Dari awal, Abak tidak setuju dengan pilihanku, terlebih Amak. "Bapikialah Ned, guru la banyak di Indonesia ko,'ang indak cocok jadi guru". Lagi, Amak mengomel, ditambah pula dengan anggukan kepala Abak, dengan raut jengkel, tangan Amak tetap piawai menyusun lembar -- lembar daun sirih, kapur, dan secuil pinang, saat sirih sudah dikunyah, raut jengkelnya berangsur surut, sementara aku, duduk bersila tekun menunggu perkataan berikutnya.Â
Amak jongkok mendekati dinding yang berlubang, "tepat!" seruku dalam hati, inilah bagian yang paling aku suka, Amak tak pernah meleset saat meludah di lubang itu meskipun jarak Amak dan lubang tak terlalu dekat. Berikutnya, mulut Amak memerah dahsyat.
John Fitzgerald Kennedy Chaniago, "Ssshhh..." aku mendesis, gagah benar namaku, tapi aku terkesan ringkih karena perawakanku yang agak tinggi dan ramping, rambut tipisku belah pinggir dan seulas jenggot menghiasi daguku, teman -- teman kuliah sering bilang, aku mirip Ustadz kondang yang sering muncul di TV, tapi aku dipanggil Ned sejak kecil, tidak adil.Â
"Untuk Kedjajaan Bangsa" kuamati ejaan lama di kartu mahasiswaku. Masa PKL ku tinggal dua minggu lagi, tapi laporan PKL, satu halaman pun belum kutulis. Ck..apa yang harus kutulis mengenai sekolah favorit yang berstandar internasional itu. Tampak sempurna, tak ada kekurangan sama sekali, tapi..setelah hampir dua bulan aku PKL disana, kupikir..aku keliru.
Jadwal masuk 06:45, pulang pukul tiga sore, kadang setengah empat, dan jika ada tambahan belajar atau kegiatan, menjelang maghrib baru pulang. Awalnya kupikir murid -- murid itu menikmatinya, nyatanya tidak.Â
Setiap mengajar, kudapati raut wajah para murid yang tegang, gelisah, bahkan ada yang pias. Rupanya pias lantaran menahan sakit perut, jika sudah begitu, terpaksa istirahat di UKS. Kupikir..ia tak sempat sarapan. Tugas mandiri untuk setiap pelajaran nyaris ada setiap hari, tugas menghafal, presentasi, ck..ck..ck.. mereka pasti tak ada waktu untuk mandi di sungai, layaknya aku SMP dan SMA dulu.
Waktu mereka sebagian besar habis di sekolah, di rumah hanya malam hari Karena sepulang sekolah harus mengerjakan tugas. Bagaimana mereka bisa dekat dengan  orang tua di rumah. Hari libur pastilah sangat berharga bagi mereka, ah..aku lupa, hari libur pun mereka ada kegiatan ekstrakulikuler. Jadi, kapan mereka bisa belajar dari lingkungan, belajar bersosialisasi. Entahlah..
Tak heran jika pemuda ini hari banyak yang tak mengenal tetangganya. Ku akui, murid -- murid itu tumbuh cerdas, jenius, aktif, tapi..hal itu harus dibayar dengan ketidakpedulian mereka pada lingkungan, rasa simpati dan empati yang memudar, sikap perilaku dan budi pekerti mereka benar -- benar mencemaskan. Fiuhh...kusandarkan punggung di dinding, kuterawang sarang laba -- laba yang bergelantungan di palfon kamarku.
 "Ned! Apa solusi yang kau tawarkan?" suara jiwaku menggedor -- gedor ruang pikiran. Aku teringat artikel yang pernah kubaca di surat kabar awal -- awal kuliah dulu.Â
Mengenai sistem pendidikan di Jepang, aku tak tahu pasti apa metode ini sekarang masih diterapkan disana. Cara untuk melatih disiplin, tanggung jawab, kejujuran, untuk siswa setara SD, para guru mewajibkan setiap murid untuk menanam tumbuhan di halaman kelas.Â
Sebelum memulai pelajaran, para murid harus memeriksa tanaman masing -- masing, menyiram, mencabut rumput, dan melaporkan perkembangan tanaman pada guru. Terdengar sederhana bukan? Tapi metode itu benar -- benar berhasil melatih disiplin, tanggung jawab dan kejujuran para murid sejak duduk di bangku SD. Apa aku harus menerapkan metode itu saat menjadi guru nanti? Kupikir.
Untuk membentuk sikap, perilaku dan budi pekerti, aku yakin dengan didikan orang tua dirumah, didukung pula dengan didikan guru di sekolah, itu akan berhasil. "Ned!! Panjek karambia!" Amak berteriak sambil menyibak tirai kamarku, tergeragap benar aku dibuatnya, mata Amak mengikuti mataku yang menerawang plafon.Â
Ck..beginilah jika aku dirumah, tugas memanjat kelapa dilimpahkan padaku. Sekilas kulirik Son, adikku satu -- satunya cengengesan, nama panjangnya Harley Davidson, karena dulu semasa muda, Abak hobi mengoleksi gambar Harley Davidson, sambil bersiul aku berjalan ke belakang rumah. Kupikir, aku sudah menemukan bahan untuk laporan PKL ku.
Lepau -- lepau pinggir jalan mulai berasap, tapi, lepau EtekNeli lah yang paling tenar di nagari Balimbing ini. "Ba'a kaba Ned?" tek Neli menyambutku, "kaba baik tek" tiba -- tiba tangan gempal menepuk bahuku, rupanya Pudin tiba lebih dulu, ah..teman lama itu tak banyak berubah.
Tek Neli menghidangkan teh hangat dan setoples kacang tojin, terang saja perbincangan kami kian renyah, diiringi alunan pop minang yang bersemangat.Â
Obrolan kami terhenti saat lelaki muda berkaca mata tebal masuk lepau, tek Neli yang tengan mengaduk nasi bergegas menyambutnya, tapi lelaki muda masih fokus mengamati layar ponsel, telunjuk tangannya asyik menggeser layar yang tipis benar itu, hingga beberapa saat, "pesan apo dek?" tek Neli tampak kesal, "ohh.." lelaki muda terkejut, dengan mata dan tangan tetap fokus pada ponsel, ia menyebutkan beberapa lauk, saat membayar dan meninggalkan lepau pun ia tak mengucap terimakasih.Â
Kupandangi punggungnya hingga menghilang, "siapo tu Din?" aku setengah berbisik ke telinga Pudin, "ck..raymond Ned, anak pak Sulthan, yang kuliah di singapura" "ohh.." miris aku melihatnya.
"Urang Cadiak, pendidikan tinggi, tapi perangai naudzubillah!" terdengar umpatan tek Neli. Belum hilang rasa heranku, pemuda berambut ikal masuk lepau, "Assalamualaikum tek.." "Wa'alaikumsalam Dun" tek Neli sumringah, "nasi ikan duo bungkus tek" pinta Midun sopan, sesaat Midun melihat kearahku, lalu mendekat, "hah..uda Ned! Bilo baliak da?"Â
Midun menjabat tanganku, "kemaren Dun" aku tersenyum lebar, "la bujang makin ganteng 'ang Dun" kuperhatikan penampilannya, Midun menunduk malu. Ah..kontras benar perbedaanya bukan? Raymond, pemuda cerdas kuliah hingga keluar negeri, nilai sikapnya jauh di bawah Midun, pemuda yang SD nya saja tidak tamat, kesehariannya bergelut dengan sawah dan kerbau,Â
tapi Midun mampu menampilkan sikap layaknya orang berpendidikan. Aku mengurut dada dengan mulut ternganga, Pudin mengguncang bahuku, ia bilang, aku macam orang kena tenung. Â Â
Aku muncul di rumah menjelang Zuhur. Ba'da Zuhur, Abak mengajakku ke sawah, menutup saluran air. Kudapati Amak tengah fokus menatap layar TV, "Abak mano Mak?" "ke surau" jawab Amak tanpa menoleh. Terdengar suara khas pak Sholeh mengumandangkan Adzan Zuhur, kuraih kain sarung yang bertengger di tali rapiah.Â
"Ned! Siko, caliak tu!" Amak menunjuk -- nunjuk layar TV, aku terpaksa menoleh, "hah.." Amak menambah volume TV. "Siswa SMP terlibat pergaulan bebas dan kecanduan narkoba" kubaca judul berita, "pikialah Ned! Siswa SMP terlibat pergaulan bebas, mencandu narkoba,Â
selain Abak dan Amak yang menanggung  malu, siapo lagi Ned kalu bukan guru, guru Ned..guru! berat tugas guru tu Ned, 'ang sanggup menanggung malu kalu itu murid 'ang?" "zaman la berubah Ned, siswa sekarang indak seperti siswa dulu" Amak bersandar di lemari. Adzan Zuhur selesai, "Ned ke surau Mak" dengan perasaan gusar kuturuni anak tangga.
Kutenggak isi botol minum hingga separo, usai menutup saluran air di setiap bagian, aku dan Abak duduk di bawah pohon Randu besar, Abak melepas caping birunya, kulihat peluh mengalir lancar dari dahi ke lehernya, leher yang mulai mengendur. "Apo alasan 'ang ingin jadi guru Ned?" Abak menyandarkan punggungnya di pohon randu dengan kaki ditekuk sebelah.Â
Aku diam beberapa saat, kuseka dahiku yang berkeringat. "Ned ingin jadi orang bermanfaat Bak" jawabku lirih "manfaat apo yang Ned ingin berikan?" Abak menatapku, "Ned ingin mendidik Bak" "apo Nagari ini kekurangan tenaga pendidik?" "Nagari ini indak kekurangan tenaga pengajar Bak, tapi kalu tenaga pendidik..Ned bimbang" "maksud Ned?" "Mendidik lebih berat dari mengajar Bak, Ned ingin jadi guru yang tidak hanya mengajar, tapi juga mendidik" aku berhenti sejenak.
"Orang cerdas akal di negeri ini la banyak Bak, setiap tahun, sekolah -- sekolah dan perguruan tinggi bahkan ada yang berstandar internasional menghasilkan orang - orang cerdas akal, tapi orang yang cerdas akal dan cerdas budi pekerti..." kugantungkan kata -- kataku, "itu karena siswa hanya dipupuk dengan ilmu pengetahuan intelektual Ned, sabanarnyo sudah banyak lembaga pendidikan yang memiliki visi "cerdas religius, spiritual dan moral" Â
Abak sering baco tu di surat kabar Ned" aku mengangguk "disinilah permasalahannyo Bak, indak mudah berjalan di atas visi itu, Ned pun ragu" mataku nanar menatap bulir -- bulir padi yang mulai ranum.
Abak menepuk bahuku, "dah..indak paralu ragu, Abak yakin Ned mampu memulainyo" Abak berkata mantap, "Abak picayo dengan Ned? Tapi Amak?" "Abak picayo sepenuhnyo, nanti Abak bicara dengan Amak, cepat selesaikanlah kuliah 'ang" Abak bangkit, kembali memasang caping. Seperti mendapat energi baru, aku langsung bangkit berjalan di belakang Abak.
Entah ada angin apa, malam ini Amak masak istimewa. Randang kariang jo kantang, ikan bilih jo karambia, menantang di atas tikar pandan. Di sela -- sela makan, Amak berdehem membuka percakapan, "cak mano Ned? 'ang mau pindah jurusan?" seketika selera makanku hilang. "Indak Mak, Ned tetap ingin lanjutkan kuliah keguruan" jawabku agak tegas.
 Amak mendesah mengurut dada. Abak meraih cangkir berisi air, perlahan menenggak isinya. "Ned, Abak tahu jalan pikiran 'ang, mulai sekarang, Abak menyerah dengan keputusan 'ang, selesaikanlah kuliah" Abak mengangguk, aku plong. "Indak bisa!!" Amak menukas. Sejak awal, Amak ingin aku kuliah Ekonomi, biar nanti bisa jadi pegawai Bank kata Amak, tapi..keinginanku untuk jadi guru tak terbendung pula.
Di luar dugaan, Amak mengeluarkan ransel pakaianku dari kamar, ditaruhnya dekat pintu. Tanpa kata Amak memeram diri di kamar yang temaram. "Sudahlah, Amakmu hanya emosi sesaat, menginaplah tempat Inyiak malam ini" Abak mengusap bahuku, ingin kembali ke Limau Manis, tapi libur masih dua hari lagi. Lepas Isya, Abak mengantarku ke rumah Inyiak.
TV di rumah Inyiak nyaris tidak pernah berganti channel, TVRI selalu. Menikmati Dunia Dalam Berita sambil mengunyah sirih, itulah kegermarannya. Sejak Anduang meninggal, Inyiak tinggal sendirian. Meski sudah tua, Inyiak ku ini masih lincah dan gesit, mata tuanya selalu bergerak cepat.
Melihat kedatanganku, Inyiak langsung memeluk dan mengusap -- usap wajahku, sigap dibentangnya tikar pandan. Setoples kacang Tojin dan roti Gabing dikeluarkan Inyiak dari lemari kecil.Â
Abak pulang setelah bercakap -- cakap sebentar dengan Inyiak. Remote TV Inyiak serahkan padaku, dusuruhnya aku mengganti acara TV Â yang ku ingini, tapi aku menolak, aku pilih mematikan TV, Inyiak terkekeh.
Kacang Tojin di Toples tinggal separo, kami ngobrol ngalor -- ngidul hingga larut, bahkan Inyiak menyinggung pasal Parida, kurasakan wajahku agak bersemu, perempuan yang kutaksir sejak lama itu, tapi aku tak pernah berani menemuinya.Â
Lelah ngobrol, kami tertidur di depan TV. Tiba -- tiba pintu depan digedor hingga bergetar, tergeragap benar aku dibuatnya, Inyiak langsung bangkit, mengambil besi panjang di dapur, mata tuanya lincah menerobos celah dinding.
"Mak..bukak, iko Rosna" "Rosna?" Inyiak heran, saat pintu di buka, terlihat Amak dan Son tegak di mulut pintu, aku ternganga. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke dapur, duduk dekat tungku masak.Â
Terdengar Amak bercakap -- cakap lirih dengan Inyiak. "Ned! Baliak yuang" Amak memanggilku, aku tak bergeming, "Ned..Amak jampuik ko, baliaklah" kali ini suara Inyiak, aku berdehem pelan, "Ned tetap ingin lanjutkan kuliah keguruan" jawabku setengah kesal, layaknya anak kecil, "iyo..iyo.." jawab Amak, aku langsung berdiri.
Rupa -- rupanya Amak belum menyerah, di hari kepulanganku, Amak menyodorkan dua lembar celana dasar hitam lengkap dengan kemeja abu -- abu lengan panjang, masih dibungkus plastik.Â
"Masih baru ko Ned, kalu 'ang pindah jurusan, Amak hadiahkan lebih dari ini, Amak hadiahkan Parida, perempuan berjilbab itu" Amak setengah berbisik di telingaku.
Kesal benar aku, kenapa pula Amak membawa -- bawa Parida. "Indak Mak!" aku bangkit, menyalami Abak dan Amak, Abak melepasku dengan senyum, sementara Amak berdiri di mulut pintu dengan air muka berubah -- ubah.Â
Sepanjang jalan aku tak tenang, ingin rasanya kembali ke rumah, meluapkan kekesalanku pada Amak, agaknya aku harus menunjukkan kemarahanku pada Amak. Tapi, perjalanan sudah setengah. Nafasku naik turun, tangan kukepal -- kepalkan tak karuan.
"Ambo nak jadi guru Mak..!!!" teriakku sekuat -- kuatnya. "Ned..Ned..bangun, ngapo 'ang ko?" Endrizal, teman sekamarku menepuk -- nepuk bahuku, "Astaghfirullah..ambo mengigau Zal.." kuseka dahiku. Bayang -- bayang Amak membuatku ragu untuk melangkah. Kian hari, kian gusar aku dibuatnya. Bagaimana ini? Apa? Terus melangkah, tapi..
"Ned...anak Ambo, la jadi urang top! Jadi guru hebat, sekarang menjabat Wakil Kepala Diknas Provinsi pulo, anak Ambo Ned tu, anak Ambo..ko ha.." itulah yang dibicarakan Amak setiap bertemu tetangga. Aku tersenyum sendiri mendengar Abak menirukan gaya bicara Amak di ujung telephon. Aku memang kesal, marah bercampur kecewa pada Amak. Tapi, itu lima tahun lalu. Berkat dorongan Abak, aku terus melangkah.
Celana dasar hitam dan kemeja lengan panjang abu -- abu pemberian Amak lima tahun lalu, masih cocok kukenakan. Ah..Amak tahu benar seleraku. Bahkan, kemarin kukenakan pakaian itu saat memenuhi panggilan dari Diknas Provinsi. SK Pengangkatanku sebagai Wakil Kepala Diknas Provinsi kuterima kemarin. Langsung kukirim copyannya ke Balimbing, dan barusan Abak menelponku, mengucapkan selamat.Â
Abak bilang, Â Amak membuncah kegirangan, sampai -- sampai copy an SK ku itu, Amak tempel di teras depan rumah, "biar urang kampung ko tahu, kalu Ned la jadi urang top!" kata Amak.
Tidak mudah untuk sampai disini. Banyak hal yang menjegal langkahku, terutama keinginan Amak agar aku pindah jurusan, awal --awal  mengajar pun, Amak kerap meledekku dengan panggilan Oemar Bakrie, masa awal -- awal mengajar yang berat, perbedaan pendapat sesama guru, pertengkaranku dengan kepala Diknas saat aku mengurangi jam belajar di kelas.Â
Selang satu setengah tahun, kepala diknas itu memintaku untuk menjadi wakilnya, dan aku diharuskan melanjutkan kuliah S2, karena nanti aku akan menggantikan posisinya pula, "di zaman ini, langka pemuda sepertimu John" ia memujiku, untuk kali pertama aku dipanggil John.
Nyata benar kulihat, peran mengajar dan mendidik yang melebur jadi satu. Mengajar dan mendidik dinilai satu pekerjaan yang sama. Sekuat tenaga kupisahkan kedua peran yang jelas berbeda itu. Kutanamkan, mendidik lebih penting dari mengajar, dan memang lebih berat. Dalam mendidik, sudah pasti ada unsur mengajar, tapi jika sebatas mengajarkan pelajaran tertentu, tidak bisa dikatakan mendidik.
Seperti yang kubilang dulu pada Abak, saat duduk di bawah pohon Randu. Aku tak ingin sekedar mengajar. Sebagai guru, aku sadar betul, aku harus bertanggung jawab pada anak didikku.Â
Tidak hanya intelektual mereka yang harus aku asah, tapi ada sesuatu yang lebih prinsipil dari sekedar intelektual. Yaitu, moral, kepribadian dan budi pekerti yang terkadang tidak dinilai penting dan tidak perlu diperhitungkan lagi ini hari. Iya kan?
Untuk dapat mendidik, diperlukan ketulusan jiwa raga, kesabaran yang tiada batas. Sebab, jika masih memiliki batas, itu bukanlah kesabaran, ikhlas dari hati nurani, dan yang tak kalah penting adalah segudang ilmu pengetahuan, karena "Knowledge is power"
Lagu sang Maestro bilang "jadi guru jujur berbakti memang makan hati!" dengan tegas kukatakan disini, itu tidak tepat! Karena nyatanya aku tidak makan hati, yang ada hatiku kian lapang. Hei..aku tidak bilang aku sudah berhasil jadi guru yang jujur dan berbakti, tapi aku tengah merancang jalan untuk menuju kesana.
"Fiuuhh.." aku bangkit, menyudahi nostalgia pahit yang sebenarnya manis itu. Banyak hal yang harus kupersiapkan untuk besok, karena amanah yang kupegang sekarang lebih berat dari sebelumnya. Samar -- samar terdengar Adzan Maghrib dari Masjid Raya Ganting, aku harus segera menemuiNYA.
Ponselku berdering, kenapa Amak menelphon maghrib begini? "Assalamualaikum yuang! Amak tahu kaba 'ang sangat baik kan? Amak tunggu yuang" aku menahan tawa mendengar suara Amak yang kemayu  "Wa'alaikumsalam, tunggu apo Mak?" "tunggu SK 'ang diangkat jadi Menteri Pendidikan.." "hah!"Â
Senja Andalas, 3 Jumadil Akhir 1438 H. 2017
#NyalakanMasaDepanIndonesia!
keterangan :
Anduang                 : Nenek
Ambo                    : saya / aku
'Ang /wa'ang              : kamu
Ba'a Kaba                 : apa kabar
Bapikia                   : berpikir
Bilo baliak                : kapan pulang
Caliak                    : lihat
Cak Mano                : bagaimana
Indak                    : tidak
Paralu                    : perlu
Ikan Bilih Jo Karambia      : ikan bilih dimasak dengan kelapa
Inyiak                    : nenek
Jampuik                  : jemput
Ko /iko                   : ini
Lepau                    : warung makan
Panjek Karambia           : panjat kelapa
Picayo                   : percaya
randang kariang jo kantang   : rendang kering dicampur kentang
Sabanarnyo               : sebenarnya
Uda                     : kakak laki - laki
Urang                    : orang
Yuang                   : panggilan sayang untuk anak laki - laki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H