"Doa sampeyan juga Bukne" Bapak mengusap wajah menghilangkan kantuk lalu bangkit
      Usai sholat Subuh, Saprol berkemas memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas bahan kain dengan gambar sang maestro. Tas sudah siap, Saprol berdiri di depan cermin kusam, mendapati wajahnya yang tak biasa. Rambut gondrong itu dipangkas habis.
      "Mak, Saprol pamit" Saprol mendekati maknya yang tengah menyeduh teh di dapur
      "Pamit?" Emak menatap lekat tas saprol
      "Iya mak, sudah saatnya, Burhan mau pulang ke Sumatera pagi ini, dia menawari Saprol untuk merantau, Saprol mau coba menjejakkan kaki di tanah Sumatera mak, Saprol usahakan nanti pulang bawa menantu yang lebih baik dari Zurai untuk Mak dan Bapak" Saprol meraih tangan Emaknya yang dingin.
      "Maafkan Saprol Mak" suara Saprol tertahan, air matanya mengalir. Bapak mengintip dari balik tirai kamar menahan isak pula, ingin benar ia keluar dan memeluk Saprol.
      "Ah..bujangku yang keras ini ternyata bisa melankolis juga" Batin Bapak.
      "Pak, Saprol berangkat" Saprol pamitan dengan bapaknya dari balik tirai kamar, tak ada jawaban dari Bapak, hanya terdengar isak yang tertahan. Tak ada kata -- kata dari emak untuk melepas anak bujangnya yang ingin merantau tiba -- tiba. Tapi, ada rona bahagia yang tersirat di wajah tua Emak. Saprol melangkah mantap meninggalkan pelataran rumah
      "Tin..tin.." mobil Pick up hitam yang mengangkut sayur ke kota menepi di hadapan Saprol.
      "Ayo Prol!" teriak Burhan.
      Saprol menoleh sekali ke rumahnya, lalu bergegas melompat ke mobil. Pick up hitam itu melaju kencang membelah kabut yang masih menyelimuti Tempur Sari. Angin pagi terus menampar wajah Saprol. Ada ruang kosong yang menjelma di sudut hati, lantaran meninggalkan rumah dengan perasaan yang mengambang. Tapi, Saprol yakin badai itu akan segera menepi.