"Mamak jaga kesehatan lo" kataku sambil mengusap pundaknya, aku bergegas masuk gerbong, mamak tak menjawab, ekspresinya masih dingin. Kutatap mamak dari kaca jendela, ia menatapku tak berkedip, tersirat sebongkah tanya yang tertahan di mata itu. hatiku mulai rusuh.
"Bulek nggak ikut?" Sekar menghadangku di pintu
"Aku ndak bisa cerita ke mamak Kar" kataku pelan, Sekar mendesah kesal lalu menghempaskan tubuhnya di kursi.
Sejak kepulanganku, Sekar banyak diam. Tapi, ia tetap memasak bubur untukku tiap pagi, bahkan obat -- obatanku di taruhnya di dekat mangkuk bubur. agaknya Sekar lebih mencemaskanku dari pada diriku sendiri.
"Zaf, ditunggu Ustadzah Sal di ruangannya" Sekar menyapaku di muka kelas tiga, aku mengangguk.
"Zafrina, ada pesan dari Ustadz Santoyib untukmu, Ehm..langsung ke inti saja ya, Ustadz Santoyib tanya, apa kau sudah punya calon suami pilihan sendiri?" Ustadzah Sal tersenyum, kenapa pula Ustadz Santoyib menanyakan hal itu.
"Be..belum Ustadzah" jawabku agak gugup. Mendengar jawabanku senyum  Ustadzah Sal makin mengembang, aku bingung.
"Alhamdulillah..begini Zaf, anak bungsu Ustadz Santoyib baru lulus dari UII Jogja, dan rencananya mau mengajar pula di sini, Ustadz Santoyib bermaksud menjodohkan anaknya denganmu, mungkin besok Nana mulai mengajar di sini, dia yang bakal menggantikan Ustadz Santoyib memimpin pondok ini" Ustadzah Sal antusias bercerita. Seketika hatiku terkejut, seberkas hangat menyusup di benakku.
Ba'da maghrib malam itu, Ustadzah Sal ke kamar kami. Kembali menyampaikan pesan Ustadz Santoyib.
"Zaf, lusa rencananya Ustadz Santoyib dan keluarga mau berkunjung ke rumahmu untuk melamar, selang seminggu akad nikah akan dilangsungkan, Ustadz Santoyib bilang, Nana tak mau menunda -- nunda, apa kau siap? Segera kabari ibumu" Ustadzah Sal menatapku serius. Ada bahagia yang membuncah di sela kekhawatiran.
"Alhamdulillah..siapa? anak pimpinan pondok tempatmu mengajar? Alhamdulillah.." terdengar suara bahagia mamak berderai di ujung telepon.