"Sekian lama ku dirantau orang, ingin kucepat pulang ke kampung halaman..Delima...Abang pulang..Aduh mak, abang pulang tuh mak. Tanam tebu ditanam, tanam di tanah Deli.."
Lagu dangdut lawas mulai mengalun di kedai kopi mbak Sum. Di kedai itulah pemuda -- pemuda Tempur Sari berlabuh kala malam, untuk membanting kartu, main gap, minup kopi atau sekedar nongkrong.
Saprol langsung menuju kursi sudut. Burhan dan Bagio sudah menunggu, segera mbak Sum menyajikan tiga cangkir kopi hitam beraroma kental. Saprol mengeluarkan bungkusan kretek dari balik jaket. Cepat saja Bagio menyambar bungkusan itu.
"Kenapa wajahmu? Bapakmu uring --uringan lagi?" Bagio menyulut kretek. Saprol menggeleng, diam beberapa saat.
"Ck..sampai kapan ya aku jadi lelaki tak berguna seperti ini?" Saprol menyandarkan tubuhnya, menghisap dalam kretek hingga matanya setengah terpejam, ada segumpal badai yang ingin dihalau. Burhan dan Bagio saling menyikut.
"Kenapa dia?" Burhan berbisik
"Kena sawan kali" seringai Bagio
"Sampai kapan? Ck..yang jelas aku nggak mau nunggu sampai dikafani" Saprol mematikan kretek yang masih panjang, menenggak kopi hingga separo lalu beranjak. Burhan dan Bagio melongo.
Adzan Subuh belum berkumandang, Saprol bangkit dari kasur lusuhnya, berjalan pelan ke belakang. Tepat saat Adzan berkumandang, Saprol sudah siap di atas sajadah hujau bludru.
"Mak, mak mau kan punya mantu macam Zurai?" Saprol menyeruput pelan teh manis di atas meja, Emak yang tengah mengaduk nasi menoleh dengan tatapan kesal, menyambar panci, segera panci itu mendarat di punggung Saprol.
"Adaww...sakit mak!" Saprol menjerit.