk mendorong Puan. Sekarang puterinya itu sudah punya pengalaman banyak. Di kabinet sudah menjadi menteri koordinator, di parlemen saat ini menduduki posisi ketua DPR.

Toh, satu-satunya kekurangan Puan adalah elektabilitas. Dari berbagai hasil survei terlihat bagaimana elektabilitas cucu Soekarno ini masih sangat rendah.

Di tengah segala upaya untuk mendongkrak nama Puan, muncullah Ganjar Pranowo dengan segala popularitasnya. Nama kader PDIP ini digadang-gadang sebagai salah satu capres potensial di 2024.

Sangat dapat dimaklumi jika Megawati dan PDIP kemudian ketar-ketir mendapati keadaan ini. Sudah cukup 2014 dan 2019 memberikan panggung bagi selain trah Soekarno. Pilpres 2024 harus menjadi panggung bagi keturunan Sang Proklamator yang adalah identitas PDIP.

Puan harus maju di 2024, tidak boleh tidak. Kalau 2024 tidak maju, siapapun yang terpilih bisa dipastikan bakal maju lagi sebagai incumbent di 2029. Puan bakal kalah popularitas lagi.

Bagaimana dengan 2034? Bisa-bisa kehilangan momentum. Lagi pula, saat itu Megawati akan berusia 87 tahun. Terlalu tua untuk ikut berkampanye mempromosikan puterinya ke mana-mana.

Tahu betul nilai minus Puan di elektabilitas, maka popularitasnya harus didongrak sejak sekarang. Itu sebabnya kita melihat serbuan banner "kepak sayap kebhinekaan" beberapa waktu lalu.

Sayangnya, bagi Puan dan Megawati, langkah tersebut rupanya tak cukup ampuh. Ganjar semakin moncer, sedangkan Puan jalan di tempat. Kalau tidak melakukan gebrakan besar, tak akan ada peluang bagi puteri Megawati.

Kalau kemudian kita disuguhkan "drama" seolah-olah Ganjar dibuang oleh PDIP, percayalah itu bukan berarti PDIP membenci Ganjar. Itu semata-mata bentuk kasih seorang ibu pada anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun