"Alamak! Kau yakin Prol?" Â Burhan berhenti menghisap kreteknya.
"Aku harus bisa menaklukkan Zurai, lihat saja nanti dia bakal tergila -- gila padaku" Saprol cengengesan sambil menyeka rambut gondrongnya.
"Prol..Prol..jangankan Zurai, Sonia yang gila itu saja belum tentu mau sama kamu, cih!" Â Bagio terpingkal -- pingkal.
"He! Sampeyan ojo dumeh! Saprol menunjuk muka Bagio dengan mata berkilat lalu beranjak meninggalkan permainan gap yang baru dimulai, seketika Bagio bungkam. Jalanan mulai remang, Adzan Maghrib baru selesai dikumandangkan
"Kesempatan! Bapak pasti ke Mushola" Saprol mempercepat langkah. Akhir -- akhir ini, Saprol menghindar bertemu Bapak. Bapak pun agaknya tak mau bertatap muka dengan Saprol. Tepatnya sejak lima hari lalu. Bapak uring --uringan hingga dadanya sakit, usai menenggak obat Bapak duduk bersandar di tiang tengah rumah, nafasnya tersengal.
"Prol, maafkan Bapak, mulai hari ini Bapak nyerah menghadapi kamu, Bapak  ndak akan uring -- uringan lagi kalo kamu mau main gap sampai pagi terus disambung mengadu ayam seharian, Bapak ndak kuat lagi Prol, kamu sudah dewasa malah sudah tua, kau sadar umurmu baru saja genap 32? Bapak dan Emakmu tidak kurang mendidikmu sejak kecil, tapi mulai hari ini Bapak menyerah, ingat! Kelak di hadapan Tuhan jangan menuntut dan menyalahkan Bapak" dengan perasaan hancur lebur Bapak terhuyung -- huyung masuk kamar, sementara Emak menatap Saprol dalam -- dalam tanpa kata. Saprol berdehem lalu masuk kamar.
"Mak! Mak!" Saprol mengetuk pintu
"Pelankan suaramu, Bapak lagi ngaji" Emak menepuk lengan Saprol
"Lho..Bapak nggak ke Mushola?" Saprol kaget
"Kakinya nyeri, jadi Sholat di rumah" Emak melepas mukena.
Saprol cekatan byar -- byur mandi sekenanya, lalu menyelinap ke kamar, mengobok -- obok lemari tua mencari pakaian.