Usai sholat Isya malam itu, mamak sigap menggelar tikar pandan di tengah ruangan. Dua piring nasi mengepul, semangkuk tumis bunga kates, tempe goreng dan sambal terasi, tampak menantang di bawah sinar lampu yang redup. Aku tak mau mengulur waktu. Aku selalu merindukan moment seperti ini dengan mamak.
Menjelang suapan pertama, aku tersentak. Aku berdehem meraih cerek berisi air lalu menuangkan isinya ke dalam piring nasiku, mamak bengong.
"Lho..lho..kok nasimu disiram air? Nasinya kurang banyak?" mamak heran
"Ditambah air pasti lebih sedap mak, nyamm..kan lebih enak" aku agak gugup. Sekarang makanan seperti ini sulit kucerna, makanya kusiram air. Untung mamak tak curiga.
"Kapan ya mak aku bisa pulang lagi?" tanyaku menjelang tidur, aku terkejut dengan pertanyaanku sendiri. Sesaat mamak manatapku aneh.
"Kau bisa pulang kapan pun kau mau, jangan ngelantur..dan kalau pulang nanti usahakan bawa calon menantu untuk mamak" jawab mamak agak ketus.
Tajam kutatap lantai peron Stasiun Klaten pagi itu, memilah kata untuk kuucapkan, tapi aku gagal. sementara mamak sibuk mengikat bungkusan berisi lauk dan makanan kegemaranku.
"Zaf" mamak menatapku lekat, menelusuri wajahku dan menyelami mataku, entah apa yang ia cari di sana hingga dahinya berkerut. Apa mamak menemukan sesuatu di mataku?
"Kau menyimpan rahasia" tangan mamak menyentuh pundakku, aku tergeragap.
"Ha..ha..rahasia opo to mak?" kupaksakan tawa untuk menutupi kegugupan.
"Eh, mak kereta mau berangkat!" kuraih tangan mamak, matanya masih menyimpan curiga.