"Mak, Saprol keluar" Saprol setengah berbisik pada maknya, belum sempat Emak menjawab, Saprol sudah lenyap.
"Bukne, Saprol main gap lagi?" Bapak duduk bersandar di bale -- bale depan rumah, Emak tak menjawab, hanya berdehem pelan.
"Pakne benar -- benar nyerah menghadapi Saprol?" Â Emak melirik Bapak. Bapak diam, mata tuanya menatap jauh di keremangan malam, bilah -- bilah daun kelapa gading samping rumah bergesekan dimainkan angin malam.
"Saya nyerah Bukne, tapi sampeyan jangan ikut -- ikutan nyerah lo" Bapak melirik Emak.
"Prol..Prol..bangun Subuhan" Emak menggedor pintu kamar Saprol. Saprol bangkit dengan raut kusut, terhuyung berjalan ke belakang. Usai mencuci muka, Saprol mengintip ke arah dapur, hati -- hati membuka pintu belakang lalu menyelinap keluar. Sambil cengengesan Saprol mengeluarkan ayam jagonya dari kandang, menoleh ke arah dapur sekali lagi, lalu berlari kecil menuju lapangan dekat pos ronda untuk mengadu ayam. Beberapa pemuda Tempur Sari sudah siap dengan ayam jagonya. Tiap minggu pagi, lapangan kecil itu ramai oleh para pengadu ayam. Emak hanya bisa mengurut dada saat menyadari Saprol tak ada di kamar dan pintu belakang sudah terbuka.Â
"Ngadu ayam lagi?" Bapak tiba -- tiba muncul, Emak bungkam.
Menjelang pukul sepuluh, Saprol pulang, berjalan mengendap ke belakang rumah, memasukan jago kesayangannya ke kandang.
"Mau sampai kapan begini terus Prol?" Emak berdiri di belakang Saprol, Saprol gelagapan.
"Sampai kapan? Sampai kamu dikafani?" tangan Emak bergetar menahan emosi
"Kalo kamu sudah dikafani nanti, gantian kamu yang di adu sama jagomu ini" Emak menunjuk jago Saprol yang berkedip -- kedip dalam kandang.
"Emak ndak tau mesti ngomong dan marah dengan cara apa lagi Prol! Rasa -- rasanya Mak ndak kuat lagi" mata Emak memerah lalu bergegas masuk dapur. Tak ada bantahan dari Saprol. Saprol memang tak pernah membantah, tapi tingkanya terus saja membantah.